Mongabay.co.id

Bencana Longsor dan Hal Penting yang Harus Kita Ketahui Penyebabnya

 

Selain banjir dan angin puting beliung, longsor merupakan bencana yang patut kita waspadai.

Sejumlah bencana lingkungan telah melanda sejumlah wilayah negeri ini, awal tahun 2021. Satu di antaranya adalah longsor yang menerjang Desa Cihanjuang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Jawa Barat, sebagaimana dikutip Mongabay Indonesia, kejadian dipicu dari runtuhnya tebing tanah setinggi 20 meter dan panjang 40 meter. Longsor di Desa Cihanjuang terjadi dua kali, Sabtu [9/1/2021], yaitu sekitar pukul 16.00 WIB dan jam 19.30 WIB. Akibat kejadian ini, lebih 30 rumah tertimbun material longsor.

Pemerintah Kabupaten Sumedang, segera mengeluarkan status tanggap darurat penanganan bencana longsor, yang berlangsung hingga 29 Januari 2021. Dalam status ini, warga yang tinggal dalam radius 30 meter dari titik longsoran diminta mengungsi, yaitu mereka yang tinggal di sekitar tebing tanah hingga jalur air.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] mencatat, sejauh ini, longsor menjadi bencana yang paling banyak terjadi di Indonesia, selain banjir dan angin puting beliung. Data yang dihimpum BNPB dari 1 Januari hingga 29 Desember 2020 menunjukkan, ada 572 peristiwa longsor yang terjadi.

Baca: Longsor Sumedang: Waspada di Tanah Rawan Bencana

 

Warga beraktivitas di daerah rawan longsor di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Foto: Djoko Subinarto

 

Bencana karena ulah manusia

Bisa disebut, longsor telah akrab di telinga kita. Tapi, apa sesungguhnya yang dimaksud longsor dan apa pula penyebabnya?

Para pakar — geografi, geologi, hidrologi, maupun arsitektur — memiliki definisi sedikit berbeda mengenai longsor. Hal ini setidaknya mencerminkan kompleksnya permasalahan longsor.

Longsor, dan juga banjir, sesungguhnya adalah bencana hasil buatan manusia [man-made disaster]. Kemunculan bencana ini lebih sering disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang semena-mena dalam memperlakukan alam lingkungan sekitar.

Dalam berinteraksi dengan alam, sepatutnya kita memperlakukan alam dengan bijak, tidak semena-mena. Namun, sayangnya, kita tidak jarang merasa paling berkuasa sehingga kerap memperlakukan alam sekitar dengan sekendak hati.

Secara umum, longsor dapat didefinisikan sebagai pergerakan massa batuan, puing-puing, atau tanah yang menuruni lereng. Bencana longsor tertua yang tercatat dalam peradaban manusia modern, terjadi pada 2 September 1806, di Desa Goldau, Swiss. Sebanyak 457 orang tewas dalam peristiwa itu dan menjadi salah satu bencana longsor terbesar dalam sejarah.

 

Sejumlah pengendara melintasi kawasan rawan longsor di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto: Djoko Subinarto

 

Dalam karyanya bertajuk Socioeconomic Significance of Landslides, Robert L. Schuster menyatakan, tren bencana tanah longsor di seluruh dunia diperkirakan cenderung mengalami lonjakan di masa depan. Sekurangnya ada tiga faktor utama penyebabnya.

Pertama, tekanan penduduk dan pembangunan di kawasan rawan longsor. Seperti kita ketahui, jumlah penduduk terus bertambah. Hal ini menuntut dibangunnya kawasan-kawasan permukiman baru, yang kemudian diikuti pembangunan berbagai fasilitas lainnya. Tak jarang, untuk keperluan kawasan permukiman, pembangunan dilakukan hingga ke lereng bukit/gunung.

Lereng bukit/gunung yang mestinya rimbun ditumbuhi pepohonan keras, justru malah disesaki bangunan beton. Tak ada akar pepohonan yang mengikat tanah. Buntutnya, laju air hujan dengan mudah mengikis tanah dan menimbulkan longsor. Hal seperti ini yang terjadi di Desa Cihanjuang, Jawa Barat.

Kedua, faktor deforestasi. Hutan mestinya diproteksi dari perambahan dan pengrusakan sekecil apapun. Tapi, kenyataannya, hutan-hutan yang ada justru terus dirambah dan dirusak. Menurut catatan World Resources Institute, sekitar 15-20 juta hektar hutan tropis, termasuk yang ada di Indonesia, dirusak setiap tahun. Selain memicu timbulnya longsor, pengrusakan hutan juga memicul timbulnya banjir dan erosi.

Ketiga adalah meningkatnya curah hujan. Perubahan iklim terus berlangsung. Dampaknya terhadap sendi-sendi kehidupan di Planet Bumi makin terasa sekarang ini.

Secara definisi, istilah perubahan iklim merujuk pada pergeseran iklim untuk jangka waktu panjang yang ditandai perubahan suhu, curah hujan [presipitasi], pergerakan angin, dan beberapa indikator lainnya.

Akibat dari perubahan iklim ini, sejumlah kawasan mengalami peningkatan curah hujan. Jika peningkatan curah hujan terjadi pada daerah-daerah rawan, dengan sendirinya daerah-daerah itu bakal mengalami peningkatan risiko tanah longsor.

Baca juga: Fenomena La Nina dan Antisipasi Kemunculan Klaster Corona di Wilayah Bencana

 

Warga yang mengungsi pasca longsor di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin [11/1/2021]. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Paket kebijakan

Dengan kenyataan bahwa longsor menjadi salah satu bencana yang banyak terjadi di negara kita, serta kecenderungannya yang diperkirakan akan terus meningkat akibat tiga faktor yang telah dijelaskan, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi para pengelola daerah di negara kita.

Para pengelola daerah dituntut untuk mampu menelurkan sejumlah kebijakan antisipatif terhadap risiko bencana longsor. Tujuannya, demi meminimalisir kemungkinan jatuhnya korban dan kerugian lebih besar.

Jangan sampai kebijakan yang terkait risiko longsor hanyalah paket reaktif jangka pendek, yang muncul setelah bencana datang. Setelah menimbulkan banyak korban beserta kerugian cukup besar.

Oleh sebab itu, para kepala daerah beserta jajarannya diharapkan dapat lebih tanggap menggulirkan kebijakan-kebijakan strategis yang sifatnya antisipatif guna mencegah kemungkinan munculnya bencana longsor.

Pengetatan perizinan pembangunan di kawasan rawan bencana longsor dan adanya sistem tata ruang yang jelas dan tegas, harus selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari paket kebijakan strategis-antisipatif. Dengan begitu, risiko longsor dapat diminimalisir.

 

*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini opini penulis. 

 

Rujukan:

 David Bressan. 2017. The First Landslide Disaster Investigated by Geologists Happened in 1806.

Donny Iqbal. 2021. Longsor Sumedang: Waspada di Tanah Rawan Bencana.

Lynn Highland & Peter Bobrowsky. 2008. The Landslide Handbook — a Guide to Understanding Landslides. http://www.pubs.usgs.gov.

Robert L Schuster. 1996. Socioeconomic Significance of Landslides. http://onlinepubs.trb.org/Onlinepubs/sr/sr247/sr247-002.pdf

Tim Detik. 2020. Ada 2925 Bencana Alam Sepanjang 2020, Musibah Banjir Terbanyak.

 

 

Exit mobile version