Mongabay.co.id

EWS Longsor Ciptaan Mahasiswa, Efektif Dipasang di Mana?

Suasana pemukiman yang terlihat di kawasan lereng perbukitan, di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (11/1/2021). Pemerintah Kabupaten Sumedang berencana melakukan pengkajian ulang terkait perizinan permukiman di kawasan perbukitan karena masuk dalam kondisi menengah-tinggi potensi pergerakan tanah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dua mahasiswa terlihat serius melakukan pengecekan instalasi peralatan di Laboratorium Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah (Jateng) pada Kamis (21/1) lalu. Satu per satu dicermati, agar di lapangan tidak mengalami masalah. Alatnya sederhana. Ada kawat baja, instalasi yang dibungkus kotak berbahan plastik dan dilapis plastik lagi supaya tahan hujan, kemudian ada speaker kecil untuk mengeluarkan bunyi sirine serta ada tiang sebagai tempat menempel instalasi.

Mereka kemudian membawanya di lapangan. Lokasi percobaan di halaman kampus setempat. Keduanya kemudian melakukan ujicoba. Satu mahasiswa memegang tiang dan satunya lagi memegang pasak. Kedua peralatan dihubungkan dengan tali kawat baja. Begitu kabel baja ditarik dari pasak, maka “jack power” di instalasi yang dipasang di tiang tersebut copot. Dengan copotnya “jack power” tersebut, maka speaker mengeluarkan bunyi sebagai tanda bahaya.

“Kalau di lokasi rawan bencana, pasak ditancapkan di lokasi longsor atau tanah yang bergerak. Prinsipnya sederhana, ketika ada tanah bergerak atau longsor, maka akan menarik kabel baja. Sehingga “jack power” akan copot. Alat ini memang sangat sederhana, tetapi akan membantu masyarakat di lokasi longsor sebagai early warning system (EWS) atau alat deteksi dini longsor dan tanah bergerak,”ungkap Ketua Tim Mahasiswa Fisika Tito Yudatama.

Dalam menciptakan alat tersebut, Tito ditemani oleh anggota tim yakni Ariska Pratiwi, Agung Pamilu dan Wahyu Krisna Aji. Alat tersebut diinspirasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daetah (BPBD) Magelang dan dikembangkan dengan sederhana, sehingga menghemat biaya. “Jika EWS yang selama ini ada, biayanya mahal, bisa jutaan, puluhan juta, bahkan ada yang ratusan juta. Tetapi alat yang kami buat hanya membutuhkan dana antara Rp350 ribu hingga Rp400 ribu. Sebab, bahan-bahan yang dipakai sederhana,”ungkap Tito.

baca : La Nina Berpotensi Timbulkan Bencana Banjir dan Longsor, Bagaimana Antisipasinya?

 

1-Tim mahasiswa Fisika Unsoed tengah merangkai peralatan deteksi dini longsor. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kenapa lebih murah? Karena alat tersebut mekanis dan tidak menggunakan sensor yang harus menggunakan kalibasi untuk sensitivitas alatnya. Alat mekanis tersebut diberi komponen kelistrikkan. Kalau sensor bisa mencapai Rp2 juta, apalagi kalau menggunakan panel surya. “Daya listrik alat ini berasal dari baterai 9 volt. Untuk melakukan pengecekan baterai, apakah masih ada dayanya atau tidak, tinggal dicopot “jack power”-nya, bunyi atau tidak,” katanya.

Alat yang sederhana itu dapat diperbanyak oleh masyarakat sendiri terutama di wilayah rawan longsor dan tanah bergerak. Idealnya, alat tersebut ditempatkan di lokasi yang tidak jauh dari pemukiman penduduk. “Cocoknya memang dekat dengan lokasi longsor. Untuk detektor suaranya, sekitar 100 meter dari pemukiman penduduk, sehingga akan terdengar. Alat ini tidak cocok untuk mendeteksi longsor yang cukup jauh dari pemukiman,” kata dia.

Menurutnya, tim telah mempresentasikan alat itu di BPBD Magelang dan BPBD Wonosobo. Pihaknya juga segera melakukan penjajakan kerja sama dengan BPBD Banyumas terkait alat tersebut. “Kami sedang mengajukan proses kolaborasi dengan BPBD Banyumas. Ini merupakan proyek sosial mahasiswa dan akan membuat protitipe peralatan ini. Kalau proyek kolaborasi dengan BPBD Banyumas disepakati, maka kami akan menggalang dana. Kemudian kami akan menghibahkan peralatan ini sampai implementasi di lapangan,”ujarnya.

Tito mengatakan bahwa latar belakang diciptakannya alat ini karena di wilayah Jateng khususnya di wilayah selatan dan barat, banyak daerah rawan longsor. Sebagai salah satu mitigasi yang dilakukan adalah dengan alat EWS. Sehingga masyarakat di lokasi rawan bencana dapat hidup berdampingan dengan bencana. Dengan adaptasi semacam itu, maka masyarakat dapat terus waspada dibantu alat deteksi dini bencana.

baca juga : Longsor Sumedang : Waspada di Tanah Rawan Bencana

 

Peralatan sederhana yang tengah dirangkai mahasiswa menjadi alat deteksi dini longsor. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Secara terpisah, Koordinator Bidang Bencana Geologi Pusat Mitigasi Bencana Unsoed Purwokerto Indra Permanajati mengapreasi hasil cipta mahasiswa Fisika tersebut. Alat tersebut cocok untuk wilayah yang benar-benar rawan, sehingga ketika ada longsor atau gerakan tanah langsung bunyi sirinenya.

“Cocoknya memang di wilayah yang benar-benar sudah kritis atau siap terjadi. Kalau untuk wilayah yang gerakannya lamban atau agak pelan, kurang pas. Tetapi alat ini sangat membantu, daripada lokasi yang sudah sangat rawan longsor itu ditunggui selama 24 jam,”jelas Indra.

Menurutnya, alat memang dapat digunakan sebagai mitigasi bencana. Namun demikian, masing-masing peralatan memiliki spesifikasi. “Ada alat yang harganya bisa sampai Rp300 juta tapi sangat sensitif. Sebab, alat tersebut dapat mendeteksi pergerakan tanah di dalam, di atas permukaan tidak kelihatan. Ada lagi alat yang berbunyi pada saat hujan berlangsung selama empat jam. Masing-masing peralatan berbeda-beda. Saya bersama dengan teman-teman Elektro Unsoed juga tengah mengembangkan alat deteksi dini. Tetapi masih belum diluncurkan,”ungkapnya.

Indra mengatakan bencana tanah bergerak dan longsor terjadi karena berbagai macam faktor. Di antaranya adalah curah hujan, kerusakan lingkungan, sampai tekstur tanah. “Kalau kerusakan lingkungan terjadi dengan tidak adanya pepohonan di daerah hulu, pegunungan atau lereng, maka akan menimbulkan longsor. Yang paling parah ketika terjadi pembalakan liar atau melakukan penebangan tetapi tidak menghijaukan kembali,” katanya.

perlu dibaca : Cerita Vetiver Penahan Longsor di Daerah, Sudah Ditanam Tapi Tidak Maksimal

 

Peralatan dicobakan di lapangan sebagai detektor dini bencana longsor dan tanah bergerak. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan oleh Indra, sifat fisik atau istilahnya mekanika tanah juga sangat mempengaruhi terjadinya longsor. “Misalnya tanah yang mempunyai sifat plastisitas. Kalau ditambah dengan air dan air masuk ke dalam tanah menjadi mengembang dan berubah cair. Muncul lah kemudian banjir bandang. Jika tanah jenis lempung, maka gerakan tanahnya agak lama, bisa ditahan-tahan,”papar dia.

Sebagai upaya mitigasi jangka panjang, lanjut Indra, maka perlu dilaksanakan kajian secara menyeluruh. “Saat sekarang, kita dihadapkan pada realitas lingkungan seperti sekarang. Sehingga perlu ada perhitungan secara rinci, dengan mengkaji tata ruang dan daya dukung lingkungan. Intinya adalah keseimbangan dengan melakukan rekayasa teknik. Misalnya di kota, perlu diperbanyak sumur resapan dan biopori,”katanya.

Di sisi lain, ada kebijakan yang tegas mengenai pembangunan, misalnya pada kontur yang terjal, tidak boleh ada bangunan. “Di wilayah hulu juga jangan seluruhnya diubah menjadi areal pertanian atau konversi lahan. Lokasi tersebut harus tetap dijaga konservasi alam. Intinya adalah keseimbangan dengan alam,” tandasnya.

 

***

 

Keterangan foto utama : Suasana pemukiman yang terlihat di kawasan lereng perbukitan, di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (11/1/2021). Pemerintah Kabupaten Sumedang berencana melakukan pengkajian ulang terkait perizinan permukiman di kawasan perbukitan karena masuk dalam kondisi menengah-tinggi potensi pergerakan tanah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version