Mongabay.co.id

Pernah Jadi Andalan Sumatera Selatan, Tanaman Gambir Kini Ditinggalkan

 

 

Selama sepekan, 15-21 Desember 2020, Mongabay Indonesia melakukan perjalanan ke tiga kabupaten di Sumatera Selatan yaitu Musi Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara, untuk melihat langsung lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Tidak hanya persoalan sosial, liputan ini juga mengangkat bagaimana perkembangan program perhutanan sosial, perkebunan rempah tersisa, hingga kondisi lanskap Ulu Rawas yang berbatasan dengan TNKS. Artikel ini merupakan yang kelima dari lima tulisan. Silakan baca artikel pertamakedua, ketiga dan keempat. [Redaksi]

**

 

Di masa Kedatuan Sriwijaya, Palembang [Sumatera Selatan] dikenal sebagai penghasil rempah-rempah. Salah satunya gambir [Uncaria Gambir Roxb] yang kegunaannya sebagai obat dan pewarna alami. Bagaimana nasib dan juga kondisi petani gambir saat ini?

“Saya dan istri sudah menjadi petani gambir selama 20 tahun. Tapi di sini, sebelumnya sudah banyak petani gambir. Turun menurun,” kata Syamsul Rizal, petani gambir di Desa Toman, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan [Sumsel], Selasa [15/12/2020] lalu.

Desa Toman merupakan sentra gambir atau disebut “gambo” oleh masyarakat lokal di Sumsel. Keberadaan kebun gambir di Desa Toman diperkirakan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, sebelum masa Pemerintahan Belanda.

Bahkan, produksi getah gambir menjadi andalan masyarakat Babat Toman sebelum hadirnya perkebunan karet yang dikembangkan Belanda.

Saat ini perkebunan gambir banyak ditinggalkan masyarakat di Babat Toman karena hasilnya jauh lebih kecil dibandingkan terlibat penyulingan minyak bumi [sumur tua] ilegal dan berkebun sawit.

“Yang masih bertahan menjadi petani gambir di Babat Toman, sebagian besar di Desa Toman, dan sebagian kecil di Desa Babat. Syukurnya, saat harga karet turun dan tidak pernah membaik, ada sejumlah warga Desa Toman yang menjadikan gambir sebagai tanaman sela kebun karet,” jelas Syamsul, yang juga Ketua Kelompok Tani Ginde.

Ginde adalah orang pertama yang mengembangkan kebun gambir di Babat Toman, yang datang dari wilayah huluan Sungai Musi.

Baca: Bukan Hanya Karet dan Sawit, Kabupaten Muba Juga Kembangkan Gambir

 

Tanaman gambir yang pernah menjadi andalan di Sumatera Selatan. Foto: Yudi Semai

 

Tercatat 19 petani gambir tergabung dalam Kelompok Tani Ginde. Petani gambir yang bergabung ini mewakili satu keluarga, sebab menanam dan mengelola getah gambir harus dilakukan lebih dari satu orang. Setiap petani rata-rata memiliki 1-1,5 hektar kebun gambir. Sementara luasan kebun gambir di Kecamatan Babat Toman saat ini sekitar 35 hektar.

Gambir diperkirakan sudah dikenal masyarakat di Nusantara sekitar 2.500 tahun lalu karena menjadi campuran dalam tradisi menyirih. Selain itu digunakan sebagai pewarna, penyamak kulit hewan, serta obat-obatan seperti sakit perut, luka bakar, atau sakit kepala.

Karena kegunaannya itu, sejak ratusan tahun lalu gambir sudah diperdagangkan ke berbagai bangsa di dunia, khususnya ke India.

Dalam penelitian moderen, gambir memang memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Dikutip dari doktersehat.com, gambir yang mengandung unsur katekin dan tanin, dapat mengobati plak gigi, penyakit lambung, diare, luka di kulit, mencegah kanker kulit, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh,

“Selama pandemi COVID-19 kami rajin minum teh daun gambir. Begitu juga warga di Babat Toman ini. Alhamdulillah kami di sini baik-baik saja,” kata Syamsul.

 

Kebun gambir yang berusia sekitar satu tahun. Foto: Yudi Semai/Mongabay Indonesia

 

Dampak pandemi

Selama pandemi COVID-19, harga gambir mengalami penurunan. Ini dikarenakan dampak berkurangnya permintaan dari Jawa dan Sumatera Barat.

“Dari tangan kami saat ini harganya kisaran Rp20-25 ribu per jaras. Satu jaras terdiri lima ikatan getah gambir, yang setiap ikatan terdiri lima keping getah gambir [seukuran kotak korek api]. Tiga jaras beratnya sekitar satu kilogram,” kata Syamsul di lokasi kebunnya yang luasnya sekitar satu hektar.

Setiap satu hektar kebun gambir setiap tahun menghasilkan 1-2 ton daun gambir. “Saat ini setelah daun gambir diolah menjadi getah, nilainya sekitar Rp25 juta.”

Dua tahun lalu, harga gambir dari tangan petani di Desa Toman kisaran Rp45 ribu per jaras. “Saat itu hidup kami sejahtera. Sekarang ini jelas hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan harga Rp20-25 ribu per jaras atau Rp60-75 ribu per kilogram,” kata Sahuri, petani gambir lainnya.

“Kami berharap pemerintah mampu membantu kenaikan harga gambir kami. Idealnya Rp30-35 ribu per jaras,” timpal Imron, yang juga anggota Kelompok Tani Ginde.

Saat ini limbah getah gambir memang dibeli para pengrajin kain jemputan. Limbah ini digunakan sebagai pewarna kain. Harganya seribu rupiah per liter. “Pendapatannya tidak besar, tapi minimal dapat menata limbahnya,” kata Syamsul.

 

Selama pandemi COVID-19 harga getah gambir turun menjadi Rp60-75 ribu per kilogram. Foto: Yudi Semai

 

Tiga hari

Proses pembuatan getah gambir memakan waktu 3-4 hari. Dari panen hingga penjemuran.

Dalam satu bulan, panen dapat dilakukan 20 kali pada tanaman gambir yang berusia di atas satu tahun.

Panen dilakukan dari pukul 05.30-09.00 pagi WIB. Untuk lahan seluas satu hektar, panen dapat mencapai 200 kilogram. Yang dipanen daun dan ranting tua.

Daun dan ranting gambir hasil panen dibawa ke bangsal pengelolaan, kemudian direbus selama satu jam. Lalu digiling sekitar setengah jam. Dipres untuk diambil sari patinya sekitar satu jam.

Sari pati ini didiamkan semalaman. Paginya, sari pati gambir dimasukan ke karung, lalu dipres. Hasilnya air dan getah padat. “Air ini yang dijadikan pewarna kain,” kata Syamsul di bangsal pengelolaan gambir di belakang rumahnya.

 

Getah gambir yang sudah dipotong kemudian dijemur. Jika musim kemarau dijemur cukup satu hari, di musim penghujan bisa 2-3 hari. Foto: Yudi Semai

 

Getah padat ini kemudian direbus selama 15 menit, dan selanjutnya dimasukan ke dalam wadah berukuran 1 x 1 meter dengan ketinggian 10 sentimeter. Setelah didiamkan seharian atau setelah mengeras, baru dipotong.

Potongan gambir kemudian dijemur. “Jika musim kemarau mungkin cukup satu hari dijemur, tapi kalau musim penghujan seperti sekarang bisa 2-3 hari,” kata Syamsul.

Tanaman gambir, kata Syamsul, sudah dapat dipanen saat usianya tiga bulan dari penanaman. Tapi panennya hanya satu kali dalam sepekan. Jika usianya di atas satu tahun dapat dilakukan 20 kali dalam sebulan.

“Kalau dirawat baik, misalnya tidak ada tanaman apa pun, termasuk rumput di sekitar tanaman gambir, usianya dapat mencapai puluhan tahun. Bisa 25 tahun,” jelasnya.

 

Kain jemputan yang menggunakan limbah getah gambir. Foto: Yudi Semai

 

Katekin

Guna meningkatkan pendapatan para petani gambir, Pemerintah Kabupaten Muba berencana memproduksi katekin dari gambir. Saat ini dalam proses studi, baik pengelolaan maupun pemasarannya.

Dikutip dari Wikipedia katekin adalah segolongan metabolit sekunder yang secara alami dihasilkan oleh tumbuhan dan termasuk dalam golongan flavonoid. Senyawa ini memiliki aktivitas antioksidan karena gugus fenol yang dimilikinya. Strukturnya memiliki dua gugus fenol [cincin-A dan –B] dan satu gugus dihidropiran [cincin-C]. Karena memiliki lebih dari satu gugus fenol, senyawa katekin sering disebut senyawa polifenol.

“Katekin ini menjadi bahan obat-obatan dan komestik, yang secara teori memiliki pasar di dunia,” kata Tri Mulyadi dari Bappeda Kabupaten Muba.

 

 

Berdasarkan sebuah penelitian, klaimnya, kandungan katekin pada gambir lebih tinggi sekitar 73,3 persen, dibandingkan daun teh sekitar 30-40 persen.

“Kami sangat senang dan bersedia, jika hasil gambir kami akan diproses untuk menghasilkan katekin oleh pemerintah. Apalagi harganya kisaran Rp300-500 ribu per kilogram,” kata Syamsul. “Kami juga siap mengubah tradisi dalam mengolah gambir sehingga menghasilkan banyak katekin, seperti daun jangan dihancurkan, tidak lama perebusan,” lanjutnya.

Sebenarnya, kami ingin memproduksi sendiri katekin, tapi harga mesinnya mahal sehingga tidak mungkin kami lakukan. Diperkirakan hingga Rp700 juta. “Itu baru mesinnya. Kami senang jika ada dukungan dari pihak swasta untuk memfasilitasi, tentunya melibatkan Pemerintah Muba,” kata Sahuri.

 

 

Exit mobile version