Mongabay.co.id

Menanam Pohon, Membangun Peradaban Manusia

 

“Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.” [Mahatma Gandhi]

Jauh sebelum ada manusia, pohon sudah memenuhi permukaan Bumi. Pohon akhirnya membangun peradaban manusia, dari masa kuno hingga moderen. Pohon menjadi sumber oksigen, makanan, obat-obatan, bahan bakar, rumah hingga alat transportasi.

Bagi masyarakat melayu [Sumatera], meskipun dikenal sebagai bangsa bahari, pohon mendapatkan tempat terhormat. Struktur sungai digambarkan atau diibaratkan sebuah pohon. Batang [sungai], dahan [anak sungai], cabang [anak air], ranting [aliran], tangkai [parit], dan tampuk [mata air].

Namun, saat ini sebagian manusia senang menebang pohon [hutan] tapi tidak mau menanam apalagi memelihara. Seolah lupa fungsi dan peranan pohon bagi kehidupan kita semua.

Jika dilihat dari ilmu pengetahuan yang berkembang, tidak ada satu pun yang menyatakan pohon tidak berguna bagi kehidupan manusia. Semua sepakat, sebuah pohon sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama sebagai penghasil oksigen, pangan, penjaga air, dan iklim.

Keserakahan untuk mendapatkan kekayaan dari sumber mineral dan perkebunan monokultur, menyebabkan manusia tega menghabisi keberagaman jenis pohon.

Keserakahan yang pernah diingatkan Mahatma Gandhi, “Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.”

Baca: Merdeka! Kita Butuh Air dan Tanah yang Subur

 

Pohon tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan manusia tetapi juga untuk kehidupan satwa, lingkungan kita, dan Bumi tempat kita hidup. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Ada juga yang memandang, keberadaan pohon itu “mengganggu”. Misalnya pohon mengganggu pandangan di jalan, mengganggu kabel listrik dan telepon, sehingga banyak pohon harus disingkirkan.

Ada juga yang menilai pohon menghasilkan banyak sampah [daun dan ranting], yang dianggap menambah beban kerja manusia untuk membersihkannya setiap hari.

Dan sebaliknya, mereka yang berpikir tradisional ada pemahaman, jika sebuah pohon berusia tua akan menjadi “rumah makhluk halus” yang dapat membuat manusia kesurupan atau kesambet [sakit diganggu makhluk halus]. Sehingga, harus ditebang, jangan sampai ada pohon berusia tua di rumah atau di kampung.

Bagaimana menghentikan sifat serakah dan pemahaman yang tidak baik terhadap pohon?

Kesadaran. Ya, kesadaran menjadi kata kunci agar keberadaan pohon terus terjaga.

Membangun kesadaran bersama, tidak cukup hanya dengan program menanam. Dibutuhkan sebuah gerakan kebudayaan yang goal-nya penyelamatan umat manusia bersama makhluk hidup lainnya di masa depan. Aktornya bukan hanya masyarakat, tapi juga pemerintah dan pelaku usaha.

Harus dibangun narasi bersama, yang menyatakan jika hutan di dunia ini terus dirusak dan habis, pada akhirnya umat manusia akan dikalahkan oleh perubahan iklim, kelaparan, dan wabah penyakit. Manusia musnah atau hanya sebagian kecil yang bertahan.

***

 

Rhizophora apiculata sering disebut bakau minyak atau juga bangka minyak. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bangsa Indonesia harus berterima kasih pada sejumlah pohon yang tumbuh subur di hutan tropis. Pohon-pohon ini yang selama berabad memakmurkan Indonesia, bahkan turut mendorong peradaban di Timur Tengah dan Eropa.

Ary Prihardhyanto Keim, Etnobiolog, dalam dua makalahnya, “Minangkabau di Jalur Rempah Dunia” [2019] dan “Bakau & Peradaban Besar Austronesia: Kajian Etnobiologi” [2020], menyebutkan sejumlah pohon atau tanaman yang sangat berperan penting dalam peradaban manusia di Nusantara.

Awalnya sejumlah jenis bakau. Pohon bakau ini dimanfaatkan bangsa Austronesia [leluhur bangsa Indonesia], mulai dari bangunan, kapal, makanan serta obat-obatan.

Selanjutnya sejumlah pohon yang menghasilkan rempah-rempah. Mulai dari kayu manis, pala, cengkih, damar, hingga gaharu.

Di masa Masehi, pohon-pohon itu melahirkan kedatuan [kerajaan] yang sukses di Nusantara, yakni Medang, Sriwijaya, dan Majapahit. Selanjutnya, mensukseskan para pedagang Arab [Timur Tengah], diteruskan Belanda, melalui jalur maritim.

Selain itu, banyak pohon yang juga memenuhi pangan bangsa Indonesia selama berabad, seperti aren dan sagu.

Peranan pohon juga sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Berkat pohon atau tanaman dilahirkan kertas. Sejak ditemukan kertas sekitar 105 Masehi di Tiongkok, manusia mampu mendokumentasikan dan menyebarkan pengetahuan dan sejarahnya.

Kertas dihasilkan dari tanaman alang-alang papirus, bambu, sengon hingga akasia.

Selain di Indonesia, sebagian besar bangsa di dunia, juga menjadikan sejumlah pohon sebagai apotek atau bahan obat-obatan. Tiongkok atau China merupakan bangsa yang sangat mengandalkan obat-obatan dari pohon atau tanaman, begitu pun suku bangsa di Amerika Latin, Australia, dan lainnya.

Ironinya, pada saat ini beragam jenis pohon tersebut tergusur fungsi dan manfaatnya. Atas nama ekonomi atau pasar baru, berbagai tanaman tertentu mendominasi, menyingkirkan pohon-pohon lainnya. Misalnya tebu, karet dan sawit.

Sebuah “pembunuhan” sejarah peradaban manusia.

***

 

Sinole, makanan berbahan sagu yang baik untuk kesehatan kita. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Setiap 10 Januari, kita peringati sebagai “Hari Sejuta Pohon Sedunia”. Berbagai persoalan [bencana] di Indonesia bisa dijadikan latar peringatan gerakan ini. Bukan hanya hilangnya sumber pangan dan mata pencaharian tradisional [para petani], juga persoalan banjir, kekeringan, longsor, perubahan iklim, tapi juga wabah COVID-19.

Bukan untuk mendramatisir, berbagai persoalan lingkungan tersebut sebenarnya menjadikan Indonesia pada titik kritis peradaban. Sebab jika terus dibiarkan, tanpa adanya upaya perbaikan [termasuk menanam pohon dan menjaga hutan], bukan hanya bencana lingkungan yang datang tapi juga akan mengubah hidup manusia menjadi buruk. Gangguan kesehatan, tingginya kriminalitas, dan hidup tidak bahagia, dapat terjadi.

Jadi, semangat gerakan menanam pohon, menurut saya “semangat menanam peradaban”. Sehingga setiap pohon yang ditanam menjadi berkah dan memberikan manfaat bagi kita, serta umat manusia di masa depan.

Semoga pohon-pohon yang kita tanam bukan hanya menyelamatkan kita dari bencana banjir, kekeringan, juga menjadi sumber udara bersih, pangan, obat-obatan, penangkal serangan berbagai penyakit, serta memberikan doa bagi kita menjadi manusia yang selamat di dunia dan akhirat.

Kita bisa belajar dari masyarakat Papua yang memandang pohon atau hutan “sebagai keluarga atau saudara” sehingga diperlakukan secara baik. Sebuah masyarakat yang digambarkan Srijayanasa, Raja Sriwijaya, yakni manusia hidup harmonis dengan makhluk hidup lainnya [Prasasti Talang Tuwo, 684 Masehi].

 

 

Saya berharap, kita tidak lagi kehilangan banyak doa. Sebab saya percaya setiap pohon pun berdoa, seperti halnya manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Hari ini miliaran doa hilang, sebab jutaan pohon ditumbangkan

Langit selalu berduka, mungkin kita mampu membayarnya

Saya mencoba percaya rumput di gambut,

Ikan terakhir di sawah, masih mampu berdoa

Banjir dan kekeringan bukanlah dosa

Sekelompok virus menggerogoti otak dan dada

Kemiskinan dan kebencian adalah bangsa

Sebab negara kehilangan doa

Hari ini miliaran doa hilang

Sebab manusia tidak selalu termenung [Miliaran Doa Hilang- T. Wijaya]

 

* Taufik Wijayajurnalis, penyair dan pekerja seni di komunitas Teater Potlot. Menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version