Mongabay.co.id

Benarkah Pemulihan Subsektor Perikanan Dilupakan Pemerintah Indonesia?

 

Sektor kelautan dan perikanan menjadi salah satu sektor yang ikut terdampak karena pandemi COVID-19. Selama pandemi yang sudah berlangsung dari Maret 2020 itu, banyak subsektor langsung mengalami penurunan produksi dan pendapatan.

Namun, dari semua subsektor, perikanan menjadi yang paling dominan karena melibatkan banyak pemangku kepentingan, terutama masyarakat pesisir yang meliputi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.

Sayangnya, saat Pemerintah Indonesia mulai menjalankan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) di semua sektor, perikanan seolah dilupakan atau terlupakan. Walau secara umum sektor kelautan dan perikanan mendapatkan porsi PEN, namun tidak demikian halnya dengan subsektor perikanan.

Demikian penilaian Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan belum lama ini. Dalam pandangan dia, program PEN yang sudah berjalan pada 2020 dan akan berlanjut pada 2021, harus memberikan perhatian lebih besar pada subsektor perikanan secara nasional.

“Pemerintah ‘melupakan’ pemulihan ekonomi perikanan,” ucap dia.

baca : Perjuangan Industri Perikanan Tangkap Keluar dari Jurang COVID-19

 

Penjual ikan melakukan transaksi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Dampak yang ditimbulkan dari wabah virus COVID-19 ini yaitu harga ikan turun drastis. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Program PEN sendiri, dilaksanakan agar segala persoalan ekonomi yang menjadi pangkal krisis akibat pandemi COVID-19 bisa dipecahkan. Untuk 2021, Pemerintah sudah menyiapkan dana senilai Rp403,9 triliun yang akan dialokasikan untuk semua sektor kehidupan.

Dana tersebut, sebagian besar dialokasikan untuk sektor perlindungan sosial dan kesehatan, dengan nilai alokasi masing-masing sebesar Rp110,2 triliun dan Rp47,47 triliun. Selain itu, dana juga dialokasikan untuk sektoral kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah senilai Rp182,2 triliun.

Dari semua alokasi tersebut, Abdi Suhufan mengaku masih belum melihat ada intervensi strategis yang dilakukan Pemerintah Indonesia kepada subsektor perikanan. Padahal, dampak krisis ekonomi sudah sejak awal pandemi muncul ikut memukul subsektor perikanan.

“Perikanan kemudian bangkit karena ketahanan dan kemandirian masyarakat nelayan,” jelas dia.

Kurangnya perhatian yang diberikan Pemerintah untuk pemulihan ekonomi perikanan, bisa dilihat dari minimnya alokasi anggaran PEN yang dikucurkan untuk subsektor tersebut. Hal tersebut bisa terjadi, karena ada kegagalan identifikasi masalah lapangan dan lemahnya perencanaan oleh Pemerintah.

baca juga : Tugas Nahkoda Baru dalam Membangun Kelautan dan Perikanan

 

Nelayan menyiapkan perbekalan sebelum berangkat melaut di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Nelayan mengalami dampak pandemi covid-19, salah satunya harga ikan yang menurun. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Masalah Inti

Menurut Abdi Suhufan, minimnya perhatian seharusnya bisa menjadi evaluasi bagi Pemerintah, terutama di masa pemulihan ekonomi seperti sekarang ini. Terlebih, jika Pemerintah jeli, saat ini terdapat empat masalah besar yang mengganggu kinerja subsektor perikanan, baik sekarang atau sebelumnya.

Keempat masalah tersebut, diantaranya adalah menurunnya daya serap pasar terhadap produk hasil perikanan, daya serap tenaga kerja yang rendah, kapasitas kelembagaan koperasi perikanan yang masih lemah, dan pelemahan ekspor hasil perikanan.

“Oleh karena itu, Pemerintah perlu mendesain program strategis dan mengalokasikan anggaran yang signifikan bagi upaya pemulihan sektor perikanan,” tegas dia.

Selain perhatian yang minim, Pemerintah juga dinilai tidak bisa menangkap peluang yang ada saat ini untuk bisa membantu proses pemulihan ekonomi pada subsektor perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pemimpin sektor, seharusnya peka bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan di tengah situasi seperti sekarang.

Abdi Suhufan menyebutkan, peluang yang dimaksud tidak lain adalah bagaimana KKP menciptakan lapangan pekerjaan untuk kegiatan budi daya perikanan yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Hal itu, karena saat ini masih ada potensi areal tambak yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pemulihan.

Areal potensi tersebut adalah tambak masyarakat dan perhutanan sosial yang luasnya mencapai 16 ribu hektare. Semua potensi tersebut seharusnya bisa dioptimalkan oleh KKP untuk dijadikan program pemulihan melalui program padat karya berkelanjutan.

“Namun demikian, program intervensinya harus dari hulu ke hilir. Tidak parsial, sehingga memberi manfaat ganda bagi ekonomi. Menghasilkan produksi,” jelas dia.

perlu dibaca : Catatan Akhir Tahun : Perjuangan Masyarakat Pesisir Keluar dari Tekanan Pandemi COVID-19

 

Penjual ikan eceran di TPI Alok Maumere kabupaten Sikka,NTT yang sedang menanti pembeli yang tampak sepi semenjak merebaknya pandemi COVID-19. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Di luar memanfaatkan potensi, KKP juga diimbau untuk bisa memberikan pendampingan dan pemberian akses permodalan kepada koperasi perikanan yang ada di seluruh Nusantara. Hal itu, karena saat ini sedikitnya ada 3.000 koperasi perikanan yang masih bertahan dan membutuhkan akses permodalan.

“Mereka yang bisa menggerakkan ekonomi masyarakat perikanan di masa pandemi COVID-19,” tambah dia.

Adapun, usaha koperasi perikanan yang dimaksud, tidak lain adalah yang masuk kelompok usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dari sekitar 3.000 koperasi perikanan yang masih bertahan sampai sekarang, 97 persen di antaranya adalah masuk kelompok skala mikro.

Itu artinya, menurut Abdi Suhufan, koperasi perikanan dengan skala mikro harus segera mendapatkan bantuan fasilitas permodalan agar bisa menaikkan kelasnya secara mandiri. Di sisi lain, pendampingan diperlukan, karena pengembangan usaha koperasi perikanan harus dilakukan secara terpadu.

“Baik itu dari sisi manajemen, permodalan, dan juga SDM (sumber daya manusia),” sebut dia.

baca juga : Memetakan Potensi Perikanan Budi daya untuk 2021

 

Seorang nelayan Pulau Langkai, Makassar, Sulsel yang pendapatannya menurun drastis terdampak pandemi COVID-19 Kini mereka bergantung pada pencarian ikan telur terbang yang hanya bisa diusahakan oleh nelayan berkapal besar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Akses Pemasaran

Peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin menambahkan, dalam melaksanakan program PEN, Pemerintah sebaiknya melakukannya dalam kerangka untuk mengatasi masalah inti di masyarakat, seperti pemenuhan kebutuhan pangan.

Kerangka tersebut perlu untuk diterapkan, karena sampai sekarang yang menjadi persoalan proses pemulihan ekonomi perikanan, adalah berkaitan dengan pemasaran produk hasil perikanan. Sementara, untuk produksi perikanan, baik tangkap atau budi daya, saat ini kondisinya masih dalam keadaan stabil.

“Selain pemasaran, kendala juga ada di transportasi dan distribusi. BUMN perikanan diharapkan mengambil peran untuk atasi hal ini ini,” terang dia.

Agar proses tersebut bisa berjalan, maka Pemerintah perlu juga untuk memperhatikan permodalan dari BUMN perikanan. Jika itu sudah berjalan, maka proses penyerapan dan distribusi produk hasil perikanan akan berjalan dengan baik. Jika itu terjadi, maka akan mendukung sistem logistik perikanan secara nasional.

Sebelumnya, Peneliti Bidang Humaniora Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dedi Supriadi Adhuri mengatakan, pemasaran hasil perikanan mengalami penurunan signifikan hingga 50 persen lebih. Penurunan itu, terlihat dengan penurunan harga yang sangat cepat sampai titik terendah.

Mengingat pandemi belum akan berakhir, pada 2021 Pemerintah harus menetapkan masyarakat pesisir sebagai bagian utama dari penyaluran program bantuan. Setidaknya, 25 persen dari seluruh bantuan program harus disalurkan ke masyarakat pesisir.

“Itu karena seperempat penduduk miskin di Indonesia itu, adanya di kawasan pesisir, dan mereka itu adalah masyarakat pesisir yang profesi utamanya menjadi nelayan,” sebut dia.

 

Sejak pandemi COVID-19 dan penambangan pasir, Hamzah, nelayan Pulau Kodingareng, hanya mendapatkan hasil paling banyak Rp.50 ribu. Foto : Nurdin Amir/Mongabay Indonesia

 

Agar bisa membangkitkan kesejahteraan ekonomi di pesisir, kolaborasi antar instansi Pemerintah dan swasta sebaiknya dilakukan dengan baik. Dengan demikian, satu dengan yang lain akan bisa saling melengkapi dan menutup celah kekurangan yang bisa berpotensi memicu gejolak sosial.

Dedi Adhuri menambahkan, secara umum masyarakat pesisir memang masuk dalam kelompok marjinal dan itu bisa dilihat dari konteks pembangunan nasional yang hampir selalu melupakan mereka. Termasuk, dengan menutup akses untuk ruang hidup dan penghidupan nelayan di laut.

“Selama ini program yang dilaksanakan di pesisir konsepnya top down, atau dari atas ke bawah. Konsep itu menandakan bahwa masyarakat pesisir dianggap sebagai kelompok bodoh yang tidak bisa diajak komunikasi dua arah,” tegas dia.

Belajar dari pandemi COVID-19 yang masih akan berlangsung pada 2021, Dedi Supriadi Adhuri meminta Pemerintah Indonesia untuk bisa melaksanakan program kerja yang bisa mengangkat derajat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

 

Exit mobile version