Mongabay.co.id

Greenwashing dan Pentingnya Standardisasi Produk Berlabel “Ramah Lingkungan”

Apakah Anda pernah mendengar, melihat atau membaca sejumlah produk yang ditawarkan dengan diembel-embeli kata-kata yang berkonotasi ramah lingkungan?  Dengan tambahan atribut “ramah lingkungan”, biasanya konsumen, tanpa mempertanyakan lebih jauh, akan membeli produk tersebut tanpa menyelidiki lebih jauh apakah memang benar produk-produk itu produk yang ramah lingkungan.

Sejumlah produk dengan label “eco-friendly”,“nature-friendly”,“biodegradable”,“natural”, “organic” atau “save the earth” dapat dengan mudah kita jumpai sekarang ini di pasaran. Beberapa produk lainnya pun dikemas sedemikian rupa dengan menonjolkan gambar hutan tropis, pegunungan atau hewan-hewan tertentu, untuk memberi kesan lebih alami.

Terkait hal-hal tersebut, ada dua kemungkinannya. Kemungkinan pertama, produk-produk itu memang benar-benar ramah lingkungan. Kemungkinan kedua, produk-produk itu sebenarnya tidak/belum memenuhi syarat ramah lingkungan, namun hanya diklaim ramah lingkungan.

Baca juga: Program Pembiayaan Berkelanjutan: Mencegah Investasi yang Merusak Alam

 

 

 

Pasar dan Praktik Greenwashing

Bertambahnya kesadaran lingkungan di kalangan sebagian konsumen tampaknya telah mendorong sejumlah produsen untuk meluncurkan produk-produk yang diberi label ramah lingkungan. Celakanya, beberapa produsen sebenarnya cuma melakukan apa yang diistilahkan sebagai greenwashing,  yaitu bentuk promosi dan pemasaran untuk membangun persepsi  bahwa produk-produk yang mereka jual  maupun proses produksi yang mereka lakukan sebagai ramah lingkungan.

Pelabelan produk merupakan salah satu cara untuk melakukan greenwashing. Cara lainnya yaitu lewat iklan.

Dalam praktiknya, bisa saja produk yang dipasarkan maupun proses produksi yang dilakukan sama sekali tidak ramah bagi lingkungan. Bahkan, mungkin saja sesungguhnya berdampak sangat buruk bagi lingkungan.

Will Kenton (2020) menyebut greenwashing sebagai proses penyampaian pesan dan kesan palsu atau memberikan informasi yang menyesatkan tentang bagaimana produk yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan seolah-olah lebih ramah lingkungan. Menurut Kenton, greenwashing merupakan klaim yang tidak berdasar untuk memperdaya konsumen agar percaya bahwa produk mereka ramah lingkungan.

Pertanyaaanya adalah, kenapa perusahaan memilih melakukan greenwashing?

Greenwashing — atau ada juga yang menyebutnya sebagai greensheen — adalah salah satu cara perusahaan untuk memanfaatkan permintaan (demand) yang terus meningkat akan produk-produk yang ramah lingkungan,  lebih alami, lebih sehat, lebih bebas bahan kimia, dapat di daur ulang, atau tidak terlalu menguras sumber daya alam.

Istilah greenwashing sendiri pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985 oleh ahli lingkungan Jay Westervelt. Saat berada di sebuah pulau di Pasifik Selatan, Westervelt merasa “ada yang aneh” ketika mendapati ada hotel yang menempatkan papan pemberitahuan agar para tamu menggunakan kembali handuk yang telah digunakan dengan dalih untuk menyelamatkan lingkungan.

Baca juga: Ini Cara Pengusaha Muda Ende Hasilkan Produk Ramah Lingkungan

 

Produk ramah lingkungan harus benar-benar memenuhi standard yang ditetapkan oleh Badan Pemerintah. Ilustrasi; Hidayaturohman/Mongabay Indonesia

 

 

Westervelt cenderung menduga pemberitahuan tersebut dimotivasi oleh keinginan pengelola hotel untuk mencuci lebih sedikit handuk sehingga akan menghemat ongkos binatu (laundry) ketimbang keinginan melestarikan lingkungan. Sejak itulah, istilah greenwashing mulai populer di kalangan para aktivis lingkungan dan di kalangan para praktisi pemasaran dan periklanan.

Para produsen sepenuhnya sadar bahwa masa depan kelangsungan bisnis mereka ada di tangan para konsumen. Jumlah konsumen bukan saja mesti dipertahankan, tetapi juga harus terus bertambah. Peningkatan jumlah konsumen berarti peningkatan profit. Sebaliknya, penurunan jumlah konsumen bermakna penurunan profit.

Sejauh ini, sejumlah riset menyimpulkan bahwa kalangan milenial, yang cenderung lebih perduli lingkungan, akan menjadi konsumen utama masa depan. Riset yang dilakukan oleh Nielsen pada tahun 2015, misalnya, menunjukkan bahwa 73 persen kaum milenial bersedia membayar lebih untuk produk-produk barang yang masuk kategori ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Riset lain yang dilakukan oleh Mckinsey yang berjudul Fashion’s New Must Have: Sustainable Sourcing At Scale, memperlihatkan bahwa penelusuran daring (online) untuk kata “mode berkelanjutan” telah meningkat tiga kali lipat antara tahun 2016 dan 2019.

Dalam upaya menambah jumlah konsumen, taktik greenwashing dipilih sejumlah perusahaan karena diyakni akan memikat lebih banyak calon konsumen saat ini dan di masa depan, selain juga mengirimkan pesan yang tepat kepada konsumen yang semakin paham dan peduli pada lingkungan.

Baca juga: Pandemi dan Wacana Ekonomi Sirkular untuk Mengurangi Sampah 30% pada 2025

 

Produk ramah lingkungan diklaim memberi dampak minimal pada bumi, termasuk limbahnya. Ilustrasi: Hidayaturohman/Mongabay Indonesia

 

 

Dalam kacamata Lyla Acaroglu (2019), greenwashing adalah bentuk penyesatan informasi,  yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang mengalihkan perhatian konsumen dari apa yang sebenarnya terjadi.

Menurutnya, praktik greenwashing telah merebut ruang berharga kita dalam perjuangan sesungguhnya dalam melawan masalah-masalah  lingkungan yang lebih signifikan seperti perubahan iklim, pencemaran plastik di laut, pencemaran udara, dan kepunahan spesies global.

Sedihnya, tambah Acaroglu, tidak sedikit perusahaan melakukan praktik greenwashing secara tidak sengaja, karena mereka tidak mempunyai keahlian untuk mengetahui apa yang benar-benar bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat bagi lingkungan.

Lantas, bagaimana kita, sebagai konsumen, agar tidak begitu saja terperdaya dan menjadi korban empuk praktik-praktik greenwashing? Sikap kritis dan skeptis konsumen sangat diperlukan agar terhindar dari jebakan greenwashing. Untuk itu, kita harus selalu membaca label produk dengan teliti. Jika diperlukan kita harus melakukan riset, yang saat ini semakin dimungkinkan lewat penelusuran secara online.

Keberadaan Indeks Ekolabel, direktori yang memuat hampir 456 produk bersertifikat ramah lingkungan di 199 negara dan 25 sektor industri, dapat dimanfaatkan untuk lebih memastikan apakah produk-produk yang ditawarkan termasuk benar-benar ramah lingkungan atau tidak.

Dalam konteks domestik, untuk makin mempermudah konsumen di negeri ini memastikan sebuah produk itu ramah lingkungan perlu pula segera dibuat standarisasi nasional yang lebih luas terkait produk-produk yang berkategori ramah lingkungan.

Sejauh ini, Badan Standardisasi Nasional baru melakukan standarisasi produk ramah lingkungan untuk kategori pangan organik, mainan anak, kantong plastik mudah terurai, baterai mobil listrik, dan produk kayu olahan.

 

* Rejeki Wulandari, penulis lepas, peminat masalah lingkungan. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama: Ilustrasi Hidayaturohman/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version