Mongabay.co.id

Food Estate di Humbang Hasundutan Mulai Jalan, Bagaimana Keterlibatan Petani?

Lahan food estate di Desa Ria Ria, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, mulai ditanami. Foto: Barita News Lumbangbatu/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hamparan lahan ratusan hektar itu sudah terbagi-bagi dalam bedengan yang memanjang terbungkus mulsa plastik. Sebagian lahan sudah ditanami bibit. Ada bawang putih, kentang, dengan dominasi bawang merah. Tampak beberapa orang beraktivitas.

Pengendalian hama menggunakan teknologi perangkap likat kuning (yellow sticky trap), kertas perekat untuk perangkap serangga, lalat, dan kutu daun. Kertas ini dipasang di sekeliling area tanaman kemudian serangga akan lengket atau menempel di kertas kuning ini.

Baca juga: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara

Alat sprinkle juga terpasang untuk menyirami otomatis dengan mesin hingga petani tak perlu menyiram, cukup menekan tombol, pompa hidup, air pun akan mengucur. Sistem pengolahan lahan dengan menggunakan alat berat, traktor maupun beko. Beberapa alat berat disiapkan untuk proses pemupukan skala besar.

Pemandangan ini terlihat kala memasuki area proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Desa Ria Ria, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Rencana pemerintah membangun food estate di desa ini seluas 1.000 hektar, sekitar 215 hektar telah tergarap pada 2020. Pengembangan ini sebagai percontohan korporasi pertanian khusus holtikultura.

Di Sumatera Utara, lahan food estate yang masuk proyek strategis nasional ini sekitar 30.000-an hektar, dari yang tersedia 60.000-an hektar. Ia melingkupi empat kabupaten, yakni, Humbang Hasundutan, Pakpak Barat, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga mencanangkan kebun raya 1.150 hektar dan taman sains herbal 500 hektar.

Baca: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

Sebelumnya, pemerintah pusat mencanangkan food estate di Sumut sekitar 61.042 hektar. Rinciannya, Humbang Hasundutan 23.000 hektar, Pakpak Barat (8.329 hektar), Tapanuli Tengah (12.655 hektar) dan Tapanuli Utara 16.833 hektar.

Pada 2020, di desa itu teralokasi 1.000 hektar, 785 hektar buat perusahaan swasta dan belum tergarap, 215 hektar oleh Kementerian Pertanian.

 

Bawang merah mulai ditanam di area food estate. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Laman resmi Humbanghasundutan.go.id menyebutkan, PT Indofood akan menampung seluruh hasil panen dari petani dan benih akan dibayar pasca panen.

“Dalam penanaman kentang ini semua harus diperhatikan mulai dari tanam sampai panen dan selalu didampingi PT Indofood serta pihak terkait. Ke depan, Humbang Hasundutan bisa sebagai tempat pembibitan kentang skala nasional, ” kata Dosmar Banjarnahor, Bupati Humbahas, dikutip dari laman itu.

Tahap pertama, Indofood menyerahkan benih kentang untuk keperluan lahan 10 hektar dengan 16 petani. Dalam penyerahan itu, hadir perwakilan Indofood dan PT Karya Tani Sejahtera, sebagai suplai pupuk termasuk pestisida.

Baca: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

Untuk 215 hektar lahan di lokasi pengembangan food estate ini, melibatkan tujuh kelompok tani yang menaungi 169 petani di Desa Ria Ria.

Tujuh investor swasta ikut berpartisipasi antara lain, PT Indofood, PT Calbee Wings, PT Champ, PT Semangat Tani Maju Bersama, PT Arga Garlica, PT Agri Indo Sejahtera, dan PT Karya Tani Sejahtera.

 

Untuk siapa?

Proyek ini bukan tanpa masalah, antara lain soal klaim lahan. “Status lahan masih putih, artinya belum ada status sah. Banyak pihak saling klaim kepemilikan, ” kata Agustin Simamora, Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, kepada Mongabay, baru-baru ini.

Presiden Joko Widodo dalam kunjungan Oktober 2020 ke Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan, membagi-bagikan sertifikat tanah kepada para pemilik lahan di food estate.

Eben Ezer Manalu, seorang penerima sertifikat tanah mengatakan, sistem berlaku bagi mereka anggota kelompok tani yang jadi mitra perusahaan pengelola, secara otomatis jadi anggota koperasi. Perusahaan memberikan bantuan pupuk, bibit , dan pestisida bersubsidi berkala kepada para petani.

Para pemilik lahan terbagi jadi tujuh kelompok tani sebagai mitra perusahaan dalam mengelola lahan. Setiap anggota dapat meminjam uang maksimal Rp25 juta untuk pengolahan pertanian lahan hingga pasca panen.

“Hasil panen dijual ke koperasi. Kalau tidak ada perkembangan, petani dapat memberikan hak kelola kepada perusahaan, ” katanya.

Dia bilang, pernah meminjam hingga Rp50 juta ke bank, dengan agunan lahan berstatus surat keterangan kepala desa. Kini, bank menolak memberi pinjaman karena lahan sudah masuk food estate.

Tak semua warga menerima. Ada juga yang menolak lahan mereka jadi food estate. Lumbangaol, pemilik lahan di sekitar lokasi food estate, menolak lahan ditanami kentang, bawang merah, dan bawang putih.

“Kami sudah sejahtera dari tanaman hamijon (kemenyan) yang tumbuh tanpa ditanami sebelumnya. Sudah turun-temurun,” katanya.

 

Hamparan food estate mulai ditanami di Desa Ria Ria, Humbahas. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah bekerja sama dengan Indofood membangun screenhouse untuk perbenihan kentang di Desa Parsingguran II, Kabupaten Humbahas. Bibit ini untuk memenuhi kebutuhan para petani di kawasan food estate.

Manalu juga Sekretaris Kelompok Tani Maju bilang, mendapat bantuan satu ton pupuk per panen. Sistem kerja borongan untuk kejar target yang mestinya selesai awal Januari 2021.

“Pemilik lahan boleh mencari pekerja untuk lahan. Hampir tidak ada pekerja perempuan. Rata-rata pekerja laki-laki. Upah Rp80.000 per hari, mulai kerja dari pukul 8.00 pagi sampai pukul 4.00 sore.”

Manalu menerima bantuan pupuk delomit sebanyak dua ton dari kesepakatan 20 ton. Kelompok tani wajib membayar iuran Rp5.000 dan uang pangkal Rp300.000 per bulan. Pekerjaan pakai traktor dan eskavator.

Menurut dia, biaya tinggi, Rp10 juta perhektar sudah termasuk biaya tenaga kerja dan makan. Luas yang ditangani kelompok tani Manalu 135 hektar.

Dia menilai, sistem kerjasama perusahaan dengan petani masih mencekik dan belum jelas nanti berujung seperti apa.

 

Hutan lindung dan konflik lahan

Pengembangan kawasan lumbung pangan di Sumatera Utara juga berpotensi menggerus hutan lindung di Sumut. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Lumbung Pangan.

Doni Latuparissa, Direktur Eksekutif Sumut mengatakan, food estate akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia. Laju penebangan hutan alam merupakan konsekuensi dari penerbitan aturan ini.

 

 

Menurut dia, pengecualian kewajiban membayar provisi sumber daya hutan (PSDH) dan atau atau dana reboisasi menjadi catatan penting yang mengindikasikan negara makin memperlihatkan keberpihakan pada investasi dan korporasi.

Food estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani.”

Mayoritas masyarakat Ria Ria, Humbang Hasundutan, di kawasan food estate, kata Doni, dulunya menanam tanaman hutan seperti kemenyan, pinus dan pohon buah-buahan. Kini, kehadiran food estate dengan tanaman holtikultura seperti kentang, bawang merah dan bawang putih mendominasi tanah tentu akan mempengaruhi struktur tanah dan perubahan iklim.

Saurlin Siagian, Ketua Perkumpulan Hutan Rakyat Institute (HARI) mengatakan, food estate semacam proyek ketidakpercayaan kepada petani. “Kebijakan yang benar-benar sangat menyesatkan dan market oriented,” katanya.

Untuk proyek food estate di Sumut, katanya, berkaca dari kasus sebelumnya, terutama wilayah pantai barat , warga banyak mengalami trauma terhadap investasi skala besar seperti peristiwa Indorayon atau sekarang jadi PT. Toba Pulp Lestari (TPL) berdiri tahun 80-an. Awalnya, yang digadang-gadang dengan masuk investasi kesejahteraan, yang terjadi konflik lahan dan kerusakan lingkungan hidup. Juga terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

Juga banyak investasi wisata baru di kawasan Danau Toba, berdampak kesusahan bagi warga, konflik muncul, seperti lahan masyarakat adat Sigapiton untuk proyek Sigapiton Estate.

Konsep food estate, kata Saurlin, akan menimbulkan masalah sama seperti kasus-kasus lahan skala besar sebelumnya. Food estate, katanya, perlu tanah luas sedangkan di lahan sama sudah terjadi persoalan serupa dan konflik lama yang tak terselesaikan hingga kini.

“Pertanyaan umum sebenarnya bisa gampang memahaminya, pertama investasi skala besar seperti ini adalah siapa yang memiliki food estate itu?”

Secara mudah, katanya, bisa menemukan di media massa setidaknya ada tujuh korporasi besar tertarik di wilayah itu. “Pertanyaannya, masyarakat di mana, dan mendapatkan apa dalam food estate itu ketika investasi atau investor skala besar ini mulai beroperasi di wilayah Tano Batak?

 

Petani di Sumut panen wortel. Petani bisa dan mampu memenuhi keperluan pangan negeri ini dengan mereka sebagai pelaku utama, bukan korporasi besar. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Pertanyaan lain, katanya, bagaimana food estate beroperasi. “Yang pasti ini akan dioperasikan dengan teknologi tinggi dan masyarakat mungkin tidak akan memiliki kapasitas melakukan cara produksi seperti itu.” Lagi-lagi, katanya, masyarakat tidak akan jadi bagian utama dari food estate. Pemilik hingga hasil operasi akan berpusat pada segelintir orang .

“Ini yang dikhawatirkan.”

Pemerintah, katanya, perlu memikirkan ulang food estate ini karena masyarakat mampu memproduksi pangan di wilayahnya. “Kalau pemerintah percaya pada masyarakat, percaya kepada kemampuan petani maka petani sanggup dan bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional.”

Menurut dia, persoalan food estate tak akan terlalu besar kalau izin konsesi perusahaan yang ada di Tano Batak—yang tak berkonflik dengan masyarakat lokal/adat— yang berubah ke food estate itu. “Bukan di tanah adat yang diklaim milik negara karena konflik bisa terjadi.”

Anehnya lagi, food estate di wilayah Sumut, khusus di pantai barat dan pantai timur itu berada di daerah-daerah pegunungan. Wilayah Sumut, banyak pegunungan dan jadi food estate, berada di hutan lindung dan tanah adat.

Jadi, katanya, food estate harus dievaluasi karena tak pro rakyat, lebih banyak kepada pengusaha yang akan menikmati hasil besar. Sedangkan, rakyat di sekitar lokasi hanya jadi buruh dan menyaksikan tanah-tanah mereka untuk kesejahteraan para pengusaha dan penguasa.


****** Keterangan foto utama:    Lahan food estate di Desa Ria Ria, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, mulai ditanami. Foto: Barita News Lumbangbatu/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version