Mongabay.co.id

Mewaspadai Perburuan Rangkong Gading di Hutan Leuser

Rangkong gading

 

 

Perburuan rangkong gading di hutan Leuser wilayah Provinsi Aceh harus diwaspadai.

Pada November 2020, pihak Kepolisian Daerah Aceh bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berhasil membongkar kasus perdagangan paruh rangkong gading dan anggota tubuh satwa dilindungi lainnya. Termasuk, kulit dan tulang harimau.

Dalam operasi penyergapan di jalan lintas Kabupaten Aceh Tengah – Bireuen tersebut, penegak hukum berhasil menyita sekitar 71 paruh rangkong dari pengepul bernama Deni Azan, warga Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Sebelumnya, pada Desember 2018, Polres Aceh Tenggara menangkap empat warga Kabupaten Gayo Lues yang hendak membawa 16 paruh rangkong gading ke Provinsi Sumatera Utara.

Sementara pada Juni 2015, tim Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL] berhasil membongkar perburuan paruh rangkong gading di Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]. Tim BBTNGL menangkap dua pelaku dengan barang bukti 12 paruh rangkong.

Baca: SRAK Rangkong Gading Sudah Ditetapkan, Bagaimana Implementasinya?

 

Rangkong gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa

 

Yokyok Hadiprakarsa dari Rangkong Indonesia menuturkan, dengan kondisi hutan Leuser yang masih alami dan cukup luas, seharusnya bisa menjadi habitat rangkong, termasuk rangkong gading.

“Namun, perburuan juga cukup tinggi, sehingga populasi rangkong gading terancam,” terangnya, Senin [25/1/2021].

Dia mengatakan, rangkong gading memerlukan pepohonan besar untuk dijadikan sarang. “Namun, kurangnya survei dan penelitian menyebabkan populasi rangkong gading [di Aceh] belum terpetakan dengan baik.”

Pria yang April 2020 lalu mendapat penghargaan Whitley Award 2020 dari Inggris itu menambahkan, senapan yang dipakai untuk berburu rangkong gading di Kalimamantan dan Sumatera, termasuk di Aceh berbeda.

Di Kalimantan, pemburu menggunakan airsoft gun yang pelurunya dipasok dari luar, biasanya dari Malaysia. Sementara di Sumatera, pemburu memakai senapan angin yang dimodifikasi.

“Senapan sudah dapat diisi angin tanpa perlu dipompa manual.”

Yokyok yang telah 20 tahun bekerja untuk melindungi rangkong gading dari kepunahan berharap, penertiban senapan angin atau senjata lain yang dipakai pemburu segera dilakukan.

“Regulasi sudah ada, tapi di lapangan, senapan angin masih mudah ditemukan,” katanya.

Baca: Digagalkan, Penyelundupan 72 Paruh Rangkong Gading Tujuan Hong Kong

 

Tidak mudah mengungkap sindikat perburuan rangkong gading, butuh kerja keras untuk membongkarnya. Foto: Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa

 

Sulit dilihat

Agus Nurza dari Aceh Birder, yang telah beberapa tahun aktif mengamati burung di Provinsi Aceh mengatakan, rangkong gading saat ini sulit ditemukan, bahkan hanya untuk difoto.

“Bahkan, suaranya juga jarang terdengar, termasuk oleh masyarakat yang tinggal di pinggir hutan.”

Agus mengatakan, pada 2017, Aceh Birder didukung Rangkong Indonesia pernah melakukan pengamatan rangkong gading di beberapa kawasan hutan, di Provinsi Aceh.

“Dari pengamatan tersebut, individu yang ditemukan cukup sedikit dan lokasinya juga sangat terbatas,” ungkap Agus.

Agus mengungkapkan, dari beberapa pengamatan yang dilakukan Aceh Birder, beberapa kali terlihat pemburu yang masuk hutan membawa senapan.

“Perburuan adalah ancaman terbesar populasi rangkong gading, khususnya di Aceh,” ujar Agus.

Manager Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL], Dedi Yansyah mengatakan, perburuan rangkong gading dilakukan oleh orang-orang secara khusus.

“Pemburu membutuhkan senapan angin khusus yang telah dimodifikasi sehingga ukuran pelurunya lebih besar.”

Dedi menambahkan, tim patroli FKL di hutan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] pernah beberapa kali bertemu langsung pemburu.

“Mereka membawa senapan angin rakitan.”

Baca: Pahlawan Konservasi: Wawancara dengan Rangkong Indonesia

 

Paruh enggang gading yang disita. Perburuan terus terjadi yang menyebabkan populasinya di alam menurun. Foto: Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa

 

Humas Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL], Sudiro mengakui, perburuan rangkong gading juga terjadi di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL]. Petugas BBTNGL dibantu lembaga mitra telah berusaha maksimal, mencegah terjadinya perburuan satwa.

“Kami terus berupaya mencegah terjadinya kegiatan ilegal di TNGL termasuk perburuan satwa liar, baik itu badak sumatera, gajah, harimau, orangutan, rangkong dan satwa lainnya.”

Sudiro menyebutkan, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan patroli bersama lembaga mitra dengan sistem Smart Patrol.

“Saat melakukan patroli, kami hanya menemukan tanda-tanda bekas kegiatan ilegal seperti perburuan. Namun, pelakunya telah pergi.”

Sudiro menambahkan, dengan TNGL yang cukup luas dan akses masuk ke TNGL yang tersebar hampir di semua daerah, juga menyulitkan petugas mengamankan kawasan hutan dari kegiatan ilegal.

“Di beberapa lokasi di TNGL, habitat dan populasi rangkong termasuk rangkong gading masih terjaga baik,” ujarnya.

Baca juga: Enggang Gading yang Mendadak Kritis

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rindu suara rangkong

Masyarakat yang tinggal dipinggiran hutan di Provinsi Aceh masih cukup ingat dengan suara rangkong gading, meskipun kini suaranya semakin jarang terdengar.

“Suaranya panjang dan hampir mirip dengan suara orang tertawa lepas,” sebut

Mahriansyah, masyarakat Lamteuba, Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, menyatakan rindu akan suara rangkong. “Suaranya panjang seperti orang yang tertawa lepas,” terangnya, pertengahan Januari 2021.

Mahriansyah yang saat ini berumur 68 tahun, cukup ingat dengan suara burung berparuh, yang biasa disebut cula atau balung ini. “Suara kepakan sayapnya cukup besar. Jika orang yang tidak pernah mendengar, bisa ketakutan.”

Burung rangkong, termasuk rangkong gading tidak dianggap hama oleh masyarakat, karena dia hanya makan buah ara atau Ficus sp. Masyarakat di Aceh menghormati burung ini hidup bebas di hutan, dan tidak dikonsumsi.

“Rangkong gading menghilang karena perburuan yang semakin marak, setelah konflik berakhir di Provinsi Aceh pada 2005,” tuturnya.

Rangkong gading merupakan burung besar yang ukuran tubuhnya mencapai 190 cm, dari paruh hingga ekor. Jenis ini hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya [monogami]. Jika pasangannya mati atau dibunuh, akan sangat sulit mencari penggantinya.

 

 

Exit mobile version