Mongabay.co.id

Bencana Sulawesi Barat: Ada Potensi Gempa Susulan, Bagaimana Kondisi Pengungsi?

Bangunan runtuh di gempa Sulbar. Foto: BNPB

 

 

 

 

Yunding sedang nonton teve di ruang tengah. Siang itu, Kamis (14/1/21), pria usia 57 tahun itu seorang diri di rumah, di Banua Galung, Kecamatan Malunda, Majene, Sulawesi Barat (Sulbar). Sang isteri, Mastura dan anaknya di warung depan rumah.

Ngantuk menyerang, Yunding tertidur lelap.

Tiga kilometer dari rumah Yunding, masih di kampung sama, Jumain, sedang mengurus sawah. Saat itu, jam belum melewati pukul 14.00 Wita. Tak lama, suara gemuruh menggelegar seisi langit. “Saya melihat ke atas. Mati! Ini apa?”

Di rumahnya, Yunding bangun dari tidur. Dia kaget bukan main. Ini kali pertama dia bangun dengan rasa amat takut. “Saya usahakan lompat ke pintu. Saya tabrak kusen!”

Hanya tiga detik, gempa bumi berkekuatan 5,9 SR (Skala Richter), melumat rumah Yunding. Tembok runtuh. Tiang kayu di teras miring. Isi rumah sekejap jadi tumpukan puing beton. Rumahnya kini ibarat tubuh tanpa kulit dan daging. Perabotan seisi rumah rusak.

Dari sawah, Jumain lari sekencang mungkin. Dia terjatuh dan berdiri, lekas berlari. Jatuh lagi. Berdiri dan lari kembali. Di rumah, ada Banna, sang isteri dan anaknya yang perlu dia gapai secepatnya.

Astagfirullah… Astagfirullah… Semua pohon kelapa goyang.”

Di rumah, Banna yang tertidur terperanjak bangun. Dia menarik anaknya keluar rumah. “Baru agak reda, baru bisa saya berdiri, baru pulang,” kata Jumain.

Banna dan Jumain akhirnya bertemu. Rumah permanen mereka sudah retak tak karuan. Terpenting, dia sekeluarga selamat tanpa lecet. Yunding dan keluarga juga selamat.

Jumain memilih membawa keluarga mengungsi dekat sawah. Di situ, ada bukit menjulang tinggi.

 

Anak-anak di tenda pengungsian gempa Sulbar. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Bersama keluarga lain, Jumain mendirikan tenda darurat. Dari rumah, mereka membawa hal penting saja: bahan makanan, peralatan masak, dan pakaian.

Di Banua Galung, warga ikutan mengungsi. Ada 120 keluarga mengisi 29 tenda darurat. Tenda-tenda itu berpencar.

Gempa itu berpusat di sekitar Desa Bambangan, Kecamatan Malunda, 10 kilometer di bawah permukaan daratan. Dari kampung Yunding, terentang jarak lurus empat km, arah Timur Laut.

Bayangan gempa susulan terus mengusik. Orang-orang masih panik. Mereka tidak ingin menempati rumah yang rapuh.

Malam hari, listrik menyala. Jumain meninggalkan isteri di tenda pengungsian. Dia pulang, menjaga rumah. Ada isu perampokan menyasar rumah yang ditinggal pergi pemilik bermulai dari mana.

Sekitar pukul 02.00 Wita dini hari, 15 Januari 2021, gempa lebih kuat, 6,2 SR menghantam. Pusat gempa hanya bergeser beberapa kilometer dari pusat sebelumnya, dengan kedalaman 10 km. Pemicunya sama: pergerakan naik sesar Mamuju.

Jumain bangun. Panik. Kaki refleks berlari. Gempa terlalu kuat, dia tersungkur. Karung berisi gabah padi berjatuhan. Jumain tak ingat lagi bagaimana bisa keluar rumah, tetapi Jumain bersyukur masih hidup. “Untungnya itu gabah tidak jatuh ke saya.”

Orang-orang yang mengungsi ketakutan. Listrik padam. Semua saling mencari di tengah gelap. Yang kembali ke rumah, mencari tempat tertinggi.

Setelah malam naas itu, kabar dari Malunda dan wilayah sekitar pusat gempa tidak terdengar. Beberapa menit kemudian, foto Kantor Gubernur Sulbar, di Mamuju yang rubuh tersebar. Video situasi kalut dan bagaimana warga di Mamuju berjibaku saling tolong. Makin pagi, kabar jatuh korban jiwa dari Mamuju, pun tersiar.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pergerakan sesar naik Mamuju (Mamuju thrust) memicu gempa itu. Hanya beberapa menit kabar kerusakaan pun tersiar. Sejumlah rumah, gedung, dilaporkan rusak. Beberapa tempat terjadi longsor. Gempa ini bahkan dirasa warga Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Bencana memang datang tanpa diduga.

Menurut Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas), gempa itu dipengaruhi aktifnya Majene Fold Belt. Majene Folt Belt adalah sistem patahan di bagian barat Sulawesi. Pergerakan patahan regional Banggai-Sula, bagian timur Sulawesi—yang mengarah Barat dan membentur Pulau Sulawesi—mempengaruhi pembentukannya.

 

 

 

Potensi dan gempa susulan

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi multi risiko baik dari aspek cuaca, iklim, gempa atau tsunami yang makin meningkat terutama memasuki Januari, Februari hingga Maret 2021.

“Sampai Maret masih ada potensi multirisiko, tapi untuk hidrometeorologi puncaknya pada Januari-Februari. Seiring dengan itu, potensi kegempaan juga meningkat, mohon kewaspadaan masyarakat,” kata Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG dalam konferensi pers daring Jumat ini.

Untuk potensi kegempaan, gempa dengan kekuatan signifikan terjadi d isejumlah daerah, terbaru gempa dengan magnitudo 5,9 mengguncang Majene, Sulawesi Barat Kamis (14/1/21) pukul 13.35.49 WIB.

Kemudian gempa tektonik dengan kekuatan lebih besar M6,2 terjadi pada Jumat (15/1/21) dinihari pukul 01.28 WIB yang lebih mengguncang dan merusak.

Dia bilang, episenter gempa kurang lebih sama terletak enam kilometer arah timur laut Majene dengan pusat gempa 10 kilometer. “Ini gempa dangkal karena magnitudo sangat besar, guncangan juga sangat dirasakan di permukaan,” katanya.

Dwikorita bilang, dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempabumi ini merupakan jenis dangkal akibat aktivitas sesar Mamuju. Hasil analisis mekanisme sumber, katanya, menunjukkan gempabumi memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault). 

Guncangan gempa bumi dirasakan di Majene, Mamuju dengan skala  intensitas V-VI MMI atau getaran dirasakan penduduk, dan bersifat merusak. Kemudian Palu, Mamuju Tengah, Mamuju Utara dan Mamasa III MMI atau getaran nyata dalam rumah.

Dari skala intensitas guncangan ini dapat diperkirakan, katanya, kerusakan terbesar terjadi di Mamuju.

Hingga pukul 23.00 WITA, BMKG mencatat terjadi 31 kali gempa bumi terdiri dari dua gempa signifikan dan 29 gempa susulan.

Berdasarkan data kegempaan dan historis gempa BMKG menganalisis masih memungkinkan ada gempa susulan cukup kuat seperti dinihari lalu bahkan lebih.

 

Kerusakan rumah warga di Banua Galung, Malunda, Majene. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

BMKG mengimbau, masyarakat menghindari bangunan dan gedung-gedung tinggi karena khawatir masih berpotensi gempa susulan.

Dia mengatakan, karena masih ada potensi gempa susulan cukup kuat, BMKG menurunkan tim di lapangan dan memasang alat untuk memonitor gempa-gempa susulan agar dapat memberikan estimasi gempa-gempa susulan. Juga untuk memetakan dampak kerusakan, sekaligus menenangkan masyarakat melalui sosialisasi atau literasi terkait gempabumi ini. Termasuk, perkembangan dan langkah kewaspadaan yang harus dilakukan.

Dia mengimbau masyarakat dan pemerintah daerah meningkatkan kewaspadaan kemungkinan potensi tsunami apabila terjadi gempa susulan yang  dapat memicu longsor di bawah laut. Kondisi ini, katanya, mengingat pelamparan sesar naik Mamuju yang jadi sumber gempa berada di dasar laut sebelah barat Pantai Mamuju.

Mengingat dalam beberapa hari atau minggu ke depan masih berpotensi terjadi gempa-gempa susulan,  dia imbau masyarakat di daerah terdampak menjauhi atau tidak tinggal di  bangunan yang rentan atau sudah retak atau miring karena gempa sebelumnya.

Apabila kebetulan masyarakat di pantai merasakan guncangan gempa lagi, kata Dwikorita, agar segera menjauhi pantai menuju ke tempat lebih tinggi. “Tidak perlu menunggu peringatan dini.”

Langkah ini, katanya, guna mengantisipasi potensi tsunami seperti di Palu pada 2018,  dengan tsunami sangat cepat hanya dua hingga tiga menit setelah gempa.

Dia juga mengingatkan, masyarakat sekitar pantai segera menyiapkan jalur evakuasi dan membuat tempat evakuasi sementara di tempat lebih aman.

Bambang Setiyo Prayitno, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, mengatakan, episenter gempa Majene 14-15 Januari 2021 sangat berdekatan dengan sumber gempa yang memicu tsunami pada 23 Februari 1969 dengan kekuatan 6,9 pada kedalaman 13 km.

Pada 1969 pernah gempa menimbulkan tsunami empat meter. Kala itu, gempa menyebabkan 64 orang meninggal, 97 luka-luka dan 1.287 rumah serta mesjid rusak.

Serupa dikatakan Daryono Koordinator Bidang Gempabumi dan Tsunami BMKG. Dia bilang, gempa di Majene merupakan perulangan gempa 1969 karena dibangkitkan sumber sama yaitu sesar naik Mamuju (Mamuju thrust). Saat itu, pusat gempa di laut hingga menimbulkan tsunami.

“Sesar naik Mamuju ini sangat aktif. Dari sebaran gempa utama dan susulan sejak 14-15 Januari, ada tiga yang bisa kita kenali sumbernya dan memiliki kesamaan dengan gempa masa lalu,” kata Daryono.

Berdasarkan data dan historis, terjadi tiga gempa dan tsunami merusak sekitar Majene, yaitu, 11 April 1967 dengan magnitudo 6,3 di Polewali Mandar yang menimbulkan tsunami dan menyebabkan 13 orang meninggal.

Lalu, 23 Februari 1969 di Majene dengan magnitudo 6,9 menyebabkan 64 orang meninggal, 97 luka dan 1.287 rumah rusak di empat desa. Kemudian, pada 8 Januari 1984 dengan magnitudo 6,7 di Mamuju namun tidak ada catatan korban jiwa tetapi banyak rumah rusak.

 

Sumber: presentasi BNPB

 

Korban jiwa

Data Pusat Pengendali Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana per 17 Januari 2021 pukul 14.00 WIB, melaporkan korban meninggal dunia dampak gempa M6,2 di Sulbar 73 orang, dengan rincian 64 orang meninggal dunia di Mamuju dan sembilan di Majane.

Terdapat 554 korban luka di Majene dengan rincian 64 luka berat, 215 luka sedang dan 275 orang luka ringan. Ada 27.850 orang mengungsi pada 25 titik pengungsian tersebar di Desa Kota Tinggi, Lombong, Kayu Angin, Petabean, Deking, Mekata, Kabiraan, Lakkading, Lembang dan Desa Limbua.

Di Kabupaten Mamuju, ada 189 orang luka berat atau rawat inap dan lima titik pengungsian di Mamuju dan Kecamatan Simboro.

Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dalam keterangan kepada media mengatakan, ada pelayanan kedaruratan pada tiga rumah sakit yang aktif di Mamuju, yakni, RS Bhayangkara, RS Regional Sulawesi Barat, dan RSUD Mamuju.

BNPB, katanya, akan memberikan dana stimulan bagi warga yang memiliki rumah dan mengalami kerusakan karena gempabumi Sulbar ini. Besarannya, Rp 50 juta buat rumah rusak berat, Rp25 juta rumah rusak sedang dan Rp10 juta bagi rumah rusak ringan.

BNPB juga menyerahkan bantuan awal untuk operasional kebutuhan pokok penanganan gempabumi Sulbar Rp4 miliar, Sabtu (16/1/21).

 

Kondisi pengungsi di satu sudut Kota Tinggi, Malunda. FotoL Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Pengungsi perlu bantuan

Pada 16 Januari 2021, siang, saya menuju Banua Galung, Malunda, dari Wonomulyo, Polewali Mandar. Ketika memasuki Sendana, kecamatan pertama setelah pusat Kota Majene, tenda pengungsian darurat berdiri sepanjang jalan. Pemandangan menyesakkan dada.

Bantuan belum menyentuh semua posko sejak gempa pertama. Bantuan masih berpusat ke Mamuju. Di depan posko, mereka memajang spanduk. Tulisannya macam-macam.

“Tolong. Ada pengungsi di sini.”

“Kami butuh makanan, air, dan obat.”

Di jalan, beberapa kali saya berpapasan dengan rombongan bantuan. Hanya beberapa singgah. Ketika rombongan bantuan lewat, para pengungsi ke tengah jalan, memberi isyarat minta bantuan.

Di Desa Tubo, Kecamatan Sendana, seribuan warga meninggalkan rumah mereka dan menempati tenda darurat di Posko Tubo. Jumlah pengungsi kemungkinan bertambah didominasi orang usia lanjut dan anak-anak.

Posko Tubo berdiri sejak gempa pertama. Posko itu berada di atas bukit, tepi Jalan Trans Sulawesi. Laut tepat di bawah bukit itu. Indah tetapi mencemaskan.

Sejak BMKG menyatakan, akan ada gempa susulan dan kemungkinan berpotensi tsunami, warga di Majene risau. Kerisauan warga tidak berlebihan, karena perkampungan dominan berada di pesisir.

Di Tubo, pengungsi berharap dari patungan bahan makanan yang mereka bawa masing-masing dari rumah. Tanpa bantuan, persediaan makanan menipis. “Ini kami khawatir kalau sudah tidak ada lagi,” kata Nasir, Kepala Desa Tubo.

“Itu pepaya muda kami bikin sambal, untuk pengganti ikan. Itu dimakan para pengungsi,” kata Halik, warga Tubo.

Warga di Tubo tidak tahu, kalau Pemerintah Majene telah menetapkan posko di Kota Tinggi, Malunda menjadi posko induk. Semua bantuan logistik, terkumpul di Kota Tinggi. Posko kesehatan juga di sini.

Di Posko Kota Tinggi, perwakilan warga, macam camat, membawa data pengungsi dari tiap desa untuk penyaluran bantuan.

 

Spanduk warga pengungsian minta bantuan di Posko Tubo, Majene. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah belum mendata berapa orang mengungsi di Kota Tinggi. Sekitar 17.000 pengungsi dari kecamatan Ulumanda-Malunda masih taksiran.

Warga sudah terlalu lapar demi kepastian perhatian dari pemerintah. Malah, pengungsi di Majene mendapat stigma sebagai penjarah distribusi logistik.

Apa sesungguhnya yang dilakukan Pemerintah Majene sejak gempa? “[Bantuan] baru datang!” kata Lukman, Pelaksana Tugas (PLT) Bupati Majene.

“Kenapa?” saya tanya.

“Kalau bantuan dari pemda kemarin sudah toh… [Sabtu] bantuan dari luar. Dari pemerintah pusat. Dari luar daerah Sulbar. Kalau sudah datang, langsung kami bagi,” kata Lukman.

Ternyata itu hanya klaim belaka. Masih banyak posko pengungsian sama sekali belum menerima bantuan, terutama di wilayah terisolir, macam enam desa di Kecamatan Ulumanda, Majene.

“Makanya, tadi saya langsung bagi,” kata Lukman.

Cerita mungkin berbeda kalau Awal dan pemuda lain asal Ulumanda tak mencegat Lukman di Posko Kota Tinggi, sore itu, 16 Januari.

“Kita datang ke sini, karena mau pertanyakan kejelasan penyaluran logistik. Karena penyaluran di Ulumanda terus diprioritaskan di bagian pesisir saja,” kata Awal.

“Sementara desa-desa [di Ulumanda] yang terisolir tidak.”

Di Majene, bukan hanya enam desa di Ulumanda yang terisolir. Masih banyak.

 

Doni Monardo, Kepala BNPB, saat peninjauan lokasi terdampak gempabumi Sulbar bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuldjono serta Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, Mamuju, Sulbar, Minggu (17/1/21). Foto: BNPB

 

 

Pisahkan kelompok rentan

Doni Monardo, Kepala BNPB meminta, penanganan pengungsian warga terdampak gempabumi Sulbar agar memisahkan antara kelompok rentan dengan usia muda. Tujuannya, mencegah penularan dan mengantisipasi potensi risiko penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 di tempat pengungsian.

“Di pengungsian diharapkan ada pemisahan antara kelompok rentan dengan kelompok berusia muda. Kelompok rentan harus kita lindungi karena ada COVID-19,” katanya, dalam keterangan kepada media.

Kelompok rentan ini, antara lain, katanya, mereka yang berusia lanjut, warga yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid, ibu hamil, ibu menyusui, disabilitas, balita dan anak-anak.

Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 itu juga memberikan dukungan berupa alat test cepat antigen untuk memeriksa dan menelusuri penularan COVID-19 di lingkungan pengungsian.

“Nanti akan ada proses swab antigen, untuk kita menjamin para pengungsi tidak terpapar COVID-19.”

Apabila ada warga pengungsi reaktif swab antigen, katanya, segera mendapatkan tindak lanjut dari Dinas Kesehatan setempat.

Saya memutuskan menginap di posko pengungsian Banua Galung. Pengungsi tidur beralas terpal di atas bidang tanah basah. Dingin menyusup ke tenda mereka. Orang-orang menyelimuti diri dengan sarung atau sekadar memakai baju tebal. Yang tua hingga paling kecil, tidur bersampingan di bawah tenda terpal. Mereka terpaksa menerabas protokol kesehatan. Tak ada pilihan lain.

Pengungsi umumnya perlu bahan makanan, air bersih, selimut, tenda, obat-obatan dan vitamin. Keperluan mendesak juga termasuk, popok bayi, pembalut, dan susu formula untuk usia 0-3 tahun.

“Mungkin pemerintah urusi yang lain. Banyak, bukan cuma kita,” kata Rizal Donpal, warga Banua lain. “Kita tetap berharap bantuan dari pemerintah.”

 

 

 

 

****Keterangan foto utama: Bangunan runtuh di gempa Sulbar. Foto: BNPB

Exit mobile version