Mongabay.co.id

Warga Resah Kawasan Industri Ancam Kebun dan Karst Boki Maruru

aksi-bersih-bersih-sungai-boki-maruru-oleh-dekpala-dan-mahsiswa-pecinta-alam-malut.jpg

 

 

 

 

 

Jabid Hanafi, warga Desa Sagea resah. Pada 21 Desember pagi itu, dia belum pergi ke kebunnya, yang tak jauh dari wisata Goa Karst Boki Maruru Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Petani 49 tahun ini bersama beberapa teman duduk di teras rumah sambil membahas informasi mengenai rencana penambahan Kawasan Industri (KI) PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang akan sampai ke Desa Sagea dan Kia di Weda Utara.

Informasi ini meresahkan sebagian warga yang keseharian berkebun pala dan kelapa di sekitar tambang nikel PT Weda Bay Nikel itu.

Kalau benar rencana itu, berarti kemungkinan bakal kehilangan kebun dan tanaman produktif yang selama ini jadi sumber hidup mereka.

Bagi warga, termasuk Jabid, tanpa tambang mereka bisa hidup dari kebun pala, kelapa, cengkih dan sagu.

“Kalau dong maso berarti torang pe kobong juga habis digusur (kalau tambang sudah masuk habis kebun). Termasuk Goa Karst Boki Maruru juga akan dirusak,” kata Jabid.

Dia mengajak sesama petani pala di Sagea, menolak kalau ada ekspansi tambang masuk sampai ke desa mereka. “Tra ada cara lain torang musti tolak kalau izin dorang.”

Jabid sudah melihat kehadiran tambang bukan mensejahterakan mereka, tetapi sebaliknya. Banyak warga sekitar tambang, bekerja di perusahaan dan hidup pas-pasan.

“Contoh saja anak- anak di kampong ini yang bekerja di perusahaan tambang PT IWIP, sebatas makan sehari hari. So begitu dorang peras tenaga,” katanya.

 

Warga Sagea di kebun mereka tak jauh dari Goa Boki Maruru. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Baginya, mengolah kebun pala dan kelapa, banyak kelebihan, tak hanya memenuhi keperluan rumah tangga juga bisa membantu keluarga yang kekurangan.

Dia contohkan, kalau ada keluarga kekurangan uang dan mau dibantu, bisa langsung memetik kelapa atau pala dan jual. “Artinya, dari hasil kebun bisa saling membantu antar keluarga. Jika kebun digusur, hidup saja sudah susah. Apalagi mau bantu keluarga, rasanya sulit.”

Jabid mengajak beberapa warga berjuang bersama demi keamanan desa mereka.

“Kita tolak karena perusahaan mau masuk dan menggusur.”

Kalau mau lepas kebun ke perusahaan, katanya, paling dapa duit Rp50 juta. Nilai uang segitu, dibagi ke keluarga akan habis dan tak punya lahan kebun lagi. “Biarkan saja lahan kebun jangan dijual ke perusahaan hingga anak cucu bisa membuat kebun atau masih punya kapling bangun rumah,” katanya.

Jabid akan menjadi orang pertama yang menolak ekspansi tambang atau kawasan industri ke desa mereka. “Kalau sama- sama kita tolak, pemerintah juga tak berani. Ini hak kita. Kita bukan mencuri.”

Dia berharap, gerakan ini bersama-sama. Kalau tidak, lahan kebun akan habis terlibas perusahaan. Kalau sudah ada kebun warga masuk ke perusahaan, lahan sekitarn biasa terpaksa jual.

Jauhar, warga desa yang lain, punya pengalaman bekerja di perusahaan First Pasifik Mining, PT Zhonghay yang setop operasi sementara. Dia bekerja banting tulang tetapi hasil hanya cukup makan.

Bagi Jauhar, jika ingin mempertahankan kebun pala dan kawasan karst di Desa Sagea dan Kiya, harus segera penolakan bersama sama.

 

Pintu masuk Goa Boki Maruru. Foto: Adlu Fikri.

 

 

Obyek wisata dan sumber air

Karst Goa Boki Maruru, merupakan satu obyek wisata penting di Halmahera Tengah. Ia juga sumber air masyarakat di dua desa ini.

Risal Samsudin, penasehat Komunitas Pencinta Alam Goa Boki Maruru menyatakan, ancaman ekspansi tambang ini cukup terutama bagi karst Goa Boki Maruru.

Kalau sampai ada tambang, katanya, tidak hanya kebun dan lahan warga habis, juga Goa Boki Maruru, yang tengah diusulkan jadi Geopark Goa Boki Maruru oleh Pemkab Halmahera Tengah.

“Tepat di pintu Goa Boki Maruru tak jauh dari fasilitas   wisata ada patok izin tambang PT First Pasifik Mining. Kami temukan patok dan sudah difoto oleh kawan-kawan KPA beberapa waktu lalu,” kata Risal.

Apapun izin korporasi ke wilayah ini, katanya, harus ditolak. Kalau tidak, kebun dan kawasan karst yang sudah menjadi satu destinasi wisata penting di Halmahera Tengah itu akan rusak.

Saat ini, Pemerintah Desa Sagea melalui Bumdes berencana mengelola air dari Goa Boki Maruru menjadi air kemasan. Kalau sampai perusahaan masuk, katanya, akan menghancurkan segala potensi di sana.

Kini, wisata Goa Boki Maruru telah dikelola desa dan setiap hari libur sudah peroleh hasil antara Rp500.000 sampai Rp1 juta. Kalau ada eksploitasi, katanya, pastikan potensi yang telah ada ini akan ikut hancur.

“Hasil atau jasa lingkungan pengelolaan pariwisata kawasan karst Goa Boki Maruru ini sudah memberikan hasil setiap hari dan ini menjadi pendapatan asli desa,” ucap Risal.

Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut menyebutkan, Desa Sagea dan Kiya dengan 365 keluarga itu di sebelah timur berbatasan dengan izin tambang PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN) yang megantongi izin bernomor 540/KEP/253/2012 dengan masa berlaku 2038, Status usaha, katanya, izin operasi produksi dengan luas lahan 1.232 hektar.

Ada juga PT Dharma Rosadi Internasional Nomor SK 540/KEP/257/2012 status izin operasi produksi hingga 2029 dengan luas areal 1.017 hektar.

Ada juga perusahaan IUPHK mengambil kayu berdekatan dengan Sungai Sagea atau Wisata Gua Batulubang ini. Perusahaan HPH ini bekerja sama dengan  kelompok tani buat  memperoleh izin IPK-APL dari Dinas Kehutanan Maluku Utara dengan Nomor: 522.1/Kpts/38/2018.

Sebelah barat desa bersisian dengan perusahan nikel PT First Pasifik Mining dan PT Zhong Hai Rare Metal Mining Indonesia dari Tiongkok. Sesuai data KESDM telah evaluasi izin pada Mei 2019.

Untuk Zhongai masa berlaku hingga 2029 dengan status izin operasi produksi dengan luas lahan pada dua blok masing-masing 118 dan 688 hektar.

Untuk izin First Pasific terbit oleh gubernur pada 2018 masa berlaku hingga 2032 seluas 2.080 hektar dengan status operasi produksi.

Perusahaan-perusahaan itu, katanya, berbatasan dengan WBN—kini IWIP— yang berencana bikin kawasan industri antara lain, dengan pembangunan smelter dan PLTU di Tanjung Uli.

Husain Ali, Kepala Dinas Pariwisata Halmahera Tengah baru baru ini mengatakan, Pemkab Halmahera Tengah sudah mengusulkan kawasan ini jadi geopark. Usulan ini, katanya, kalau disetujui akan membantu melindungi dan mengimbangi laju dari incaran eksploitasi tambang.

Dia bilang, keberpihakan pemerintah daerah bukan saja soal investasi juga ekologis.

“SK usulan Goa Bokimaruru sebagai geopark itu kita sudah ajukan ke KESDM,” kata Husain.

Kekuatiran berbagai pihak menyangkut ancaman Goa Boki Maruru ini juga disuarakan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara.

Ketua IAGI Dedy Arif menyatakan, pemerintah daerah harus ambil beberapa langkah, antara lain, pertama, menetapkan Bokimaruru sebagai satu geosite pada potensi geowisata di Halteng. Kedua, mengkaji kembali urgensi IUP di sekitar site Bokimaruru, terkait potensi pencadangan mineral.

“Ini bagian dari perlindungan terhadap kawasan karst yang sangat potensial itu,” kata Dedi.

 

Pemandangan Gunung Kawinet, dengan pepohonan lebat termasuk kebun warga dari pala, cengkih dan lain-lain. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Protes pemuda dan mahasiswa

Dalam kaitan pembangunan kawasan industri, dokumen rencana detail tata ruang (RDTR) Kawasan Industri (KI) IWIP menunggu persetujuan pemerintah pusat.

Pemerintah Halmahera Tengah, mendapat protes dari kalangan pemuda dan aktivis mahasiwa asal Desa Sagea dan Kiya, Weda Utara.

Pada Senin (11/1/21) sekira pukul 17.00 WIT mereka aksi tutup mulut sambil membawa poster berisi protes. Mereka aksi   di depan Kantor IWIP Jalan raya Weda Patani.

Dalam aksi tutup mulut itu, menyatakan, masyarakat Sagea-Kiya menolak rencana pengembangan pemukiman seperti dalam dokmen RDTR Halmahera Tengah.

Aksi bisu ini, menurut Koordinator Aksi Masri Anwar bagian dari kepedulian masyarakat Sagea Kiya terhadap lingkungan hidup yang kian memburuk.

Masri mengatakan, sesuai presentasi Kementerian ATR/BPN tentang RDTR di Kawasan Industri Teluk Weda, jadikan Desa Sagea, Kiya, Fritu, dan Waleh, sebagai penunjang kawasan industri seluas 3.826 hektar. Kawasan ini, katanya, akan jadi wilayah pengembangan pemukiman dan pertanian seluas 647,38 hektar. Desa Sagea dan Kiya bakal jadi pengembangan kawasan pemukiman mereka.

“Sesuai peta lampiran, pengembangan pemukiman ini akan dibangun rumah susun untuk tempat tinggal para pekerja industri IWIP.”

Dia sesalkan, pembahasan dan konsultasi publik soal RDTR ini di Weda dan hanya melibatkan pemerintah daerah, kepala desa, camat dan ormas. Masyarakat dengan lahan akan tergusur, katanya, tidak pernah mereka libatkan sama sekali.

“Aksi tutup mulut ini ingin mengirim pesan kalau warga tidak bisa lagi berkata kata dan protes dengan suara. Aksi ini juga dipusatkan di kawasan industri IWIP karena RDTR ini lahir karena usul dari IWIP,” kata Masri.

Hingga kini pemerintah juga tidak sosialisasi kepada masyarakat soal pengembangan kawasan untuk industri itu. Padahal , kata Masri, seharusnya pemerintah dialog dengan mengedepankan prinsip HAM sebelum membuat rencana yang akan berdampak besar bagi kehidupan masyarakat ini.

Lokasi rencana jadi kawasan pemukiman itu, katanya, masuk dalam perkebunan pala dan kelapa masyarakat. Kebun dan tanaman ini, merupakan sumber penghidupan warga.

Lokasi itu, katanya, juga berada di antara kawasan Goa Bokimoruru dan Danau Legaelol. Daerah ini, katanya, adalah dua spot geowisata andalan di Halmahera Tengah dan Maluku Utara.

Setidaknya, kata Masri, rencana ini akan menghancurkan sumber penghidupan masyarakat, mengubah kehidupan kultural masyarakat, juga merusak ekosistem penyangga geowisata Goa Bokimoruru dan Danau Legaelol.

“RDTR itu lebih pada kepentingan investor dibanding masyarakat. Kami menuntut pemerintah serius mengembangkan geowisata Bokimoruru.”

Eksositem aliran sungai, hutan dan karst di Weda Utara itu, katanya, harus dilindungi dan bebas dari izin pertambangan.

Pemerintah Halmahera Tengah, melalui Badan Perencanaan Penelitian dan Pembangunan (Bappelitbang) menjelaskan, sudah dua kali sosialisasi RDTR ini dalam forum konsultasi publik dan diskusi terfokus melibatkan instansi terkait dan stakeholder, seperti  camat, kades, dan tokoh masyarakat. Kesimpulan konsultasi publik, tertuang dalam berita acara.

Kepala Bappelitbang Salim Kamaludin bilang, untuk luasan wilayah masuk dalam Kawasan Industri IWIP berdasarkan koordinasi dan konsultasi kepada kepala daerah ada tiga opsi delianasi kawasan. Dari tiga opsi itu, diputuskan kawasan meliputi Kecamatan Weda Utara dan Weda Timur.

Dokumen ini, katanya, dalam proses penyusunan dan sudah tahap validasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).   Pemerintah Halmahera Tengah, katanya, menunggu persetujuan substansi di pemerintah pusat baru kembali ke daerah jadi perda atau jadi peraturan bupati.

Agnes Megawati, humas PT IWIP soal dokumen RDTR menyebutkan, kalau dokumen ini merupakan legislasi daerah yang tertuang dalam peraturan daerah. IWIP, katanya, tidak punya kewenangan menjawab soal itu. Begitu juga soal luasan lahan dalam dokumen RDTR, kata  Agnes, itu masuk kewenangan pemerintah.

 

 

Kayu dari hutan di Weda Utara, tak jauh dari Sagea. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

**** Keterangan foto utama: Sungai Boki Maruru, satu sumber air yang berada dalam ekosistem karst. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version