Mongabay.co.id

Pohon dan Manfaat Lingkungan yang Kita Lupakan

 

Hari Sejuta Pohon Sedunia, kita peringati setiap 10 Januari. Kegiatan ini merupakan momen penting dalam sejarah perkembangan lingkungan hidup manusia yang gerakannya diinisiasi para pemerhati lingkungan dan green scholars. Tujuannya adalah adanya kepedulian bersama akan permasalahan pemanasan global yang melanda Bumi.

Gerakan ini fokus unutk membangun kepedulian kita bersama, dengan cara menanam pohon serta menjaga sistem ekologis hutan.

Seperti yang kita ketahui, dikutip dari National Geographic Indonesia, pohon dengan daun hijaunya memiliki proses fotosintesis mengagumkan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia di dunia ini. Juga sangat penting bagi kehidupan satwa. Pohon berperan mengurangi kadar CO2 di udara dan menghasilkan O2. Pohon juga dapat menahan laju air sehingga akan lebih banyak yang terserap ke dalam tanah.

Berdasarkan penelitian, masih dikutip dari sumber yang sama, tegakan hutan yang berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah. Bahkan, tegakan hutan yang berdaun lebar mampu membuat 80 persen air hujan terserap tanah. Dengan kemampuan hebat pepohonan, cadangan air tanah akan meningkat yang tentunya sangat penting bagi kehidupan kita semua.

Begitu krusialnya manfaat pohon, tentunya dengan momen Hari Satu Juta Pohon Sedunia, gerakan ini bisa terus kita tingkatkan.

Di Indonesia, gerakan menaman memang harus digaungkan. Mengingat, kerusakan hutan terjadi. Kita jangan sampai terlena dengan Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis [tropische regenwald], sekaligus tempat hidupnya flora dan fauna dari berbagai spesies. Sebaran hutan hujan tropis yang berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Baca: Menanam Pohon, Membangun Peradaban Manusia

 

Pohon tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan manusia tetapi juga untuk satwa dan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kelola hutan

Sachs dan Warner [1995] dalam penelitiannya berjudul ‘Natural Resource Abundance and Economic Growth’ menjelaskan bahwa berlimpahnya sumber daya alam suatu negara, tidak serta merta akan membuat pertumbuhan ekonomi negara tersebut akseleratif.

Temuan ini diperkuat oleh Rosser [2006] yang mengatakan bahwa, seiring waktu, kebanggaan negara-negara akan sumber daya alam yang melimpah hanya akan menjadi sejarah, karena sumber daya alam akan habis dan [tentu] tidak bisa dibanggakan lagi. Sementara di sisi lain, masyarakat akan tetap miskin.

Menyoal data kerusakan hutan di Indonesia, sampai saat ini belum ditemukan data yang sama. Hal ini terjadi dikarenakan banyaknya stakeholders yang memiliki basis data berbeda tentang deforestasi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] melalui Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan melaporkan bahwa selama medio 2018 sampai 2019, angka deforestasi netto Indonesia relatif rendah, yaitu 462,4 ribu hektar. Luas deforestasi terbesar terjadi di hutan sekunder yaitu 162,8 ribu hektar [KLHK, 2019].

Global Forest Watch menyebutkan, rusaknya hutan primer Indonesia menurun 5% pada tahun 2019 dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menandai tahun ketiga, secara berturut, dengan tingkat kehilangan hutan yang lebih rendah, yang diperkirakan berkisar pada 324 ribu hektar.

Belum seragamnya data mengenai deforestasi, merupakan tantangan yang harus diselesaikan dalam permasalahan hutan di Indonesia.

 

Pohon besar yang berdiri tegak di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan riset Pusat Penelitian Kependudukan LIPI yang dilakukan selama 2015 sampai dengan 2017 di kawasan hutan Mentawai [penulis terlibat langsung], menjaga kelestarian hutan dan juga pohon bisa diinisiasi dengan memberikan hak penuh pada masyarakat lokal untuk mengelola hutan mereka.

Kondisi ini berkaca pada pengelolaan hutan dalam 40 tahun terakhir di Mentawai yaitu ketika izin pengelolaan kawasan hutan diberikan kepada badan usaha baik berupa koperasi, HPH, dan HTI [Laporan Kajian Kawasan Hutan Mentawai LIPI, 2017].

Dengan mempercayakan masyarakat sebagai pengelola hutan, artinya masyarakat diberi kepercayaan merawat pohon serta tanaman lain yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Sesuai kearifan lokalnya.

 

Pohon Nyatoh, flora identitas Bangka Belitung yang tumbuh di hutan Rimba Keratung di Desa Serdang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Untuk kawasan hutan tropis yang cenderung didominasi tegakan pohon tinggi dan besar seperti di Mentawai dan Kalimantan, maka jenis pohon seperti jati, gaharu, durian, dan jenis tanaman tua lainnya paling cocok untuk dikembangkan.

Selain memiliki manfaat untuk kehidupan masyarakat, beberapa pohon ini juga merupakan ‘simbol’ dalam kehidupan mereka. Ketika hal ini dilakukan, maka bukan hanya pohon dan hutan terjaga, keterjaminan pangan masyarakat juga terpenuhi. Dengan begitu, pengetahuan lokal masyarakat dalam menjaga lingkungan dapat diterapkan dengan baik.

Hari Satu Juta Pohon sejatinya tidak menjadi gerakan yang tidak hanya dilakukan sebagai selebrasi semata. Tapi juga, gerakan kepedulian lingkungan kita bersama dengan tetap mempertimbangkan aspek sosio-ekologis. Dengan begitu, kita mendapat manfaat positif dari pohon yang kita tanam dan lingkungan yang kita jaga.

 

* Lengga Pradipta, Peneliti Ekologi Manusia – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI]. Tulisan ini opini penulis. 

 

Referensi:

Global Forest Watch. 2020.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2019.

LIPI. 2017. Laporan Kajian Kawasan Hutan Mentawai. Pusat Penelitian Kependudukan LIPI dan Bappeda Kab. Kep. Mentawai. November 2017.

National Geographic. 2013. 10 Januari, Selamat Hari Sejuta Pohon Sedunia.

Rosser, A. 2006. Escaping the Resource Curse. New Political Economy Vol. 11, No. 4, Dec 2006.

Sachs, J. and Warner, A.M. 1995. Natural Resource Abundance and Economic Growth. Working Paper 5398 National Bureau of Economic Research. December 1995. DOI 10.3386/w5398

 

 

Exit mobile version