Mongabay.co.id

Ekspedisi Pulau Moyo: Merekam Kakatua Jambul Kuning sampai Elang Flores

Sepasang kakatua jambul kuning hinggap di satu pohon di Pulau Moyo. Burung ini menjadi salah satu maskot Pulau Moyo dan Sumbawa. Foto: Marliana BSC Kecial Unram/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sore akhir Desember lalu, perut Habibi, mulas. Mungkin salah makan atau gara-gara kehujanan sehari sebelumnya. Meski begitu, pria yang pernah jadi Ketua Bird Study Club (BSC) Kecial Universitas Mataram itu harus tetap masuk hutan. Dia harus mendapatkan foto dan video burung-burung di sudut hutan di Pulau Moyo, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Berdua di tengah hutan bersama Isnaini Marliana, Habibi tetap pada posisi siap dengan kamera selalu hidup. Dia meninggalkan Marliana sendiri titik pengamatan. Hari makin sore, Marliana tidak melepas pandangan ke pohon tinggi di sekelilingnya.

Sejak awal, kamera yang dia pegang sudah diatur agak dalam posisi semi otomatis. Kalau ada burung bertengger atau melintas, dia tinggal menjepret tanpa perlu mengatur manual. Cukup lihai mengenali seratusan jenis burung, baik suara dan morfologi, walau Marliana masih pemula dalam mendokumentasikan burung di alam terbuka. Karena itulah, tim membekali Marliana dengan kamera pendukung.

Melawan nyamuk, Marliana dengan sabar menunggu. Saya dan Mirzan Asrori dari pengamat burung Indonesia masih tertahan di perkampungan. Wawancara beberapa warga dan menunggu sepeda motor. Jarak dari perkampungan ke lokasi pengamatan hari itu cukup jauh kalau berjalan kaki. Sayang,kalau waktu terbuang di perjalanan. Apalagi sepanjang jalan menuju titik pengamatan yang sudah kami identifikasi sehari sebelumnya, pernah kami lewati. Mendokumentasikan beberapa burung yang pada umumnya bisa ditemukan di tempat lain, misalnya di Pulau Lombok.

 

Elang Flores terbang di atas Pulau Moyo. Satu jenis elang paling langka di Indonesia. Walaupun namanya Flores, tetapi bisa ditemukan di Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Moyo, Pulau Satonda. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Masih di tengah semak, berjarak dari lokasi pengamatan, sakit perut Habibi tiba-tiba hilang saat dia mendengar suara burung yang sejak hari pertama di Pulau Moyo, sudah kami incar. Kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) melintas di pohon, di atas kepalanya. Dua ekor. Suara memecah keheningan hutan. Habibi berlari mengejar ke arah burung itu terbang. Matanya awas melihat pohon paling tinggi. Hingga kemudian dia bertemu dengan Marliana.

Dengan tangan bergetar dan mulut seperti terkunci, Marliana terharu melihat langsung burung yang selama hidupnya hanya di sangkar dan kebun binatang.

“Tangan saya bergetar, kaget, terharu. Seperti ini rasanya melihat kakatua langsung di alam,’’ kata Marliana.

Dua kaktua jambul kuning itu persis bertengger di pohon, di depan Marliana berdiri. Hanya berjarak 15 meter. Di pucuk pohon ketinggian 10 meter itu, kakatua mengeluarkan suara parau. Hanya 30 detik sepasang burung itu hinggap. Ketika hendak bergerak mencari jalur terbang sepasang kakatua itu, Marliana dan Habibi kembali dikejutkan dengan suara kakatua lain, dari arah berbeda.

Berdua mereka berlari. Kaki terkena duri tidak dihiraukan. Nyamuk yang sudah kenyang menghisap darah mereka tidak lagi mengganggu. Melebarkan pendengaran dan mata awas melihat pohon di tengah hutan yang masih cukup rimbun. Dua kakatua jambul kuning bertengger. Meminjam pundak Marliana, Habibit merekam video kakatua. Perlengkapan tripod masih dibawa oleh rombongan saya dan Mirzan.

Dengan menahan nafas Habibi berusaha mengurangi getaran kamera. Marliana dengan sabar meminjamkan pundak sebagai tempat duduk lensa 150-600mm.

Sore itu menjadi paling berkesan bagi tim. Untuk kali pertama, kami melihat langsung kakatua jambul kuning di alam bebas. Selama ini, hanya melihat di kurungan, kebun binatang, dan melalui video atau foto. Dalam misi ini, jambul kuning adalah prioritas utama.
Sore itu (31/12/20) tim berhasil mendokumentasikan tujuh kakatua jambul kuning. Marliana, mahasiswi Biologi Fakultas MIPA Universitas Mataram mencatat titik penemuan itu. Mengukur ketinggian, titik koordinat dan memasukkan dalam database hasil pengamatan.

 

Koak kiau masih ditemukan dengan mudah di Pulau Moyo. Berbeda dengan di Pulau Lombok, burung ini paling banyak diburu untuk diperjualbelikan. Foto: Mirzan, Pengamat Burung Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Masih mudah

Betis Mirzan biru karena menabrak tripod besi yang masih tertancap di tanah. Tripod itu sampai jatuh. Mirzan juga nyaris tersungkur dengan kamera di tangan kanannya.

Salah satu kontributor buku “Atlas Burung Indonesia” ini berucap akan sujud syukur kalau berhasil mendokumentasikan elang Flores (Nisaetus floris). Elang ini spesies elang paling langka di Indonesia. Dari beberapa kali pengamatan dan ekspedisi yang pernah dia ikuti, belum pernah menemukan elang Flores.

Dari perkiraan para peneliti dan pengamat, jumlah elang Flores di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa di bawah 100 di alam. Elang Flores salah satu maskot Taman Nasional Gunung RInjani (TNGR) sulit ditemukan. Dari penuturan peneliti, pengamat burung, dan petugas Balai Taman Nasional Gunung Rinjani sangat jarang melihat elang ini.

Hari itu, 30 Desember, elang Flores tepat berada di atas kepala Mirzan. Terang saja membuat dia kalang kabut. Histeris. Memanggil anggota tim yang lain. Berulang kali mengingatkan kami untuk mengambil video dan foto sebanyak-banyaknya. Perjumpaan langsung dengan elang itu menjadi pengalaman paling berharga dalam petulangan Mirzan mendokumentasikan burung-burung di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dalam pengamatan kami di Pulau Moyo, sebenarnya sudah berjumpa dengan jenis elang lain, sikep madu Asia (Pernis ptilorhynchus). Lombok dan Sumbawa salah satu jalur migrasi burung elang ini. Di Lombok, jalur yang biasa dilewati adalah Pantai Nipah, Kabupaten Lombok Utara. Di Pulau Moyo, kami bertemu dengan sikep madu Asia yang sedang bertengger di pohon jambu mete.

“Dari penuturan teman-teman pengamat burung, sangat jarang menemukan yang sedang bertengger. Ini termasuk pengalaman langka,’’ kata Mirzan.

Di titik pengamatan kami, saya dua kali menemukan sikep madu Asia. Ia terbang mengitari hutan di atas kami. Awalnya, elang Flores yang melintas itu kami kira sikep madu Asia namun mata Mirzan sangat jeli mengenali. Warna putih di bagian dada terlihat jelas.

Takut momen hilang, tim yang sebenarnya sudah siap-siap pindah ke lokasi pengamatan lain akhirnya menyebar mencari ruang yang agak terbuka untuk mengambil gambar. Karena kepanikan itulah, Mirzan tak sadar dengan tripod dan duri tanaman gadung (Dioscorea hispida).

 

Sikep madu Asia atau dikenal juga oriental honey buzzard, satu jenis burung migrasi. Di Nusa Tenggara Barat, mereka bisa dijumpai melintas mulai pada akhir Oktober. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

***

Perjalanan mendokumentasikan burung-burung di Pulau Moyo ini merupakan kolaborasi Mongabay, BSC Kecial Unram, dan pengamat burung Indonesia. Dalam rombongan ini ada enam orang yang berangkat, saya sendiri dari Mongabay Indonesia, Mirzan Asrori, Isnaini Marliana, Habibi, Roaetun Nabiya, dan Giyan. Membawa lima kamera dan satu drone. Ekspedisi mendokumentasikan burung-burung di Pulau Moyo ini berlangsung 29 Desember 2020 hingga 1 Januari 2021. Kami dipertemukan oleh hobi fotografi, kegiatan mendokumentasikan ini kami agar banyak data burung yang bisa dikumpulkan.

Jauh hari sebelum berangkat, kami berdiskusi merencanakan lokasi-lokasi yang akan dituju. Kontak orang lokal di Pulau Moyo, termasuk kemungkinan menginap di rumah warga untuk memudahkan menggali informasi.

Mirzan kontak dengan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB. Dia menanyakan informasi titik-titik pengamatan burung, jenis burung yang bisa dijumpai di Pulau Moyo. Mirzan juga menghubungi beberapa pengamat burung maupun fotografer yang pernah mendokumentasikan burung di Pulau Moyo. Kami membuat list jenis burung yang menjadi prioritas, kakatua jambul kuning berada dalam target paling atas. Beo Sumbawa (Gracula religiosa venerata) ada pada list berikutnya bersama dengan burung gosong (Megapodius reinwardtii).

Alih fungsi lahan masif kami jumpai sepanjang perjalanan. Bahkan di lokasi yang ditunjukkan, sisa-sisa pembukaan lahan masih terlihat. Termasuk ladang tempat kami istirahat sebelum masuk hutan, dulu hutan dengan tutupan cukup lebat. Itu bisa terlihat dari sisa batang pohon yang ditebang.

Keraguan kami pupus begitu mendengar banyak suara burung. Saya sempat terkejut ketika dihampiri seorang buruh tani yang bisu. Laki-laki itu berteriak parau, sambil mengepak-ngepakkan tangan. Dia menunjuk ke hutan, dan mengulang-ulang kepakan tangan. Di atas hutan burung berbulu putih terbang dari pohon ke pohon. Kakatua jambul kuning.

Makin dalam masuk ke hutan, makin banyak kami menemui burung. Srigunting Wallacea (Dicrurus densus) kami jumpai hinggap di pohon cukup rendah. Suara khas, termasuk kemampuan meniru suara burung lain membuat kami harus fokus mendengar kicauannya.


Satu pohon paling tinggi di lokasi itu menjadi favorit burung berbulu hitam, dengan ekor seperti gunting itu hinggap. Kami mencari sudut pengambilan foto dan video yang paling tepat. Di tempat itulah kami duduk berjam-jam menunggu.

Srigunting Wallacea tidak sendiri. Di pohon yang sama hinggap juga koak kiau (Philemon buceroides). Burung dengan suara merdu ini cukup lincah berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Tidak semua bisa kami dokumentasikan karena kadang hinggap di semak-semak.

Burung yang pesolek, dengan bulu kuning dan hitam di jambulnya, kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis) menikmati makanan di pohon asam. Di lokasi sama, setidaknya kami menemukan tiga kepodang kuduk hitam.

Selama empat hari mendokumentasikan burung di Pulau Moyo, kami menemukan 32 jenis. Burung-burung yang kami temukan antara lain elang Flores (Nisaetus floris), kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), kirik-kirik laut (Merops philppinus), walet linci (Collocalia linchi), kangkok ranting (Cuculus saturatus), alap (Falconidae), dan srigunting wallacea (Dicrurur densus). Lalu, kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis), trinil pantai (Actitis hypoleucos), celepuk Maluku (Otus magicus), tekukur biasa (Spilopelia chinensis), sriganti (Cinnyris jugularis), kacamata Wallacea (Zosterops wallacei), koak kiau (Philemon buceroides).

Dua burung yang masuk dalam daftar, yaitu beo Sumbawa dan gosong belum kami jumpai hingga waktu kepulangan. Lokasi yang ditunjukkan warga cukup jauh dari tempat menginap. Tampaknya kami harus kembali ke Pulau Moyo.

 

Kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis) masih banyak dijumpai di Pulau Moyo. Bahkan bertengger di pohon dekat ladang penduduk. Foto: Fathul Rakman/Mongabay Indonesia

 

^^^^^^ Keterangan foto utama: Sepasang kakatua jambul kuning hinggap di satu pohon di Pulau Moyo. Burung ini menjadi salah satu maskot Pulau Moyo dan Sumbawa. Foto: Marliana BSC Kecial Unram/Mongabay Indonesia

Exit mobile version