Mongabay.co.id

Menjaga Ikan Nila dari Serangan Penyakit Berbahaya

 

Popularitas ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Indonesia terus meroket dari waktu ke waktu. Ketenaran nama ikan asli dari Afrika bagian timur itu mampu menyaingi ikan lainnya selama ini biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia, yaitu ikan Mas (Cyprinus carpio).

Namun demikian, Nila menjadi salah satu ikan yang rentan terhadap paparan penyakit ikan yang saat ini ada. Sebut saja, Motile Aeromonas Septicemia (MAS), dan Streptococcosis, dua penyakit yang sedang mengancam keberlangsungan hidup ikan tersebut.

Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP KKP) Sjarief Widjaja menjelaskan, resiko yang dihadapi Nila dari serangan penyakit sedang menjadi perhatian Pemerintah dan para pelaku usaha.

Kedua penyakit yang disebut di atas, mendapatkan perhatian banyak, karena memiliki nilai angka kesakitan (insidensi) hingga 60 persen dari total populasi Nila. Itu artinya, kedua penyakit tersebut bisa menyerang sekaligus minimal 60 persen populasi Nila di sebuah kawasan perairan.

Itu kenapa, Sjarief menyebutkan kalau Nila memerlukan vaksin sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya serangan penyakit. Untuk itu, BRSDM KP saat ini mengembangkan vaksin yang bisa diberikan kepada Nila.

baca : Ikan Nila, Sumber Pangan dan Gizi untuk Pencegahan Stunting

 

 

Pengembangan vaksin sendiri dilakukan dengan menggabungkan dua vaksin, antara Aeromonas hydrophila dengan Streptococcus agalactiae. Kombinasi keduanya diyakini bisa menjadi alternatif pencegahan penyakit potensial pada Nila.

“Pengembangan vaksin kombinasi ini didasari dengan asumsi bahwa itu memberikan perlindungan lebih baik, dibandingkan jika vaksin diberikan secara tunggal, baik itu vaksin Aeromonas hydrophila ataupun Streptococcus agalactiaeI,” ungkap dia belum lama ini.

Dengan menggabungkan kedua vaksin, maka Nila mendapatkan kekebalan terhadap serangan penyakit dan memiliki nilai kelulusan hidup relatif atau relative percent survival hingga 56,7 persen. Keberhasilan itu sekaligus menjadi simbol bahwa pengembangan vaksin bisa dilakukan dengan berbagai cara.

Sjarief Widjaja memaparkan, pemberian dua vaksin sekaligus memiliki fungsi agar Nila bisa meningkatkan respon kekebalan spesifik terhadap infeksi bakteri Aeromonas hydrophila ataupun Streptococcus agalactiaeI.

Adapun, bidang invensi vaksin koktail Aeromonas hydrophila – Streptococcus agalactiae pada budi daya Nila telah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2016, dan telah memperoleh sertifikat paten.

baca juga : Budidaya Ikan Nila Salin Terapkan Prinsip Berkelanjutan. Seperti Apa?

 

Vaksin untuk ikan nila yang dikembangkan oleh KKP. Foto : KKP

 

Invensi Vaksin

Sementara, aspek yang ada dalam invensi adalah klaim jenis asal isolae bakteri; komposisi (kandungan) dan formulasi/kombinasi, serta konsentrasi isolat bakteri yang digunakan dalam pembuatan vaksin kombinasi A. hydrophila – S. Agalactiae; proses pembuatan vaksin kombinasi A. hydrophila – S. Agalactiae; dan rekomendasi pemberian aplikasi vaksin.

Sjarief Widjaja mengatakan, mereka yang berperan penting dalam pengembangan bidang invensi vaksin kombinasi adalah para peneliti BRSDM KP, yaitu Tuti Sumiati, Desy Sugiani, Angela Marianan Lusiastuti, Taukhid, dan Uni Purwaningsih.

Menurut dia, dengan adanya komersialisasi hak kekayaan intelektual (HKI) untuk vaksin koktail A. hydrophila – S. Agalactiae, itu akan mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam mengawal arah kebijakan strategis untuk pembangunan perikanan budi daya yang berkelanjutan.

“Melalui pengembangan sistem kesehatan ikan dan lingkungan untuk menghasilkan produk perikanan budi daya yang aman dikonsumsi, serta menjaga kondisi lingkungan yang optimal,” tegas dia.

Di atas semua itu, KKP berkomitmen untuk terus melaksanakan sosialisasi penggunaan vaksin sebagai bentuk pengendalian penyakit ikan yang aman, efektif, dan murah. Selain itu, mendorong penyediaan vaksin oleh penyedia isolat dan produsen obat ikan, dan melaksanan produksi vaksin ikan secara massal.

perlu dibaca : Ini Keuntungan Budidaya Ikan Nila dengan Teknologi Bioflok

 

Panen ikan nila dari budi daya sistem bioflok di Seminari Pius XII Kisol, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur. Foto : KKP

 

Bagi Sjarief Widjaja, dukungan produk vaksin akan sangat bermanfaat bagi para pembudidaya dalam upaya pemenuhan kebutuhan vaksin untuk ikan. Jika itu bisa terjaga secara stabil, maka vaksin akan mendukung pengembangan perikanan budi daya secara nasional.

Adapun, pengembangan vaksin yang dilakukan oleh KKP melibatkan Balai Riset Perikanan Budi daya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan (BRPBATPP) Bogor dengan supervisi dilakukan langsung oleh Pusat Riset Perikanan KKP dan PT Caprifarmindo Laboratories.

“Arahan untuk mengembangkan perikanan budi daya ini merupakan arahan langsung dari Presiden RI Joko Widodo kepada KKP,” ucap dia.

Arahan tersebut, kemudian direspon oleh KKP dengan mengembangkan riset dan peningkatan kapasitas SDM, salah satunya melalui pengembangan bidang vaksin untuk ikan. Untuk pengembangan tersebut, tidak lain adalah caprivac hydrogalaksi.

Caprivac hydrogalaksi merupakan vaksin inaktif yang mengandung strain bakteri Aeromonas hydrohyla AHL0905-2 dan Streptococcus agalactiae N14G isolat lokal, yang mempunyai kemampuan melindungi ikan terhadap serangan penyakit MAS dan Streptococcosis.

Caprivac hydrogalaksi diformulasi dalam bentuk solution sehingga mudah dalam aplikasi, baik secara injeksi maupun rendam. Caprivac hydrogalaksi merupakan solusi tepat untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit MAS dan Streptococcosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dan Streptococcus agalactiae.

baca juga : Teknologi Bioflok Ternyata Menguntungkan Budidaya Ikan Nila, Begini Penjelasannya

 

Panen ikan nila salin di Kabupaten Pati, Jateng. Pati menjadi daerah percontohan budidaya perikanan ikan nila berkelanjutan oleh KKP. Foto : DPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Kemampuan Adaptasi

Peneliti Balai Riset Pemuliaan Ikan KKP Adam Robisalmi beberapa waktu lalu pernah menyampaikan bahwa Nila adalah salah satu jenis ikan yang mengalami perkembangan sangat cepat untuk jadi komoditas budi daya perikanan.

Ikan tersebut, memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan bertoleransi pada berbagai kondisi lingkungan perairan. Itu kenapa, ikan tersebut menjadi salah satu spesies yang berkembang sangat cepat di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Di dunia, popularitas Nila hanya bisa dikalahkan oleh ikan Mas dan pertumbuhannya pun berlangsung sangat cepat dari tahun ke tahun. Dari catatan Organisasi Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Nila dibudidayakan oleh sedikitnya 83 negara di dunia.

“Dengan produsen terbesar yaitu negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin,” jelas dia.

Adam Robisalmi menyebutkan, Nila di Indonesia menjadi salah satu ikan yang disukai masyarakat dan juga menjadi komoditas andalan bagi perikanan budi daya. Bahkan, Nila masuk dalam 10 komoditas prioritas perikanan budi daya secara nasional.

 

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP Slamet Soebjakto menambahkan, Nila bisa menjadi produk perikanan populer di Indonesia dan juga dunia, karena memiliki rasa yang lezat dan sekaligus menjadi sumber gizi untuk kebutuhan masyarakat.

“Dengan semakin banyak anak Indonesia mengkonsumsi ikan, diharapkan akan lahir generasi baru yang tumbuh sehat, bergizi baik dan bebas dari stunting,” tegas dia.

Agar pengembangan bisa semakin baik dan bermanfaat untuk pemenuhan gizi masyarakat, produksi Nila didorong untuk dilakukan dengan mengadopsi teknologi bioflok. Teknologi tersebut bisa meningkatkan kelulusan hidup (survival rate/SR) hingga 90 persen saat berada di dalam tambak.

Keunggulan lainnya, adalah tingkat penggunaan pakan menjadi semakin efisien, dan nilai feed conversion ratio (FCR) atau perbandingan antara berat pakan dengan berat total (biomass) ikan dalam satu siklus periode budi daya juga semakin rendah menjadi 1,05.

“Angka tersebut menunjukkan, jika pembudi daya ingin menghasilkan ikan nila sebanyak satu kilogram, maka dibutuhkan pakan sebanyak 1,05 kilogram,” papar dia.

Menurut Slamet, keberhasilan yang sudah dicapai tersebut, semakin menguatkan bahwa pengembangan budi daya Nila dengan sistem bioflok menjadi salah satu terobosan untuk meningkatkan produksi Nila secara nasional.

“Penerapan teknologi ini terbukti efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya air dan lahan serta adaptif terhadap perubahan iklim,” pungkas dia.

 

Exit mobile version