Mongabay.co.id

Lima Strategi Penanganan Bencana di Masa Pandemi COVID-19, Apa Saja?

 

Memasuki bulan Januari 2021, Indonesia didera bencana alam di berbagai daerah. Kamis siang (14/1/2012) warga Sulawesi Barat, khususnya di Mamuju dan Majene dikagetkan oleh sebuah guncangan besar, gempa berskala 5,9 SR.

Sekitar pukul 01.28 dini hari keesokan harinya, terjadi gempa susulan dengan kekuatan 6,2 SR. Gempa susulan ini memiliki daya rusak yang jauh lebih besar. Korban meninggal dunia tercatat 84 orang, ratusan orang dengan luka berat dan ringan dengan jumlah pengungsi mencapai 20 ribu orang.

Di hari yang sama bencana banjir juga terjadi di 10 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan menyebabkan korban jiwa 15 orang, dengan 112.709 jiwa terdampak dan mengungsi, serta 27.111 rumah terendam banjir. Kejadian banjir juga melanda Sulawesi Utara.

Menurut Adi Maulana, Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Makassar, kejadian bencana di Indonesia secara umum terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2020 saja, terjadi sebanyak lebih 2.939 kali bencana di Indonesia, yang jika direratakan setiap bulannya terjadi sekitar 245 kali bencana, setiap minggu sekitar 56 kali dan setiap hari 8 kali bencana di Indonesia. Di saat yang sama situasi pandemi COVID-19 masih terus meningkat.

“Walaupun vaksinasi telah dimulai, tetapi kita masih belum bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Beberapa ahli bahkan menyimpulkan, kita masih terus akan hidup dengan COVID-19 dalam waktu yang lama,” katanya, Minggu (17/1/2021).

baca : Bencana Sulawesi Barat: Ada Potensi Gempa Susulan, Bagaimana Kondisi Pengungsi?

 

Gempa dengan kekuatan 6,2 SR menyebabkan ambruknya sejumlah bangunan di Mamuju, Sulawesi Barat, dengan korban jiwa mencapai 84 orang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Menurutnya, sudah bisa dipastikan bahwa konsentrasi penanganan bencana baik itu finansial, sumberdaya manusia sampai dengan kebijakan di masa pandemi ini difokuskan untuk COVID-19.

Adi menilai minimnya tingkat literasi bencana dari masyarakat kita dan rendahnya kualitas infrastruktur kebencanaan menambah tingkat kerentanan dan dampak dari multibencana ini.

“Dalam situasi normal tanpa pandemi saja, prokes untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 seperti 3 M masih sulit untuk dipatuhi seluruh elemen masyarakat, apalagi di saat situasi sulit pascabencana di pengungsian dengan fasilitas hidup dan fasilitas kesehatan yang sangat terbatas,” tambahnya.

Berangkat dari skema kondisi terburuk terjadinya multibencana berupa bencana alam di masa pandemi, Adi menyarankan lima strategi penanganan, terutama di daerah yang menjadi episentrum COVID-19 sekaligus merupakan daerah rawan bencana alam.

Pertama, perlunya penguatan institusi pemerintah. Pemerintah pusat maupun daerah sudah dipastikan melakukan refocussing semua sumber daya yang ada untuk mengatasi COVID-19. Namun, pemerintah pusat harus terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya agar bersiap untuk menghadapi terjadinya bencana alam.

“BNPB dan BPBD harus terus berkoordinasi dengan lembaga pemerintah lainnya yang mempunyai fasilitas untuk deteksi dini bencana seperti BMKG, BIG dan PVMBG,” ujar Adi.

baca juga : Waspada Awan Panas dan Lahar Semeru

 

Kantor Gubernur Sulawesi Barat yang roboh karena gempa yang terjadi Kamis (14/1/21). Foto : BNPB

 

Adi juga menekankan pentingnya pelibatan lembaga penelitian maupun institusi pendidikan tinggi untuk menguatkan institusi pemerintah dalam penanganan multibencana.

“Mekanisme koordinasi harus lebih ditingkatkan sehingga peringatan dini bisa lebih diandalkan untuk keperluan mitigasi, terutama di daerah-daerah langganan bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, letusan gunung api dan tsunami,” tambahnya.

Adi juga menjelaskan pentingnya fleksibilitas penggunaan dana desa dalam menghadapi multibencana, yang harus dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi transparansi dan pengawasan. Fungsi dan peran Lembaga RT, RW dan lurah dinilai sangat vital dalam kondisi menghadapi multibencana.

“Diharapkan dengan koordinasi yang kuat, penanganan multibencana bisa semakin cepat dan tepat, sehingga kalaupun bencana alam terjadi, korban bisa diminimalkan karena upaya mitigasi telah dilakukan,” tambahnya.

Hal kedua terkait penataan logistik dan infrastruktur. Menurutnya, salah satu sifat karakteristik dari bencana alam adalah merusak infrastruktur, baik itu infrastruktur transportasi maupun komunikasi. Akibatnya, terjadi kelangkaan logistik yang disebabkan oleh terputusnya jaringan transportasi dan komunikasi yang berujung pada tidak adanya pasokan bahan makanan serta bahan bakar minyak (BBM).

Kondisi ini berdampak pada semakin besarnya tekanan penderitaan yang dialami oleh korban, dan bisa menyebabkan terjadinya kepanikan, penjarahan, bahkan munculnya tindakan kriminal lainnya.

“Sangat penting untuk memastikan bahwa penataan rantai pasok logistik dan infrastruktur di daerah yang rawan bencana telah tertata dengan baik. Pemerintah daerah harus siap dengan sumber energi listrik cadangan dan sarana komunikasi alternatif yang sewaktu-waktu dapat langsung difungsikan pada saat terjadi bencana,” tambahnya.

perlu dibaca : Longsor Sumedang : Waspada di Tanah Rawan Bencana

 

Tabel bencana alam yang terjadi selama 1 – 19 Januari 2021 di Indonesia. Sumber : BNPB

 

Ketiga terkait perekrutan atau pengerahan relawan. Menurutnya, dapat dipahami bahwa di tengah kondisi pandemi ini, perekrutan atau pengerahan relawan akan sangat terbatas, dimana masing-masing individu pasti berpikir keras untuk menjadi relawan di tengah pandemi. Namun, kondisi ini bisa dialihkan dengan melakukan perekrutan melalui daring atau online recruitment.

“Relawan-relawan ini kemudian diberikan pelatihan secara online yang free dilengkapi dengan sertifikat tentang bagaimana penanganan multibencana, dari materi pra-bencana, tanggap darurat sampai dengan materi pasca bencana.”

Pelatihan ini diharapkan akan meningkatkan kompetensi dan kesiapan relawan ketika terjadi multibencana.

“Yang terpenting juga bagaimana mereka diberikan bekal pengetahuan tentang COVID-19 seperti cara penyebaran dan bagaimana cara memutus rantai penyebarannya dan bagaimana untuk bekerja dengan menggunakan Alat Pelindung Diri.”

Para relawan juga akan berperan dalam mengkomunikasikan hal-hal penting terkait bencana seperti tata cara evakuasi, keberadaan dapur umum dan yang paling penting untuk mencegah penyebaran COVID-19 di daerah pengungsian. Langkah perekrutan relawan ini sangat penting dilakukan terutama di daerah-daerah yang dipetakan termasuk dalam wilayah yang rawan bencana.

“Perlu diberikan pemahaman tentang bagaimana kerja-kerja sosial dilakukan dengan tetap mengedepankan protokol COVID-19.”

baca juga : Catatan Awal Tahun: Antisipasi dan Kesadaran Hidup di Negeri Rawan Bencana

 

Petugas mengevakuasi korban banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. Foto : BNPB

 

Keempat, terkait penyediaan tempat evakuasi dan penampungan sementara. Langkah ini akan sangat penting bagi daerah-daerah yang rawan bencana, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api dan banjir maupun bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kebakaran hutan.

Dalam hal terjadi bencana alam, penyediaan tempat evakuasi dan penampungan yang sesuai dengan protokol COVID-19 menjadi sangat penting. Hotel-hotel, penginapan dan asrama milik pemerintah maupun swasta yang dalam masa pandemi ini kosong, harus dipersiapkan sebagai tempat evakuasi bagi korban bencana alam.

“Fasilitas-fasilitas pemerintah yang mampu mengakomodir masyarakat dalam jumlah besar dengan tetap mengikuti protokol COVID-19 seperti social distancing harus segera dipersiapkan.”

Kelima, terkait peningkatan kesiapsiagaan individu. Dalam masa pandemi COVID-19 yang membatasi pergerakan sosial secara besar, sangat penting untuk selalu meningkatkan kesiapsiagaan individu. Salah satunya adalah terus update dengan informasi-informasi penting melalui perangkat komunikasi dengan memonitoring informasi melalui situs-situs berita dari sumber yang terpercaya.

Menurut Adi, penting untuk terus memonitoring informasi dari institusi yang diberikan kewenangan oleh pemerintah dalam menyebarluaskan informasi tentang bencana agar terhindar dari berita hoaks. Selain itu, informasi juga bisa di dapatkan dari ketua RT dan RW setempat sehingga penting untuk selalu berkoordinasi dengan aparat pemerintah di semua level.

“Pada akhirnya diperlukan kerjasama yang terkoordinasi dari semua stakeholders yang ada terutama di wilayah dengan tingkat kerawanan bencana alam dan tingkat penyebaran COVID-19 yang tinggi. Kita tidak tahu sampai kapan pandemi ini berlangsung. Semua pihak diminta untuk saling membantu sesuai dengan porsi dan kompetensinya masing-masing,” tambahnya.

 

Exit mobile version