Mongabay.co.id

Balqie Al Hafizh: Indonesia Masih Sepi Film Dokumenter Satwa Liar

 

 

Dokumentasi visual berupa foto, video dan film tentang kehidupan alam liar di Indonesia masih sangat sepi. Balqie Al Hafizh, konservasionis sekaligus sinematografer dari Bandung mencoba meramaikan dunia pendokumentasian satwa liar di Indonesia dengan membuat film dokumenter wildlife, yang bertujuan meningkatkan kesadaran kita semua akan kelestarian alam.

Sejumlah film hasil dokumentasinya adalah Orangutan Jungle School, The Javan Rhino, hingga Penyelamatan Danau Limboto, Gorontalo.

“Keanekaragaman hayati di Indonesia itu luar biasa. Flora dan faunanya sangat banyak. Bahkan, yang endemik melimpah, sangat perlu didokumentasikan keberadaannya,” kata Balqie Al Hafizh kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [16/1/2021].

Baca: Kaka Slank Gak Bisa Jauh dari Laut

 

Balqie Al Hafizh selalu semangat mendokumentasikan kehidupan satwa liar di berbagai belahan Bumi. Foto: Dok. Balqie Al Hafizh

 

Film dokumenter Orangutan Jungle School yang dibuat tim Balqie berkisah orangutan [Pongo] yatim piatu dan terlantar yang sedang sekolah di pusat penyelamatan orangutan di Pulau Kalimantan.

Layaknya manusia, setiap individu orangutan memiliki permasalahan sendiri. Di penangkaran itu, mereka diajarkan cara bertahan hidup di hutan.

Indonesia mempunyai tiga spesies orang utan, yakni orangutan sumatera [Pongo abelii], orangutan tapanuli [Pongo tapanuliensies], dan orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus].

IUCN [International Union for Conservation of Nature], menetapkan tiga jenis orangutan ini dalam status Kritis [Critically Endangered/CR] yang artinya satu langkah menuju kepunahan di alam liar.

Baca: Hati Wendi Prameswari Tidak Bisa Berpaling dari Kukang

 

Tiga spesies orangutan yang ada di Indonesia: pongo abelii, pongo tapanuliensis, dan pongo pygmaeus. Sumber: Batangtoru.org

 

Sedangkan The Javan Rhino yang dibuat tim Balqie menceritakan kehidupan badak jawa [Rhinoceros sondaicus] di Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK]. Satwa ini juga berstatus Kritis.

Sejumlah ancaman menghantui kehidupan satwa bercula satu ini. Mulai ancaman perburuan, dominasi tanaman langkap hingga potensi bencana alam berupa erupsi Gunung Anak Krakatau dan tsunami. Pembuatan film dokumenter Badak Jawa ini didukung oleh Oxford university.

“Membuat film dokumenter adalah proses memberi informasi, pendidikan, dan melakukan ajakan kepada masyarakat luas, bahwa Bumi ini bukan tentang manusia saja. Ada makhluk lain yang saling terkait satu sama lain untuk menjalankan keseimbangan alam,” kata Balqie.

“Dengan kesadaran itu, harapannya kita peduli dengan mereka beserta habitatnya.”

Baca juga: Amir Hamidy Tidak Pernah Takut “Mencari” Ular Berbisa

 

Badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: David Herman Jaya/Javan Rhino Expedition

 

Awal mula

Kecintaan Balqie pada hidupan liar, terutama satwa, bermula ketika masih duduk di bangku sekolah dasar [SD].

Ketika itu, ia menyaksikan macan tutul jawa atau macan kumbang [Panthera pardus melas] di sekitar perkebunan teh, di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Perjumpaan tak sengaja dengan predator utama di puncak rantai makanan di Pulau Jawa tersebut, terjadi pada suatu malam sekitar 1995. Saat itu, Balqie berusia 13 tahun.

“Saya ikut Papa ke kebun yang harus melewati kebun teh tersebut. Dari mobil, di tengah jalan yang jelek, kami melihat dua bola mata bersinar. Ternyata, itu mata macan tutul hitam jawa.”

Balqie kecil terperangah. Dia takut sekaligus takjub melihat kucing besar hitam itu. Macan kumbang adalah satwa identitas Provinsi Jawa Barat. Satwa dilindungi ini memiliki indra penglihatan dan penciuman yang tajam.

Macan ini soliter atau penyendiri. Dia aktif berburu di malam hari, mangsanya adalah hewan lebih kecil darinya dan biasanya diletakkan di atas pohon.

“Sejak malam itu saya sering ikut ke kebun, berharap bertemu lagi dan melihat satwa liar lainnya juga.”

Nasib baik, keinginan itu terwujud. Dia beberapa kali bertemu macan kumbang dalam perjalanan menuju kebun. Bahkan di lain waktu, dari kebun itu, dia sering menyaksikan burung elang terbang bebas.

Sejak malam itu, macan tutul hitam jawa menjadi pintu gerbang ketertarikan Balqie terhadap rahasia besar alam liar.

 

Slamet Ramadhan, macan tutul jawa yang dilepasliarkan di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Juni 2019. Foto: KLHK

 

Perkenalan dengan dunia visualisasi

Selepas SD, menuju remaja, Balqie menyenangi dunia fotografi. Dia sibuk memotret apa saja, dan mengeksplorasi rasa penasarannya.

“Berawal dari foto, namun kemudian di dunia perkuliahan semakin tertarik dengan perfilman terutama dokumentasi wildlife,” kata Balqie.

Kesukaannya merekam kegiatan satwa liar mengantar Balqie ke Rusia, Norwegia, Vietnam, hingga Kenya.

Dia bekerja untuk sebuah media yang konsen dengan alam liar [National Geographic Wild], ditugaskan membuat film dokumentasi. Sebut saja Amur Tigir [Siberian Tiger], The bear Paradise, Kamchatka; Life in North Pole, Svalbard, Norway; Sun Doong Cave, Vietnam; Serengeti, The Lions Kingdo, Kenya.

Ketika proses pembuatan film dokumenter Serengeti, The Lions Kingdom, sebuah dokumentasi tentang singa afrika timur [Panthera leo melanochaita], ada pengalaman yang tidak bisa ia lupakan. Kenangan dikejar gajah afrika [Loxodonta], pada suatu siang pukul 14.00 waktu bagian Kenya, 2013.

“Selepas makan siang, tim kami bergerak mencari singa di hutan savanna. Tiba-tiba setelah melewati persimpangan, mobil yang kami tumpangi langsung berhadapan dengan kelompok gajah afrika berisi belasan individu, jaraknya tak lebih 10 meter,” tutur Balqie.

 

Balqie yang punya pengalaman luar biasa saat membuat film dokumenter tentang satwa liar di dalam maupun luar negeri. Foto: Dok. Balqie Al Hafizh

 

Dari dalam mobil, Balqie melihat anak gajah dan ibunya di barisan depan.

“Tiba-tiba dari barisan paling belakang, seekor gajah paling besar berlari maju, yang lain pun ikut bersigap. Mobil kami segera mundur, hingga menabrak semak-semak, lalu kabur.”

Dari pengalaman ini, Balqie mendapat pelajaran bahwa selain mengandalkan riset objek satwa yang akan direkam, ada baiknya juga meriset habitat dan potensi satwa liar lainnya di wilayah tersebut. Tujuannya, supaya semua satwa di wilayah tempat direkam terasa nyaman dan aman.

“Kunci membuat dokumenter itu bagaimana kita membuat nyaman satwa liar yang kita jadikan objek dan juga membuat nyaman lingkungannya.”

 

 

Riset sebelum membuat film

Film dokumenter bagi Balqie adalah media paling sempurna dalam menyampaikan informasi, pendidikan, dan ajakan kepada semua pihak terhadap suatu fakta tertentu.

“Supaya tujuan pendidikan atau ajakan itu tersampaikan, penting sekali meneliti [riset] si subjek dokumentasi kita.”

Langkahnya mulai dari mengumpulkan fakta-fakta subjek dokumentasi, karakter, kebiasaan, hingga lingkungannya.

Dasar menghimpun informasi pun harus menggunakan acuan pertanyaan 5W+1H [What, who, when, where, why, how].

“Penting sekali tahu apa masalahnya subjek dokumentasi kita, siapa terlibat, di mana masalah ini terjadi, mengapa ada masalah tersebut, bagaimana mengatasi masalahnya,” tuturnya.

“Semakin lengkap data kita, semakin tahu sisi mana yang menarik sebagai konflik sebuah film fakta.”

 

Balqie berharap film dokumenter tentang satwa liar Indonesia semakin banyak digarap. Foto: Dok. Balqie Al Hafizh

 

Balqie juga mengajak kepada seluruh pegiat wildlife untuk memulai mendokumentasikan aktivitas satwa di sekitar. Dia menyarankan memulai dari hal-hal sederhana, misal hewan peliharaan, seperti kucing, anjing, ayam, bebek, kambing, sapi, kerbau, atau kuda, dan lainnya.

“Kalau selesai hal-hal di sekitar, baru nanti menggarap di alam. Indonesia harus banyak film dokumenter satwa liar,paparnya.

 

 

Exit mobile version