Mongabay.co.id

Konflik Agraria di Bali Utara : Polemik Pembangunan Bandara  [Bagian 2]

 

Tiga bulan terakhir, spanduk-spanduk berwarna merah dengan tulisan putih menghiasi sebagian tempat di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali bagian utara. Spanduk-spanduk itu menyampaikan tuntutan warga terhadap hak milik atas lahan perkebunan dan pekarangan di desa itu maupun penolakan terhadap rencana pembangunan bandara di tanah mereka.

Kami Masyarakat Desa Sumberklampok Hidup Mati di Tanah Ini. Jangan Rebut Hak Kami.” Begitu tulisan dalam font kapital di spanduk. “Hentikan Rencana Pembangunan Bandara di Atas Tanah yang Kami Tempati dan Kami Garap secara Turun Temurun…  …Tanah untuk Rakyat, Bukan untuk Investor.

Spanduk-spanduk itu terpasang di beberapa lokasi seperti di depan pura, pintu masuk jalan desa, serta wantilan desa. Karena posisi itu, spanduk-spanduk itu bisa dengan mudah terlihat, termasuk oleh warga yang melintas jalan raya antara Gilimanuk dan Singaraja.

Munculnya spanduk-spanduk penolakan terhadap rencana pembangunan bandara itu mewarnai babak baru sengketa agraria di Sumberklampok. Sempat mendapatkan titik terang penyelesaian setelah sekitar 40 tahun memperjuangkan haknya, kini warga justru mendapatkan informasi yang mengagetkan tentang rencana pembangunan bandara di lahan yang mereka tempati dan garap.

baca : Sumberklampok, Bara Konflik Agraria di Bali Utara [Bagian 1]

 

Spanduk penolakan terhadap rencana pembangunan bandara di Desa Sumberklampok. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

“Bagai kena petir di siang bolong. Karena pemerintah sudah berkomitmen menyelesaikan konflik agraria meskipun belum ada hitam di atas putih, lalu tiba-tiba ada rencana membangun bandara. Siapa tidak terkejut?” kata Putu Artana, Ketua Tim Sembilan.

Misnawi, anggota Tim Sembilan lainnya, menyatakan hal serupa. “Kami kaget. Kok pemerintah bicaranya plin-plan,” ujarnya.

Tim Sembilan adalah perwakilan warga Sumberklampok untuk memperjuangkan kepemilikan lahan yang sudah mereka tempati dan garap sejak 1922. Tim ini yang melakukan negosiasi dengan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan sengketa agraria di desa ini. Mereka pula yang menandatangani Surat Kesepakatan Bersama (SKB) dengan Gubernur Bali pada November 2020. SKB ini berisi kesepakatan penyelesaian sengketa agraria di Sumberklampok termasuk pembagian lahan antara warga dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.

Bagi warga Sumberklampok, SKB ini menjadi titik terang penyelesaian sengketa agraria yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Namun, titik terang itu mendadak buram ketika terdengar rencana pembangunan bandara di lahan yang hingga sekarang masih mereka perjuangkan.

baca juga : Riuhnya Serikat Petani Perempuan Jawa Bali Rapat Akbar Daring Menolak Omnibus Law

 

Desa Sumberklampok di Bali barat mulai ditempati dan digarap warga sejak 1922 ketika ada pembukaan lahan perkebunan di sini. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Rencana Lama

Pembangunan bandara di Bali bagian utara sebenarnya sudah menjadi wacana sejak 2013. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Buleleng Nomor 3 tahun 2013 menyebut bahwa kabupaten terluas di Bali ini akan membangun bandara baru selain mengembangkan bandara yang biasa dipakai untuk latihan, Bandara Letkol Wisnu. Menurut Perda itu, bandara baru akan dibangun di Gerokgak, kecamatan paling barat Kabupaten Buleleng yang berbatasan dengan Kabupaten Jembrana. Adapun sumber pendanaan studi dan pembangunannya dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Anggaran Perencanaan Belanja Nasional (APBN), dan Anggaran Perencanaan Belanja Daerah (APBD).

“Bandara baru ini dibangun bukan untuk kepentingan Bali utara, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pariwisata Bali yang makin penuh,” kata Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana dalam diskusi yang digelar Komunitas Jurnalis Buleleng (KJB) pada akhir Desember lalu.

Menurut Agus, pariwisata Bali selama ini lebih banyak menumpuk di Bali selatan sehingga perlu pemerataan ke Bali utara. Di sisi lain, bandara terbesar Bali saat ini, Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sudah tidak mungkin dikembangkan lagi untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. “Dari sisi runway (landasan) sudah tidak bisa diperpanjang,” Agus melanjutkan.

Mempertimbangkan hal tersebut, pemerintah pun memasukkan rencana membangun bandara baru di Bali utara. Rencana itu bahkan masuk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Perpres ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 17 November 2020.

Pembangunan bandara di Bali utara masuk dalam rencana strategis nasional nomor 75. Proyek strategis lain di Bali adalah pembangunan pelabuhan Sanur (Denpasar) – Pulau Nusa Lembongan (Klungkung), Bendungan Tamblang (Buleleng), dan Sistem Penyediaan Air Baku Bendungan Sidan (Badung). Hingga akhir 2020 lalu, dari empat proyek strategis nasional itu semuanya sudah mulai dikerjakan kecuali bandara. Rencana pembangunan bandara baru masih tarik ulur.

perlu dibaca : Sentra Daun Pisang di Pusaran Konflik Agraria [2]

 

Warga Sumberklampok menuntut agar pemerintah memberikan SHM terlebih dulu sebelum membahas rencana pembangunan bandara. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ketidakpastian rencana pembangunan bandara di Bali utara terkendala lokasi. Dari semula akan dibangun di Kecamatan Gerokgak, mendadak lokasinya dipindah ke Kubutambahan, kecamatan di sisi timur Singaraja, ibukota Kabupaten Buleleng. Jaraknya sekitar 100 km dari rencana awal.

Toh, rencana pembangunan di Kubutambahan ini pun kemudian saru gremeng alias tidak jelas pelaksanaannya. Padahal, beberapa investor menyatakan sudah siap membangun. Misalnya PT Bandara Internasional Bali Utara (BIBU) didukung investor dari Kanada dan PT Pembangunan Bali Mandara (Pembari) dengan modal dari China. PT BIBU bahkan sudah melakukan upacara adat Bali untuk memulai proyek itu pada Agustus 2017.

“Perizinan kami sudah lengkap. Tidak ditataran daerah lagi, tetapi sudah di pusat,” kata Direktur PT BIBU Made Mangku.

Komisaris Utama PT Pembari Ketut Suardana Linggih pun mengatakan pihaknya sudah melakukan kajian mengenai rencana pembangunan bandara di Kubutambahan sejak 2009. Hasilnya sudah final. “Pekerjaan kami sudah final. Bukan balik lagi mau dibangun di mana,” katanya.

Suardana menambahkan bahwa penentuan lokasi pembangunan bandara sebagai proyek strategis nasional tidak bisa dengan mudah dipindah begitu saja. Dia harus memenuhi setidaknya tiga syarat. Pertama, harus sesuai rencana tata ruang wilayah nasional, provinsi, maupun kabupaten. Kedua, harus sejalan dengan proyek-proyek strategis lain di sekitarnya, seperti pemasangan kabel fiber optik bawah laut, PLTU Celukan Bawang, dan Bendungan Tamblang. Ketiga, menurut kajian harus memberikan dampak ekonomi bagi daerahnya sendiri maupun sekitarnya dan nasional.

baca juga : Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1]

 

Rencana pembangunan bandara Sumberklampok menurut presentasi Gubernur Bali Wayan Koster kepada warga Sumberklampok.

 

Mengacu ke syarat-syarat tersebut, menurut Suardana, Kubutambahan adalah lokasi yang tepat. “Kalau ada masalah ya diselesaikan,” katanya. Pernyataan itu merujuk pada masalah tanah yang terjadi di Kubutambahan di mana warga adat saat ini juga menghadapi masalah status tanah karena sertifikatnya digadaikan pihak lain.

Meskipun demikian, menurut Agus Suradnyana, pembangunan bandara baru tetap tidak mungkin dibangun di Kubutambahan. “Kalau kita lihat dari perspektif status lahan tanah, tidak mungkin di Kubutambahan. Silakan catat. Omongan saya bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

 

Polemik Baru

Ketika lokasi di Kubutambahan masih tarik ulur, kabar terakhir justru mengatakan bahwa lokasi balik lagi ke rencana awal, di Gerokgak. Tepatnya di Desa Sumberklampok yang status tanahnya hingga saat ini masih dalam sengketa antara warga dengan Pemprov Bali.

Warga Sumberklampok baru mengetahuinya ketika pada Oktober 2020 lalu mereka diundang ke rumah jabatan Gubernur Bali di Denpasar. Saat itulah, Gubernur Bali Wayan Koster menunjukkan gambar rencana tersebut.

Menurut materi presentasi itu, bandara baru di Bali utara akan dibangun di Desa Sumberklampok. Persis di lahan yang hingga akhir 2020 lalu masih belum sepenuhnya menjadi milik warga seperti tuntutan mereka selama ini. Kebutuhan lahan untuk bandara baru ini mencapai 310 ha terdiri dari 222,4 ha lahan milik Pemprov Bali dan alih fungsi lahan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) seluas  kira-kira 64 ha.

Presentasi itu juga menunjukkan selain landasan sepanjang 3,4 km selebar 45 m, bandara baru akan dilengkapi juga dengan area resapan hujan dan pelestarian seluas 60 ha. Ada pula taman budaya 40 ha yang nantinya menyajikan sanggar tari, pertunjukan seni, dan fasilitas komersial lain. Sebagai pelengkap ada pula kawasan rekreasi air seluas 80 ha. Di dalamnya akan dibangun wahana bermain air, taman tematis, bahkan kebun binatang.

penting dibaca : Keadilan Agraria dan Krisis Regenerasi Petani: Dua Tantangan Besar di Hari Tani

 

Kawasan di Desa Sumberklampok yang akan masuk kawasan bandara baru. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Untuk mewujudkan ide tersebut, presentasi itu juga menunjukkan, warga akan dipindahkan ke lahan seluas 16 ha. Lokasinya di sisi selatan bandara, di seberang jalan raya penghubung Gilimanuk dan Singaraja. “Kawasan pemukiman didesain dengan konsep kampung seniman dan kampung petani,” demikian penjelasan presentasi setebal 11 halaman tersebut.

Namun, rencana indah di atas kertas itu justru menciptakan kekhawatiran bagi warga yang hingga kini belum mendapatkan hak mereka sepenuhnya. Inilah yang menjadi alasan mereka menolak rencana pembangunan bandara. “Kami minta agar hak milik masyarakat diselesaikan terlebih dulu. Kalau memang akan dibangun bandara, kami mengharapkan agar hak masyarakat dipenuhi,” kata Kepala Desa Sumberklampok I Wayan Sawitra Yasa.

Hak yang dimaksud Sawitra adalah status kepemilikan tanah yang sudah mereka garap dan tempati sejak 1922. Setelah ada Surat Kesepakatan Bersama, Sawitra berharap pemerintah menindaklanjuti dengan pemberian sertifikat hak milik (SHM) yang hingga saat ini belum diperoleh warga.

Gubernur Bali sendiri hanya memberikan jawaban singkat ketika ditanya mengenai belum adanya SHM bagi warga Sumberklampok setelah penandatanganan SKB. “Soal itu tanya saja ke BPN,” ujarnya pada pertengahan Desember lalu. Ketika ditanya lebih lanjut, Koster tak mau menjawab lagi.

Kepala BPN Bali Rubi Rubijaya tidak merespon permintaan untuk wawancara sama sekali. Meski sudah didatangi dua kali ke kantornya, Rubi tidak juga bisa diwawancarai. Dia pun tidak menjawab sama sekali permintaan wawancara melalui WhatsApp meskipun pesan itu menunjukkan telah dibaca. Panggilan ke nomornya juga tidak diangkat.

 

Pantai Teluk Terima di Sumberklampok termasuk wilayah yang akan masuk kawasan bandara baru di desa ini. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris pribadinya hanya mengatakan bahwa Kepala BPN Bali sedang sibuk mengurusi pejabat pusat yang datang ke Bali terkait Sumberklampok. Informasi itu benar. Pada 26 Desember 2020 lalu pejabat pusat memang datang ke Sumberklampok untuk memeriksa rencana pembangunan bandara. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala BPN Pusat Sofyan A. Djalil yang turun langsung ke lapangan bersama Kepala BPN Bali, Kepala BPN Buleleng, dan Camat Gerokgak.

Ketika para pejabat sudah semakin yakin untuk membangun bandara baru di Sumberklampok, di sisi lain warga setempat justru mengalami ketakutan. Mereka merasa masa depan desanya sedang terancam. [Bersambung]

 

Exit mobile version