Mongabay.co.id

Ada Mikroplastik pada Ikan dan Garam di Bengawan Solo dan Brantas

Kaum Perempuan Pejuang Kali Surabaya tampak membersihkan sampah plastik yang menumpuk di bantaran Sungai Surabaya, wilayah Gresik. Foto: Ecoton

 

 

 

 

Biota di Kali Berngawan Solo dan Brantas seperti ikan, udang, kerang sampai garam, teridentifikasi sudah terkontaminasi mikroplastik. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) bersama Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) yang tergabung Trash Control Community (TCC) meneliti kandungan mikroplastik dalam tubuh ikan dan udang.

Penelitian dilakukan di perairan Sungai Bengawan Solo, Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Dari pengambilan sampel pada Juli-Agustus 2020 itu ditemukan delapan jenis ikan dan dua jenis udang yang diamati di sepanjang Bengawan Solo dari Sembayat, Legowo, Tajungsari, Sidayu dan Ujungpangkah, Gresik.

Baca juga: Bahaya Mikroplastik! Bukan Hanya Ikan, Manusia Juga Terpapar

Dari contoh ikan dan udang itu semua terkontaminasi mikroplastik. Ikan wader dan keeper, merupakan ikan karang laut yang memiliki kandungan mikroplastik tertinggi. Wader kandungan mikroplastik 30 partikel sedangkan keeper 52 partikel per ekor. Untuk udang windu 16 partikel dan udang jerbung 13 partikel per ekor.

Kedua jenis udang ini kandungan partikel lebih besar dibandingkan sejumlah ikan yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti gabus (9), bambangan (9), dan kerapu, bilis masing-masing (7) partikel per ekor. Payus (69) partikel per individu. Jenis mikroplastik fiber mendominasi fragmen dan filament, atau 92% di setiap sampel ikan.

Mikroplastik dalam saluran pencernaan ikan di perairan tawar Indonesia dilaporkan Mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Bakrie Galih Rifqi Muhammad Prabowo pada 2019. Penelitian ini di sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Krukut yang jadi sumber air baku di Jakarta. Analisis kandungan mikroplastik pada saluran pencernan ikan sapu-sapu 413 partikel per ekor.

“Penelitian ini menjadi pengingat kalau ikan sudah memakan plastik,” kata Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton dalam keterangan tertulis kepada Mongabay pada Rabu, (6/1/21).

Dia bilang, sampah plastik masuk ke aliran sungai terdegradasi sinar matahari, teroksidasi, dan terjadi abrasi mekanik hingga membentuk partikel kecil. Proses dekomposisi plastik, katanya, perlu waktu lama hingga terdegradasi menjadi mikroplastik. Ukuran yang kecil, kata Prigi, menyebabkan mikroplastik terkonsumsi beragam ikan dan udang.

 Baca juga: Sungai Brantas di Malang dan Batu Terkontaminasi Mikroplastik, Langkah Lanjutan?

Mikroplastik merupakan serpihan plastik berukuran kecil di bawah lima milimeter hingga satu milimeter. Ia berasal dari degradasi plastik ukuran besar seperti tas kresek, sedotan, tali rafia, senar jaring, botol plastik dan bahan pembungkus makanan dan minuman. Sumber lain berasal dari butiran mikro atau mikrobeads dalam pasta gigi, shampo, sabun lulur dan kosmetik.

Sekitar 52% sampah di laut, katanya, merupakan plastik. Rincian popok bayi 21%, tas kresek 16%, bungkus plastik 5%, botol plastik 1%, dan plastik lain seperti styrofoam, tali, senar mencapai 9%.

Plastik ini jadi santapan biota yang menganggap plastik sebagai makanan. Ikan yang terkontaminasi mikroplastik mengancam kesehatan manusia yang mengonsumsinya.

Mikroplastik, katanya, mengandung tiga bahan berbahaya dalam proses pembuatannya, yakni, Bisphenol A (BPA) dalam bungkus makanan agar plastik menjadi keras. Lalu, Alkylphenols dalam berbagai aplikasi penghilang lemak di beragam produk kosmetik, dan produk perawatan tubuh, kemudian Phthalates senyawa aditif membuat plastik menjadi fleksibel.

BPA mempengaruhi tingkat kesuburan dan disfungsi seksual terhadap lelaki. Ia juga berpotensi menyebabkan kanker payudara, prostat, kanker ovarium dan kanker endometrium. Alkylphenols menyebabkan infertilitas pada lelaki, sperma rendah, dan mengganggu perkembangan prostat. Phthalates menurunkan tingkat testosteron dan estrogen meningkatkan gangguan kehamilan dan angka keguguran, anemia, toksemia, preeklampsia, maupun menopause dini.

“Ketiga bahan berbahaya dalam mikroplastik menyebabkan masalah reproduksi dan menapouse dini,” kata Eka Chlara Budiarti, peneliti Mikroplastik Ecoton,. Alumnus Teknik Kimia Universitas Diponegoro ini menyarankan, agar mengurangi konsumsi makanan laut atau seafood yang terkontaminasi mikroplastik.

 

Meneliti kandungan mikroplastik dari sampel air di Sungai Bengawan Solo dan Brantas. Foto: Ecoton

 

Biota dan garam terkontaminasi?

Ecoton juga meneliti udang dan kerang bersama Mahasiswa Oseanografi Universitas Hang Tuah Surabaya di pesisir Timur Surabaya November 2020. Udang diambil di muara Gununganyar, tambak, Surabaya, dan lepas pantai muara Sungai Gununganyar.

Hasilnya, kandungan mikroplastik di lepas pantai muara Sungai Gununganyar, dan tambak lebih tinggi dengan 18 partikel mikroplastik per ekor udang. Bandingkan dengan kandungan mikroplastik muara 17,8 partikel mikroplastik per ekor. Kondisi ini, katanya, karena lokasi tambak relatif terlindung dari perairan terbuka.

Penelitian juga uji mikroplastik dalam kerang hijau di sepanjang Pantai Kenjeran. Hasilnya, mikroplastik 70-105 partikel per kerang. Kandungan mikroplastik tinggi dalam kerang membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsi.

Umumnya, kerang dimakan utuh tanpa dibersihkan isi lambung, hingga semua mikroplastik organ kerang tertelan dan berpindah ke organ pencernaan manusia.

Selain dalam biota dan udang, Ecoton juga menemukan kandungan mikroplastik dalam garam petani di Benowo dan Manyar Surabaya, sebesar 19-22 partikel per 10 gram garam.

Indonesia penyumbang pencemaran plastik di lautan kedua terbesar setelah Tiongkok, sebesar 3,7 juta ton per tahun. Untuk itu, katanya, perlu revolusi perilaku mengurangi sampah plastik. Salah satunya mengurangi pemakaian plastik sekali pakai.

Penyebaran mikroplastik di Bengawan Solo mulai Ngawi hingga Bungah, Gresik terjadi paparan yang terbawa dari perairan darat hingga berkumpul di muara sungai di perairan Gresik.

Ecoton mendorong kebijakan pemerintah setiap kabupaten dan kota yang dilalui Bengawan Solo melarang penggunaan plastik sekali pakai, seperti tas kresek, sachet, styrofoam, sedotan, popok, botol minum dan lain-lain.

Bersama Komunitas Trash Community mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dan Komunitas Banyu mahasiswa Biologi Universitas Airlangga Surabaya, Ecoton meneliti Sungai Bengawan Solo dan Muara Bengawan Solo. Penelitian berlangsung Agustus-Oktober 2020 untuk mengetahui distribusi mikroplastik.

Sungai Bengawan Solo melewati 13 kabupaten dan kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mulai Wonogiri, Karanganyar di Jawa Tengah hingga Lamongan dan Gresik (Jawa Timur). Sekitar 15,2 juta jiwa penduduk tinggal di sepanjang Sungai Bengawan Solo. Memasok keperluan sektor pertanian, perikanan,perkebunan, dan bahan baku air minum.

Penelitian badan air di bagian bagian hulu di Kecamatan Pitu, Ngawi, bagian tengah di bendungan Gerak, Kedung Bondo, Laren dan Karang Geneng dan hilir di Legowo dan Bungah. Hasilnya menunjukkan dari ketujuh lokasi pengambilan sampel air sungai paling banyak ditemukan jenis mikroplastik fiber sebesar 78%, kebanyakan berasal dari limbah domestik (rumah tangga). Sedangkan jenis mikroplastik terbesar kedua dari remahan plastik besar seperti kantong plastik, sachet dan plastik kemasan.

Di kawasan hulu kecamatan Pitu Ngawi teridentifikasi mikroplastik ditemukan sebanyak 76 partikel per 100 liter. Lantaran daerah hulu mulai banyak ditemukan pencemaran akibat limbah industri dan limbah rumah tangga. Selain itu, sampah plastik terbawa aliran sungai penyumbang terbentuknya mikroplastik.

Sedangkan segmen tengah di Bendungan Gerak Bojonegoro teridentifikasi mikroplastik tertinggi kedua setelah Pitu Ngawi sebanyak 67 partikel per 100 liter. Grafik distribusi mikroplastik menurun di daerah Laren. “Mungkin disebabkan sedimentasi pada daerah tersebut,” kata Prigi.

Di Muara Bengawan Solo termasuk wilayah pesisir utara Jawa Timur didominasi mikroplastik jenis fiber, filament dan fragmen. Jumlah mikroplastik lebih banyak yakni sekitar 115-179 partikel per 100 liter. Lantaran kawasan muara merupakan titik akhir jalur sungai hingga terjadi akumulasi mikroplastik dari Sungai Bengawan Solo.

 

Proses pengambilan sampel. Foto: Ecoton

 

Ecoton bersama Komunitas Envigreen, Mahasiswa Biologi Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim, Malang, juga meneliti mikroplastik pada Oktober 2020.

Mereka mengambil sampel air Sungai Brantas, di sembilan kota mewakili segmen hulu di Malang, Blitar dan Tulungagung. Segmen tengah meliputi Kediri, Jombang dan Mojokerto, kemudian segmen Hilir terdiri atas Gresik, Sidoarjo dan Surabaya.

Sungai Brantas melintasi 15 kota dan kabupaten di Jawa Timur, menjadi bahan baku air minum, pembangkit listrik, industri. Air yang mengalir di Sungai Brantas berfungsi sebagai irigasi persawahan hingga penyokong 20% persediaan pangan nasional.

Sungai Brantas juga penting karena sekitar 40% populasi penduduk tinggal di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, sekitar14,5 juta jiwa.

Setiap lokasi diambil 100 liter air dan disaring menggunakan plankton net dengan ukuran mesh 300. Sampel air kemudian dicampur dengan asam kuat agar bahan organik atau material lain selain plastik hancur hingga hanya diperoleh remah-remah plastik. Remah plastik diamati di bawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 100 kali.

Hasil penelitian menunjukkan kandungan mikroplastik terbanyak 99 partikel mikroplastik per 100 liter paling banyak ditemukan di Kota Malang. Lokasi penelitian berada di kawasan padat penduduk yang membuang sampah ke sungai.

Jenis mikroplastik paling banyak dijumpai adalah fiber atau serat plastik yang diperkirakan berasal dari aktivitas pencucian tekstil.

“Pemukiman di DAS Brantas berkontribusi besar dalam pencemaran air, saluran air domestik, dapur dan drainase langsung dibuang ke badan air,” kata Prigi.

Sedangkan jumlah mikroplastik terkecil ditemukan di Sidoarjo sebesar 14 partikel per 100 liter air. Di hilir Sungai Brantas Surabaya, jumlah mikroplastik di perairan hilir Sungai Brantas sebanyak 25-483 Partikel per 100 liter.

Dari penelusuran Ecoton menyunjukkan, sumber mikroplastik di Sungai Brantas dari limbah cair industri kertas, disusul limbah domestik rumah tangga dan timbulan sampah yang dibuang dan ditimbun di badan sungai.

Ecoton juga mencatat, 12 industri kertas turut menyumbang mikroplastik. Industri kertas menggunakan bahan baku kertas bekas melalui proses daur ulang. Sebagian mengandung plastik. Mikroplastik yang teridentifikasi dari industri kertas berbentuk fragment atau serpihan 49,72%, filament 38,07%, fiber 10,10% dan bentukan lain 2,11%.

Tidak semua bagian Sungai Brantas terkontaminasi mikroplastik. Kali Gogor di Dusun Mendiro, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Jombang yang bersumber di Gunung Anjasmoro, tak ada mikroplastik. Ini anak Sungai Brantas, masuk Taman Hura Raya R Soerjo.

Uji lanjutan dengan metode fourier transform infra red (FTIR) di Laboratorium Center For Food and Agriculture, Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknik Pertanian Unika Soegijapranata, Semarang.

Hasil uji, mikroplastik di Sungai Brantas, termasuk dalam jenis polyethylene terephthalate (PET) yakni plastik kemasan makanan dan minuman sekali pakai. Juga polypropylene (PP) jenis plastik yang sulit terdaur ulang, biasa untuk tempat makanan atau minuman, botol sirup, kotak yogurt, sedotan plastik, selotip, dan tali plastik dan polyethylene kandungan tas kresek.

 

Keterangan foto utama:  Kali Surabaya banyak sampah plastik. Foto: Ecoton

Exit mobile version