Mongabay.co.id

Tugas Nahkoda Baru dalam Membangun Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sempat menjadi primadona Pemerintahan Jokowi jilid 1 beberapa saat lalu menghadapi nestapa. Hal ini disebabkan karena terbongkarnya kasus korupsi ekspor benih lobster atau benur yang menyeret nama sejumlah pejabat KKP termasuk di dalamnya nama Edhy Prabowo selaku mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.

Selama setahun menjabat Menteri KKP, Edhy terlihat banyak berseberangan dalam hal kebijakan dengan pendahulunya. Antara lain membuka izin ekspor benih lobster yang oleh menteri sebelumnya sangat dilarang, meniadakan penenggelaman kapal pelaku penangkapan ikan ilegal, hingga wacana akan mengizinkan kembali alat tangkap cantrang.

Kini KKP mempunyai nahkoda baru untuk membangun kelautan dan perikanan Indonesia. Namanya sudah tak asing lagi, di dunia usaha telekomunikasi dan pertahanan, namun sangat asing di dunia kelautan dan perikanan. Rabu, 23 Desember 2020 Presiden melantik Wahyu Sakti Wahyu Trenggono, Wakil Menteri Pertahanan untuk mengisi pos Menteri Kelautan dan Perikanan menggantikan Edhy Prabowo.

KKP merupakan kementerian teknis yang mengurus pembangunan di bidang kelautan dan perikanan. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan KKP akan berpengaruh besar terhadap keberlanjutan sumber daya laut dan kesejahteraan masyarakat, terutama nelayan dan pembudidaya.

baca : Indikasi Kemunduran Tata Kelola Kelautan dan Perikanan Mulai Terlihat

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memegang anakan lobster di di Tangerang, Sabtu (4/7/2020). Foto : KKP

 

Absennya Visi Besar Kelautan dan Perikanan

Berkaca ketika Edhy Prabowo dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada Oktober 2019 silam, ia menegaskan bahwa tidak ada visi misi Menteri yang ada hanya visi misi Presiden. Menurutnya Presiden menitipkan dua hal, yaitu membangun komunikasi dengan nelayan dan juga mengoptimalkan pengembangan budidaya perikanan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari pendapat Edhy terkait tidak adanya visi misi Menteri. Karena memang Presiden Jokowi sendiri yang menegaskan bahwa tidak ada visi misi Menteri yang ada hanya visi misi Presiden dan Wakil Presiden. Walaupun pesan terkait tidak ada visi misi Menteri tidak lagi terdengar saat Presiden mengumumkan adanya reshuffle kabinet ataupun saat melantik Menteri yang baru 23 Desember 2020 kemarin.

Namun demikian, seorang Menteri seharusnya bisa mengelaborasi dan mengimplementasikan visi misi Presiden ke dalam pembangunan yang jelas dan terarah.

Setelah satu tahun Menteri Edhy menjabat, entah mengapa pembangunan kelautan dan perikanan seakan belum menemukan visi besarnya. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Edhy masih belum dapat menyelesaikan masalah dalam bidang kelautan dan perikanan, malah kebijakannya cenderung menimbulkan kontroversi.

Jika berkaca pada pembangunan kelautan dan perikanan pada masa Menteri Susi, terdapat tiga pilar pembangunan kelautan dan perikanan yang selalu menjadi landasan dari setiap kebijakan yang dikeluarkan KKP. Tiga pilar tersebut adalah Kedaulatan, Keberlanjutan dan Kesejahteraan, kemudian jika dikaitkan ketiga pilar tersebut akan saling berhubungan. Dengan adanya kedaulatan di laut maka keberlanjutan sumber daya laut akan terjaga dan akan memberikan kesejahteraan pada masyarakat.

Harapannya pilar-pilar tersebut dapat kembali digunakan oleh nahkoda baru KKP Wahyu Sakti Trenggono untuk melandasi setiap kebijakan yang ia keluarkan dalam membangun kelautan dan perikanan.

baca juga : Babak Baru Polemik Cantrang

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono memberikan keterangan di kantor KKP Jakarta, Rabu (23/12/2020). Foto : KKP

 

Tugas Besar Nahkoda baru KKP

Jika KKP diibaratkan sebagai kapal, maka Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) adalah nahkoda. Ia adalah orang yang menentukan kemana kapal akan dibawa dan ia juga yang menentukan keselamatan orang-orang di dalam kapal.

Sedikitnya ada empat tugas besar yang harus bisa diselesaikan oleh Menteri KP yang baru. Pertama, mendapatkan kepercayaan publik. Kepercayaan publik sangat penting bagi seorang menteri dalam menjalankan tugasnya.

Mengutip survey yang dirilis oleh Lembaga Survey Arus Survey Indonesia pada Juni 2020 lalu terkait tingkat kepuasan kinerja Menteri, Menteri KP sebelumnya Edhy Prabowo mendapatkan tingkat kepuasan paling rendah diantara menteri-menteri yang lain. Belum lagi ditambah dengan adanya kasus korupsi benur di tubuh KKP, tentunya tingkat kepuasan akan semakin sangat rendah.

Posisi Wahyu saat ini tentu tidak mudah untuk mendapat kepercayan publik jika dilihat dari latar belakangnya yang bukan profesional di bidang kelautan dan perikanan.

Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh Menteri Wahyu untuk mendapatkan kepercayaan publik adalah dengan berani membuat kebijakan yang selama ini selalu dikritisi oleh publik. Seperti menghentikan kebijakan ekspor benih lobster melalui revisi Permen KP No.12 tahun 2020.

Hingga hari ini kebijakan terkait ekspor benur masih distop dan dievaluasi, belum terlihat titik terang apakah kebijakan ini akan dihentikan oleh Menteri Wahyu.

perlu dibaca : Akankah Menteri KP Baru Hapus Kebijakan Ekspor Benih Lobster?

 

Nelayan menunjukkan lobster jenis mutiara hasil tangkapannya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kedua mencari solusi langsung dari permasalahan nelayan dan pembudidaya. Menteri Wahyu harus bisa membuktikan walaupun ia bukan berlatar belakang bidang kelautan dan perikanan tapi ia mampu meracik kebijakan yang pro lingkungan dan sumberdaya juga berorientasi pada kesejahteraan nelayan.

Menteri Wahyu harus langsung berfokus pada masalah-masalah yang dihadapi nelayan saat ini. Seperti diketahui bersama saat ini perekonomian Indonesia memasuki masa resesi. Nelayan merupakan salah satu pihak yang terdampak resesi. Apalagi ditambah kondisi pandemi yang belum kunjung usai makin mempersulit nelayan dan menyebabkan harga ikan tangkapan menurun di beberapa wilayah.

Ketiga, memutus mata rantai oligarki. Korupsi benur mengungkap tabir kongkalingkong antara pejabat negara dengan pihak swasta untuk memonopoli sumberdaya kelautan dan perikanan.

Oligarki semacam ini bukan hanya merusak keberlanjutan sumberdaya perikanan, namun juga dapat mengendalikan harga pasar yang merugikan bagi pelaku usaha.

Untuk memutus mata rantai oligarki, pertama-tama Menteri Wahyu harus memastikan dirinya terbebas dari kepentingan bisnis dan politik balas budi. Setelah itu ia harus bisa memilih orang-orang yang professional di bidangnya dalam membantu kinerjanya sebagai menteri. Khususnya dalam penunjukan staf khusus harus dipastikan bahwa orang-orang yang ditunjuk bersih dari orientasi bisnis dan kepentingan politik praktis.

penting dibaca : Catatan Akhir Tahun : Perjuangan Masyarakat Pesisir Keluar dari Tekanan Pandemi COVID-19

 

Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Keempat, transparansi proses perizinan. Poin keempat ini ada sangkut pautnya dengan poin ketiga, karena oligarki selalu bermula dari proses perizinan dan mengakar menjadi penguasaan sumberdaya.

Dalam hal transparansi perizinan bukan hanya sebatas merilis data-data perusahaan yang mengantongi izin usaha. Tapi harus dimulai dengan melibatkan stakeholder terkait seperti akademisi, praktisi, LSM, dan perwakilan masyarakat dalam proses perizinan untuk menghindari potensi terjadinya relasi kuasa.

Selamat Bertugas Menteri Wahyu Sakti Trenggono, bidang kelautan dan perikanan adalah kekuatan besar bagi kemajuan Indonesia. Semoga Amanah!

 

 

*Anta Maulana Nasution, Peneliti Bidang Kemaritiman Pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Tulisan ini merupakan opini penulis

 

Exit mobile version