Mongabay.co.id

Banjir dan Longsor Landa Kota Malang, Apa Penyebabnya?

SAR tengah melakukan pencarian jenazah Roland Sumarno di lokasi longsoran depan rumah korban. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

SAR tengah melakukan pencarian jenazah Roland Sumarno di lokasi longsoran depan rumah korban. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hujan deras disertai petir dan angin kencang menerjang Kota Malang, pada 18 Januari 2021, hingga menyebabkan banjir dan tanah longsor. Banjir menggenangi 20 lokasi dan lima titik longsor tersebar di lima kecamatan di kota yang dijuluki Kota Kenangan ini. Longsor menyebabkan seorang terseret arus Sungai Bango.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang melaporkan ketinggian banjir bervariasi antara 20-110 centimeter, dan 200-an rumah terendam.

Baca juga: Menata Kota Malang Atasi Banjir

Sebuah rumah di Perumahan Sulfat Inside, Bunulrejo, Blimbing, Kota Malang tergerus longsor. Pemilik rumah, Roland Samarna (40) hanyut terseret arus sungai.

“Roland ditemukan dua hari kemudian di Bendungan Sengguruh,” kata Ali Mulyanto, Kepala BPBD Kota Malang, dalam penyataan tertulis yang diterima Mongabay. Jasad korban 40 kilometer dari lokasi hanyut.

Ali mengingatkan untuk selalu waspada terhadap potensi bencana di sekitar tempat tinggal. Dia bilang, dibuka hotline Pusdalops BPBD Kota Malang nomor 08113770502 dan layanan panggilan darurat 112 Ngalam Command Center.

Meilani, Prakirawan Stasiun Klimatologi Karangploso, Badan Meteorologi Klomatologi dan Geofisika mengatakan, saat banjir dan longsor di Kota Malang, hujan intensitas sedang sampai lebat.

Dia perkirakan, Januari sampai Februari 2021, puncak musim hujan. Untuk itu, pemerintah harus mengantisipasi potensi curah hujan tinggi sampai Februari 2021.

Peluang hujan intensitas tinggi dan cuaca ekstrem hingga menyebabkan banjir dan longsor masih ada.

“Informasi cuaca selalu disampaikan kepada pemerintah untuk kewaspadaan,” katanya.

BMKG mencatat, sebagian besar wilayah Indonesia atau sekitar 94% dari 342 zona musim memasuki musim hujan.

Herizal, Deputi Bidang Klimatologi BMKG dalam laporan tertulis meminta semua pihak mewaspadai potensi cuaca ekstrem yang cenderung meningkat dalam periode puncak musim hujan.

Dalam beberapa hari ke depan, katanya, dinamika atmosfer tidak stabil dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah Indonesia. Kondisi ini, katanya, dipicu monsun Asia menguat ditandai makin kuat aliran angin lintas ekuator di Selat Karimata.

Dengan begitu, katanya, terjadi peningkatan pertumbuhan gugus awan yang berpotensi menimbulkan curah hujan tinggi.

Pintu masuk perumahan mewah dan hotel, dibangun di atas Hutan kota bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP) yang tersisa, selebihnya berubah menjadi perumahan mewah dan hotel. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Malang, kota genangan

Purnawan Dwikora Negara, Dewan Daerah Walhi Jawa Timur, menilai, banjir dan tanah longsor di Malang kategori bencana ekologis. Bencana terjadi karena campur tangan manusia. Setiap tahun, katanya, terjadi banjir dan genangan terus menerus.

“Malang menjadi kota genangan, bukan kota kenangan,” katanya.

Purnawan menyebut sejumlah ruang terbuka hijau (RTH) berubah jadi kawasan terbangun, antara lain, Taman Indrokilo jadi permukiman mewah, hutan kota bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP) jadi perumahan mewah dan hotel dan pusat perbelanjaan. Bahkan lapangan di sekitar Stadion Gajayana menjadi mal, dan taman kunir dibangun kantor kelurahan.

“Apa yang terjadi sekarang merupakan hasil dari yang ditanam di masa lalu,” katanya.

Pembangunan itu, katanya, melanggar Peraturan Daerah Perencanaan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Malang. Sayangnya, pelaku tak kena sanksi. Pelanggaran tata ruang, katanya, bukan rahasia umum. Pemerintah, sering mengeluarkan izin serampangan di masa lalu.

“Ada pusat perbelanjaan yang diresmikan, ternyata belum memiliki izin mendirikan bangunan,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang ini. Dia menyebut, ada upaya menghapus kejahatan tata ruang masa lalu.

Karut marut tata ruang terjadi, seperti sejumlah lahan resapan jadi kawasan terbangun, saluran air tertutup bangunan, bantaran sungai tereksploitasi hingga jadi sempit. Seharusnya, kata Purnawan, kebijakan tata ruang harus konsisten.

Jadi, katanya, banjir di Malang, terjadi karena beberapa faktor, antara lain, curah hujan tinggi, dan resapan air berkurang karena alih fungsi lahan besar-besaran selama 15 tahun terakhir.

Pemerintah, katanya, harus konsisten dengan kebijakan dan jalankan sungguh-sungguh. “Pemerintah jangan merencanakan bencana untuk rakyatnya,” katanya.

Air hujan seharusnya ditangkap ruang terbuka hijau dan sumur resapan atau sumur injeksi. Sisanya, tersalur ke saluran dan aliran sungai. Sedangkan sebagian besar saluran air, drainase dan gorong-gorong tertutup bangunan dan menyempit. Hingga air tak mengalir ke saluran air dan sampai ke sungai, namun meluber ke jalan dan permukiman.

Purnawan meminta, pemerintah mengaktifkan kembali saluran drainase yang dibangun zaman Hindia Belanda. Gorong-gorong berdiameter setinggi manusia dewasa disalurkan ke Sungai Brantas. “Belanda merancang saluran air karena tahun curah tinggi di Malang tinggi.”

Menampungan air hujan dengan sumur resapan dan sumur injeksi, katanya, merupakan bagian dari menabung air hujan. Air hujan masuk ke tanah melalui sumur injeksi dan jadi candangan air tanah.

Sumur resapan dan sumur injeksi memiliki dua manfaat sekaligus, menabung air dan mencegah banjir. Air merupakan kebutuhan dasar, tak ada kehidupan yang tak membutuhkan air.

Agustina Nurul Hidayati, pakar perencanaan tata kota atau planologi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, mengatakan, banjir terjadi karena Malang berada di kelerengan hingga mendapat limpahan air dari atas, Kota Batu. Kondisi ini, mengakibatkan runoff atau limpasan air di permukaan turun tanpa batas.

“Yang dilihat tidak di Malang saja, Kota Batu juga banyak berubah. Banyak kawasan terbangun,” katamya.

Untuk itu, perlu peran serta pemerintah provinsi untuk menata dan mengkomunikasikan persoalan ini. Lantaran runoff juga membawa kayu yang berpotensi menggerus badan sungai dan jembatan.

“Bisa merusak pondasi jembatan,” katanya.

Selain itu, katanya, terjadi alih fungsi lahan sejumlah saluran drainase tertutup bangunan rumah dan rumah toko (ruko). Banyak ruang hijau seperti persawahan dan kebun berubah menjadi kawasan permukiman. Pembangunan, katanya, harus disesuaikan dengan RTRW dan rencana detail tata ruang kota (RDTRK).

Padahal, permukiman maksimum bangunan 40% dari lahan yang ada. Sesuai Undang-undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan, RTH di perkotaan paling sedikit 30% dari luas wilayah. Di Kota Malang, belum memiliki luas RTH sesuai.

Nurul juga anggota Tim Pertimbangan Percepatan Pembangunan Daerah Kota Malang mengakui banyak bangunan melanggar sepadan sungai dan di atas sungai. Dia contohkan, permukiman di Bunul yang longsor, berdiri di sempadan Sungai Bango.

Soal penanganan banjir di Malang, Nurul mengusulkan minimal semua rumah harus memiliki sumur resapan. Sedangkan setiap perumahan wajib membangun sumur injeksi minimal diameter satu meter.

“Wali Kota Malang sudah mengeluarkan surat edaran pada 2020, kelurahan wajib menganggarkan sumur injeksi.”

 

 

****** Keterangan foto utama:  SAR datang untuk  melakukan pencarian korban longsor,  Roland Sumarno di  depan rumahnya. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version