Mongabay.co.id

Menyoal Food Estate di Sumatera Utara

Lahan food estate di Humbang Hasundutan sudah ada yang mulai tanam. Foto: Barita News

 

 

 

 

Sebagian proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Sumatera Utara mulai berjalan, seperti di Desa Ria Ria, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan. Tanaman holtikultura mulai tanam, seperti bawang merah dan bawang putih. Secara total,  pemerintah mencanangkan food estate di Sumatera Utara sekitar 61.042 hektar.

Luasan food estate itu, melingkupi empat kabupaten, yakni, Humbang Hasundutan 23,000 hektar, Pakpak Barat (8.329 hektar), Tapanuli Tengah (12.655 hektar) dan Tapanuli Utara 16.833 hektar. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga mencanangkan kebun raya 1.150 hektar dan taman sains herbal 500 hektar.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo Oktober tahun lalu peninjauan lahan food estate di Sumut. Kala itu, Jokowi mengatakan, Sumut akan jadi satu wilayah pengembangan food estate setelah Kalimantan Tengah.

Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

Berbagai kalangan menilai, proyek ini bisa berpotensi memunculkan masalah baru, antara lain soal lahan adat, deforestasi sampai ancam habitat satwa.

Roganda Simanjuntak, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, status tanah adat di Desa Ria Ria belum ada perlindungan dari pemerintah. Namun, katanya, pemerintah memberikan sertifikat tanah kepada sebagian orang di desa itu. “Ini juga yang tidak tahu alasannya kenapa yang diberikan sertifikat hanya sebagian orang.” katanya.

Baca: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

Sertifikat yang diberikan ini, katanya, dapat jadi jalan lahan-lahan adat lepas ke perusahaan. Masyarakat Desa Ria Ria, katanya, masih dilema dalam menerima sertifikat pemerintah ini.

Dia pun khawatir, food estate ini dapat menyebabkan nilai budaya masyarakat Ria Ria, terkikis bahkan hilang. Warga Desa Ria Ria, katanya, memiliki budaya pertanian andaliman dan kemenyan. Sedangkan proyek food estate lebih kepada tanaman holtikultura. “Ini yang akan menyebabkan petani gagap. Tak terbiasa menanam jenis holtikultura. Kalau harus belajar lagi, pasti akan membutuhkan waktu lama,” katanya.

Baginya, program ini tidak menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. “Kenapa pemerintah tidak memberikan modal, wadah pengembangan kepada masyarakat untuk lebih produktif lagi dalam mengembangkan hasil tani di Ria Ria? Apalagi, andaliman dan kemenyan memiliki nilai tinggi di pasaran.”

Avena Matondang, antropolog di Sumut mengatakan, proyek lumbung pangan pemerintah hanya jadi karpet merah korporasi atau investor untuk menguasai tanah adat di Humbahas. Program ini, katanya, tidak melihat dari berbagai sisi, misal, soal tanaman holtikultura. Tanaman holtikultura seperti bawang merah dan bawang putih, katanya, bukan jenis yang biasa ditanam warga.

 

Kemenyan, hasil tanaman warga di Humbanfg Hasundutan.  Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Belum lagi, katanya, food estate ke tanah adat, akan merusak struktur adat. “Akan mengubah kultur masyarakat dalihan na tolu yang berbasis agrarian menjadi kepentingan ekonomis seperti jual beli lahan,” katanya.

Tanaman andaliman dan kemenyan di sana, katanya, bisa menjadi kenangan. Padahal, kedua tanaman ini tidak hanya bernilai ekonomis juga budaya.

Kemenyan, katanya, jadi dupa atau aroma untuk mengadakan ritual menyembuhkan orang sakit. Saat hendak memanen kemenyan, para petani akan melantunkan syair atau doa permohonan agar hasil memuaskan. Begitu juga andaliman, katanya, sebagai bumbu makanan khas Batak Toba yang sering jadi hidangan upacara adat Batak.

Pemerintah, kata Avena, seharusnya membuat yang sesuai kebutuhan dan nilai budaya dari masyarakat. Pemerintah juga harus melibatkan masyarakat adat sebagai dalam setiap kebijakan di tanah adat. Pemerintah pun, harus mengakui tanah adat sekaligus kelengkapan adatnya yakni budaya dan tanah.

Doni Latuparissa, Direktur Eksekutif Sumut mengatakan, tak mempermasalahkan rencana pemerintah membuat food estate di Sumut. Yang jadi masalah, katanya, ketika negara mengalokasikan kawasan hutan terlebih hutan lindung jadi lahan untuk itu.

Kondisi ini, katanya, akan menambah lagi tekanan terhadap hutan, terjadi deforestasi dan jelas mengancam keragamanan hayati di dalamnya.

Doni bilang, negara perlu mempertimbangkan lokasi lahan untuk food estate ini. Masukan dia food estate ini di lahan-lahan terlantar, misal, eks hak guna usaha atau bekas industri ekstraktif, bekas perkebunan ilegal, eks pertambangan atau kawasan terlantar bekas industri rakyat.

Dia juga menyoroti peraturan Menteri LHK No 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate. Aturan itu, katanya, akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.

Kondisi ini, katanya, seperti persekongkolan antara negara dan investor. Seharusnya, food estate ini dari pertanian masyarakat bukan dari kolaborasi pemerintah dengan korporasi.

Aturan itu sejalan dengan pengesahan UU Cipta Kerja, yang membuka peluang bagi negara mengambil ruang-ruang rakyat dan membuka lahan-lahan untuk kepentingan bisnis skala besar.

Belum lagi, katanya, kalau berhadapan dengan tanah adat atau tanah ulayat. Ketika negara melakukan alih fungsi hutan di kawasan yang tumpang tindih dengan wilayah adat, bisa memicu konflik lagi.

Doni minta pemerintah kembali mengkaji dan mempertimbangkan lokasi food estate ini.

Ilustrasi. Kedaulatan pangan harus dibangun dengan tetap memperhatikan lingkungan masyarakat beserta sosial budayanya. Satu contoh, food estate di Desa Ria Ria, Humbahas akan kembangkan tanaman holtikultura seperti bawang merah, bawang putih, padahal warga di sana biasa tanam andaliman dan kemenyan. Andaliman dan kemenyan, bukan hanya tanaman komoditas, juga budaya bagi mereka.  Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Agroforestri dan ruang satwa

Yacob dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan matang dengan food estate di kawasan hutan termasuk hutan lindung. Ada beberapa hal harus jadi perhatian untuk tetap mempertahankan kelestarian ekosistem hutan di Sumut.

Produksi pangan, katanya, bisa dengan konsep agroforestri yakni pengelolaan sumber daya dengan memadukan tanaman hutan atau pohon kayu-kayuan dengan komoditas atau tanaman jangka pendek. Hal ini, katanya, untuk mempertahankan hutan dengan tetap hasilkan buah, getah, atau lain-lain juga tanaman jangka pendek yang semua jadi sumber ekonomi masyarakat.

Pemerintah, katanya, harus mengindari area-area penting secara lingkungan hidup dan habitat satwa kunci.

Tak hanya itu, pemerintah juga harus memperhatikan area lindung tidak jadi kawasan budidaya karena ada lintasan satwa. Dia contohkan, salah satu orangutan Tapanuli. Menurut dia, perlu penegasan bahwa habitat orangutan Tapanuli itu tak masuk dalam peta wilayah food estate.

Bahkan sebaliknya, kata Yacob, pemerintah perlu memperkuat pemulihan atau restorasi habitat yang terdegradasi. Perlu juga memastikan, katanya, lokasi food estate ini tidak merusak sistem tata air karena itu juga menjadi modal untuk pengembangan food estate.

“Bagaimana food estate ini menjadi harmonis pada bentang alam, baik sisi sosial, ekologis, dan ekonomi atau mata pencaharian masyarakat,” katanya.

Konsep food estate, hendaknya mengakomodasi dan mempertahankan hutan maupun jalur satwa hingga ada harmonisasi di bentang alam itu.

“Wilayah jelajah satwa jangan terputus karena berbagi ruang itu tetap harus dilakukan, tidak mungkin untuk satwa semua atau untuk manusia semua karena itu harus seimbang.”

Yacob mengulang lagi tiga hal penting perlu jadi pertimbangan utama, yakni, hutan lindung, habitat satwa kunci harus dihindari dan cadangan sumber air.

Masukan lain, katanya, soal komoditas yang dikembangkan, misal, wilayah berbatasan dengan habitat satwa tak ditanami tumbuhan yang disukai satwa hingga mereka tak jadi hama. Tetapi, katanya, harus ada kepastian satwa memiliki ruang dan tumbuhan pakan cukup agar masuk ke ruang food estate.

Kalau food estate dalam kawasan hutan, katanya, harus pilih tanaman sesuai agar bisa jadi sarana pemulihan hutan terdegredasi. Jadi, tanaman bisa jadi penghasilan masyarakat sekaligus memulihkan kawasan.

 

 

***** Keterangan foto utama: Lahan food estate di Humbang Hasundutan sudah ada yang mulai tanam. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version