Mongabay.co.id

Tak Mudah Rehabilitasi Mangrove di Pulau-pulau Kecil Sumenep

Penanaman mangrove di tepian Sungai Saroka, Saronggi, Sumenep. Kawasan ini selanjutnya akan jadi ekowisata mangrove. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Rehabilitasi mangrove di lahan-lahan kritis terutama di pulau-pulau kecil di Sumenep, Madura, tak mudah karena menghadapi beberapa kendala.

Syamsul Muarif, Kepala Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Sumenep mengatakan, daerah kepulauan sulit terjangkau karena medan dan anggaran. Salah satu kendala kepulauan, katanya, jarak jauh hingga ada kemungkinan keterlambatan realisasi anggaran.

“Kalau ke kepulauan mungkin ada keterlambatan ini (anggaran). Juga kelayakan apakah bisa ditanam atau tidak. Walaupun layak tapi butuh proses ke sananya. Belum lagi nanti data suruh kirim ke Jakarta,” katanya di sela kegiatan tanam mangrove di Desa Kebun Dadap Timur, Kecamatan Saronggi, Sumenep, Madura, Jawa Timur, awal Januari lalu.

Secara umum, kata Syamsul, kepedulian masyarakat terhadap mangrove, sebenarnya sangat tinggi meskipun masih ada yang menggunakan untuk kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi yang dia maksud itu, seperti mangrove jadi bahan bangunan, keperluan rumah makan atau restoran, dan lain-lain.

Baca juga: Mangrove Madura Kritis, Makin Terkikis

Dia menyayangkan, penebangan mangrove di pinggir jalan raya di Madura, di tepi laut. Dia beralasan sejak Undang-undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah—0-12 mil laut jadi kewenangan pemerintah provinsi—kabupaten sudah tidak bisa apa-apa lagi.

“Banyak sebenarnya kalau protes ke saya, sementara saya tidak punya kewenangan. Anggaran tidak ada, ya tidak bisa apa-apa, anggaran untuk mangrove. Kan gak mungkin kita menganggarkan. Kalau tidak jadi temuan.”

 

Tanam mangrove bersama di pesisir Sumenep. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Soal pengelolaan dan pemberdayaan hutan mangrove, Muarif bilang sudah banyak di Madura. Masyarakat, katanya, mulai tahu fungsi ekosistem gambut, malah ingin mengembangkannya. Dia contohkan hutan mangrove di Kabupaten Pamekasan, kelompok tani hutan mangrove mengelola hutan mangrove sedemikian rupa hingga menjadi ekowisata.

“Kalau di Pamekasan sudah ada semacam rencana dari KLHK jadi ekowisata, sudah terpantau kalau di Pamekasan itu. Di sini mungkin nanti kita upayakan menjadi seperti itu.”

Dia mengatakan, perkembangan hutan mangrove di Madura sejauh ini cukup baik, kendati ada di beberapa bagian tidak terurus.

Pada 2020, katanya, ada penanaman besar-besaran oleh CDK Wilayah Sumenep—CDK Wilayah Sumenep mewadahi empat kabupaten di Madura—dengan Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Rinciannya, Bangkalan 150 hektar, Sampang 80 hektar, Pamekasan 55 hektar, dan Sumenep 90 hektar.

 

Tanam mangrove bersama

Pekan pertama awal tahun lalu, masyarakat sipil dan beberapa perwakilan pemerintah bersama-sama. Kegiatan inisiasi Brawijaya University Students from Sumenep (BUSS), sebuah komunitas mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, asal Sumenep ini bekerja sama dengan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Reng Paseser.

Mereka tanam mangrove di bantaran Sungai Saroka. Para partisipan diangkut dari dermaga dengan perahu ke lokasi penanaman.

Baca juga: Berus Mata Buaya, Mangrove Langka yang Tumbuh di Pesisir Kalimantan Barat

Lumpur di pinggir sungai tebal, sepinggang orang dewasa. Badan para peserta separuh tenggelam, seperti mandi lumpur.

 

Tanam mangorve inisiasi Brawijaya University Students from Sumenep (BUSS), sebuah komunitas mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, asal Sumenep ini bekerja sama dengan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Reng Paseser. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Muhammad Firdaus Solihin, Ketua Umum BUSS, bilang, kegiatan ini kedua kalinya, setahun lalu pernah adakan kegiatan sama, menanam 1.000 mangrove.

Aksi bakti sosial ini, satu dari rentetan kegiatan Brawijaya Festival. “Untuk penanaman mangrove ini lebih kepada pengabdian dan penelitian,” katanya.

Untuk penghijauan, mereka pilih tanam mangrove sejalan dengan Sumenep punya program Visit Sumenep, jadikan kabupaten ini tujuan wisata.

BUSS berkoordinasi dengan beberapa komunitas dan institusi seperti Taruna Siaga Bencana (Tagana), Kelompok Peduli Mangrove Madura (KPMM), Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Wilayah Sumenep, dan Dinas Lingkungan Hidup. Juga, Dinas Perikanan, Mahasiswa Pencinta Lingkungan (Mapala) Mayapada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (STKIP PGRI) Sumenep, Pokmaswas Reng Paseser, dan aparatur desa.

Akbarrisqah Ahlan Wijaya, Ketua Pelaksana Brawijaya Festival, bilang, dari BUSS ada 60 orang. Mangrove ditanam berupa bibit dan propagol.

Sebelum menanam, mereka cari tahu terlebih dahulu jenis mangrove apa yang cocok di tempat itu dan bagaimana perawatannya.

Selama dua tahun, mereka fokus menanam mangrove di tempat ini agar berkelanjutan.

Untuk urusan menjaga dan merawat mangrove mereka serahkan kepada Pokmaswas. BUSS tetap pantau perkembangan agar hasil lebih maksimal.

Mereka mendapat dana dari sponsor dan alumni BUSS untuk kegiatan ini. Mereka beli bibit mangrove Rp1.000 per batang.

 

 

Maskur Rianto, Ketua Pokmaswas Reng Paseser, mengatakan, hutan mangrove di sana dikelola berkelanjutan, dan berkesinambungan untuk jangka panjang.

Insya Allah pertengahan tahun ini kita mau launching itu wisata mangrove,” kata Maskur.

Mereka bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Kebun Dadap Timur. Dana dari desa, pokmaswas yang mengelola.

Di Kebun Dadap Timur (Kedatim), katanya, tidak hanya jadi tempat wisata juga buat upaya pendidikan mangrove kepada masyarakat.

Masyarakat, katanya, bisa makin tahu manfaat atau kegunaan mangrove hingga tidak lagi ada penebangan sembarangan.

Masyarakat, katanya, malah mendapatkan manfaat besar, kala mangrove terjaga, baik dari lingkungan maupun ekonomi. Pokmaswas bercita-cita, masyarakat Kebun Dadap Timur sejahtera, ada lapangan kerja.

Maskur mengapresiasi inisiatif mahasiswa ini. Dia bilang, bukan perkara seberapa banyak mangrove yang mereka tanam tetapi semangat kepedulian kepada sosial dan lingkungan hidup.

Penanaman mangrove di Kebun Dadap Timur, katanya, sudah berjalan tiga tahun terakhir dari berbagai kalangan. Kalau dikalkulasi, katanya, pada 2018 menanam 38.000 mangrove, sampai 2020 bertambah sekitar 25.000.

Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Hutan Wilayah (UPT PHW) IX Sampang Wilayah Kerja Sumenep, luas hutan bakau di Kebun Dadap Timur pada 2017 ada 33 hektar.

Tahun ini, Pokmaswas mendapat bantuan Nur Seri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan berupa benih mangrove jenis Rhizoporaceae sebanyak 500 .000 bibit.

Dua bulan ke depan, bibit sudah siap tanam. Rianto mempersilakan siapapun, komunitas atau instansi kalau ada ingin membeli. Mereka juga mempersiapkan sertifikat kegiatan sesuai tema kalau perlu.

 

 

****** Keterangan foto utama: Penanaman mangrove di tepian Sungai Saroka, Saronggi, Sumenep. Kawasan ini selanjutnya akan jadi ekowisata mangrove. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version