Mongabay.co.id

Fenomena Banjir dan Krisis Etika Lingkungan

Personil Marinir Surabaya mengirimkan makanan ke warga terdampak banjir akibat Kali Lamong meluap di Desa Iker-Iker, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Rabu (16/12/2020). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Tiap tahun bencana banjir tak pernah absen dari wilayah Indonesia. Baru-baru ini banjir besar melanda sejumlah kabupaten di Kalimantan Selatan. Banjir bandang juga menerjang Gunung Mas, Puncak Bogor. Pun di Kota Manado, Sulawesi Utara juga terjadi banjir dan tanah longsor. Nampaknya, kini bencana banjir mudah terjadi di berbagai wilayah tanah air. Mengapa?

Bila dicermati, banjir disebabkan berbagai persoalan lingkungan. Dan kita turut andil dalam persoalan lingkungan itu. Pembangunan kerap dirancang tanpa berpijak kodrat alam semesta. Air yang seharusnya jadi sumber kehidupan malah jadi petaka.

Alam semesta sebenarnya mempunyai kemampuan diri untuk menjaga keseimbangan ekosistemnya sesuai dengan kodrat alamnya. Namun, tekanan eksploitasi manusia terhadap bumi telah melebihi dari daya dukung alam semesta kita. Lihat saja, lingkungan alami berubah total dan dibangun menjadi perumahan. Jumlah waduk penampung air yang tadinya banyak, sekarang berkurang, dan sebagian dalam kondisi rusak.

Perubahan iklim global semakin memperparah karena telah mengakibatkan kenaikan curah hujan, muka air laut jadi tinggi saat pasang. Sungai-sungai juga telah mengalami penyempitan terdesak pemukiman dan tersumbat oleh sampah. Ini yang kemudian menyebabkan tidak lancarnya laju air daratan kembali ke laut, belum lagi terhambat karena terjadi penurunan muka tanah tiap tahunnya.

Permukaan tanah dan hutan yang mampu berfungsi sebagai instalasi air raksasa bumi telah dirusak oleh manusia sendiri. Siklus air yang sudah tidak normal lagi dan sangat fluktuatif mengakibatkan ketersediaan air menjadi tidak sesuai kebutuhan lingkungan dan kehidupan yang bermartabat.

Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan juga masih kurang. Reboisasi kurang digalakkan. Kebiasaan masyarakat membuang sampah di sungai masih kerap dijumpai. Akibatnya, luapan air bah dari sungai bukan hanya membawa air, namun juga sampah. Alhasil, semua itu menjadikan selalu ada bencana lingkungan dan kemanusiaan yang akan selalu berulang.

Baca juga: Banjir, Antropogenik, dan Demokrasi

 

Personil Marinir Surabaya mengirimkan makanan ke warga terdampak banjir akibat Kali Lamong meluap di Desa Iker-Iker, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Rabu (16/12/2020). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

 

Ubah Perilaku

Selama ini, ketika bencana banjir terjadi, perdebatan publik umumnya hanya berkisar tentang persoalan teknis. Seperti perdebatan tentang ketidakmampuan sungai dan waduk untuk menampung air dalam jumlah besar saat banjir. Lebih luas lagi, perdebatan juga berkisar tentang pembangunan infrastruktur yang secara teknis dianggap menimbulkan dampak bencana.

Padahal sesungguhnya kita mengalami krisis etika lingkungan. Sonny Keraf dalam bukunya Etika Lingkungan Hidup (2010) menyebutkan bahwa persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang berkaitan dengan perilaku dan moral manusia. Menurutnya, etika lingkungan hidup bukan hanya mengenai perilaku manusia terhadap alam, melainkan juga mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta.

Dalam perspektif etika lingkungan, kerusakan alam bukan masalah teknis, melainkan krisis moral manusia. Dengan demikian etika lingkungan adalah cara mengubah pandangan dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Ketika pandangan dan perilaku manusia terhadap lingkungan berubah, maka persoalan teknis juga akan ikut berubah.

Dalam etika lingkungan, ada tiga teori untuk mengkaji relasi manusia dengan alam yaitu teori antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Masing-masing teori mempunyai perspektif yang berbeda tentang manusia dan alam, serta relasi manusia dengan alam.

Antroposentrisme memaparkan bahwa hanya manusia yang berhak mendapat pertimbangan moral sedangkan makhluk lainnya hanya digunakan sebagai sarana dalam pencapaian berbagai macam tujuan manusia. Etika dalam aliran ini memandang bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, memiliki nilai lebih, dan alam dilihat hanya sebagai sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.

Kerusakan alam yang mengakibatkan bencana akhir-akhir ini terjadi karena antroposentrisme yang dikedepankan dalam praktik pembangunan. Rencana penghapusan Amdal karena menghambat investasi adalah contoh nyata dari egoisme manusia dalam antroposentrisme.

Kritik terhadap antroposentrisme, disuarakan melalui etika biosentrisme dan etika ekosentrisme. Kedua teori ini lahir untuk untuk menanggapi paradigma etika antroposentrisme yang menyebutkan bahwa manusia merupakan pusat alam, sehingga memiliki hak penguasaan terhadap alam semesta.

Etika biosentrisme mempunyai pandangan bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup memiliki nilai, dan karena itu, berharga pada dirinya sendiri. Biosentrisme dicirikan dengan beberapa karakteristik pandangan sebagai berikut.

Pertama, dalam teori etika lingkungan ini, alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri (intrinsik) yang lepas dari kepentingan manusia. Kedua, alam mendapat perlakuan sebagai moral, dalam artian kehidupan di alam semesta ini harus dihormati seperti manusia menghormati sistem sosial.

Baca juga: Etika dan Dematerialisme Ekologis

 

Banjir yang terjadi di Lamandau, Kalimantan Tengah September 2020. Foto: Dok. Save Our Borneo [SOB]

 

 

Sedangkan etika lingkungan ekosentrisme mempunyai perspektif pemikiran yang lebih luas.

Dalam perspektif ekosentrisme ini, sama dengan biosentrisme, perjuangan penyelamatan dan kepedulian terhadap lingkungan bukan sekadar mengarusutamakan penghormatan kepada makhluk hidup saja. Namun, juga memberi perhatian yang sejajar terhadap keseluruhan kehidupan.

Dengan demikian dalam etika lingkungan ekosentrisme ini ada pengakuan terhadap semua komponen lingkungan, seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun mati.

Etika lingkungan biosentrisme dan ekosentrisme memberikan penekanan bahwa manusia dan makhluk lainnya mempunyai hak dan nilai yang sama. Ini berarti pembangunan infrastruktur yang terus dikebut seharusnya memberi pengakuan terhadap semua komponen lingkungan.

Demikian pula, kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan perlu dilandasi kesadaran bahwa alam harus diperlakukan sebagai moral. Dengan menjadikan etika lingkungan biosentrisme dan ekosentrisme sebagai arus utama dalam pembangunan, kelestarian alam akan terjaga.

 

* Kurniawan Adi Santoso, penulis adalah pemerhati lingkungan, guru dan yang tinggal di Sidoarjo, Jatim. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

 

Exit mobile version