Mongabay.co.id

Banjir Bandang Melanda Wilayah NTT. Apa yang Harus Dilakukan?

 

Hujan deras yang mengguyur beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur (NTT) selama seminggu terakhir menyebabkan terjadinya banjir dan longsor yang menelan korban jiwa. Banjir bandang terjadi di tiga kecamatan di Kabupaten Sikka, Minggu (17/1/2021)  yakni Kecamatan Waigete, Mego dan Magepanda.

Hujan deras juga mengakibatkan longsor di Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM), Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, Senin (25/1/2021). Tercatat dua orang meninggal dunia dan 146 orang lainnya diungsikan dari tempat tinggalnya untuk sementara waktu.

“Sesuai ramalan dari BMKG, curah hujan di Kota Kupang akan meningkat dari bulan Februari hingga Maret. Karena itu, warga yang berada di lokasi rawan diimbau segera menjauh,” kata Kepala BPBD Kota Kupang, Maxi Diduk kepada wartawan, Senin (25/1/2021).

Maxi menambahkan, saat ini Kota Kupang masih berstatus waspada dan belum masuk ke siaga. Namun ia meminta agar warga yang berada di lokasi rawan bencana agar menjauh mengingat intensitas hujan lebat masih terjadi.

Hujan lebat dan banjir bandang yang menghantam tiga kecamatan di Kabupaten Sikka, Minggu (17/1/2021) mengakibatkan seorang warga Kecamatan Paga meninggal dunia.

Banjir juga menyebabkan jembatan gantung di Desa Korobhera, Kecamatan Mego ambruk diterjang banjir. Sebuah jembatan di Desa Reroroja,Kecamatan Magepanda juga mengalami rusak berat.

baca : Banjir Rob Genangi Puluhan Rumah di Maumere. Apa Penyebabnya?

 

Banjir yang menggenangi pemukiman warga di Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikkka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Analisis curah hujan dasarian II Januari 2021 dari BMKG Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang menyebutkan, pada umumnya wilayah NTT mengalami curah hujan dengan kategori manengah 51-150 mm.

Namun sebagian kecil wilayah termasuk Kabupaten Sikka berkategori tinggi 151-300 mm dan sebagian kecil Kabupaten Manggarai Timur, Ngada dan Timor Tengah Selatan (TTS) berkategori sangat tinggi lebih dari 300 mm.

 

Areal Sawah Terancam

Data yang diperoleh Mongabay Indonesia dari BPBD Sikka menyebutkan, banjir bandang mengakibatkan sebanyak 64 KK di Desa Egon dan Hoder di Kecamatan Waigete terkena dampak.

Dua wilayah kecamatan yakni Mego dan Paga yang memiliki areal persawahan mengalami banjir dan terbenam lumpur sehigga sawah rusak dan padi terancam gagal panen.

Saat ditemui Mongabay Indonesia, Selasa (26/1/2021) Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Kristianus Amstrong menyebutkan, petugasnya baru selesai melakukan pendataan kerusakan tanaman pertanian.

Amstrong menyebutkan, untuk Kecamatan Mego dengan luas areal tanam padi sawah sebanyak 171 ha yang tersebar di tiga desa, sebanyak 8,95 ha terkena dampak banjir bandang dan mengalami kerusakan parah.

Sebanyak 5,8 ha mengalami puso dan waspada sebanyak 162,5 ha. Tanaman jagung dan singkong sebanyak 2,9 ha mengalami kerusakan parah dan puso 2,9 ha.

baca juga : UPT KPH Sikka Kembali Tanam Bakau dan Reboisasi Gunung Egon. Kenapa?

 

Banjir yang menggenangi pemukiman warga di Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikkka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

“Banjir bandang juga mengakibatkan 106 rumpun pisang rusak berat dan 65 rumpun lainnya mengalami puso. Jika terjadi banjir bandang lagi maka kerusakan akan semakin besar sehingga kami meminta agar para petani lebih waspada,” ucapnya.

Amstrong juga paparkan, sebanyak 11,82 ha areal sawah di tiga desa di sentra persawahan di Kecamatan Magepanda rusak tertimbun material banjir berupa tanah dan pasir.

Ditambahkannya,areal persawahan seluas 51,72 ha lainnya masih tergenang banjir akibat hujan yang masih mengguyur. Banjir juga mengakibatkan saluran primer dan dam parit di Desa Reroroja jebol.

 

Aksi Penggundulan Hutan

Kenapa banjir bandang terjadi di Kabupaten Sikka?

Sekretaris Forum Peduli Penanggulangan Bencana (FPPB) Kabupaten Sikka, Yuven Wangge kepada Mongabay Indonesia mengatakan banjir bandang dipicu perilaku masyarakat sendiri yang melakukan penebangan pohon secara liar.

Yuven mengatakan pihaknya pernah melakukan pemantauan lewat udara melalui drone dan ditemukan areal hutan di wilayah Kecamatan Magepanda mengalami kerusakan parah. Pepohonan sudah banyak yang ditebang dan terjadi penggundulan hutan.

“Aksi penebangan liar di kawasan hutan masih terjadi sehingga mengakibatkan areal hutan sebagai tangkapan air berkurang drastis. Saat terjadi banjir bandang kita hanya mengatakan akibat curah hujan yang tinggi dan tidak melihat penyebab lainnya,” ungkapnya.

perlu dibaca : Waktunya Mulai Mewaspadai Mega Bencana: Pandemi dan Banjir Puncak Musim Hujan

 

Banjir bandang mengakibatkan material tanah dan pasir menutupi areal persawahan di Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Yuven mengatakan pemerintah harus melakukan evaluasi komperhensif. Ia sarankan, harus diikuti dengan langkah-langkah rehabilitasi daerah tangkapan air seperti kawasan hutan dengan melakukan penghijauan dan lainnya.

Disebutkannya, debit mata air di beberapa kali di wilayah Kecamatan Magepanda menurun drastis selama 5 tahun terakhir. Dampaknya, sawah pun hanya bisa ditanami saat musim hujan.

“Saat debit air di kali berkurang, masyarakat malah menggunakan pompa-pompa air di areal persawahan. Kondisi ini akan memperparah keadaan karena air tanah disedot hingga kering,” ungkapnya.

Selain itu, sistem ladang berpindah dan lahan pertanian yang sudah tidak menggunakan sistim terasering kian memperparah keadaan. Air hujan tidak meresap ke tanah dan ditahan agar tidak banyak mengalir ke laut.

Yuven menyesalkan kebakaran di hutan lindung Egon Ilimedo di Kecamatan Waigete dan padang savana di Kecamatan Magepanda yang setiap tahun selalu berulang. Lahan yang sudah kritis malah semakin diperparah lagi sehingga tinggal menunggu waktu terjadinya banjir bandang.

“Pemerintah harus segera melakukan penghijauan secara masif dengan menggerakan warga. Aktifkan kembali penggunaan terasering di lahan-lahan pertanian yang miring,” sarannya.

baca juga : La Nina Berpotensi Timbulkan Bencana Banjir dan Longsor, Bagaimana Antisipasinya?

 

Petugas Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelola Hutan (UPT KPH) Kabupaten Sikka, NTT sedang melakukan pengecekan lokasi kebakaran di Dusun Kolibuluk, Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, NTT.
Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Resolusi Lingkungan

Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi kepada Mongabay Indonesia, Rabu (20/1/2021) mengatakan makin dominannya urusan ekonomi yang menempatkan sumber daya alam sebagai bahan baku eksploitasi, akan berdampak pada makin memburuknya kualitas lingkungan hidup.

Selain itu juga investasi yang berbasis luas lahan dan rakus air kian merugikan rakyat banyak terutama rakyat yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dari aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan.

“Model-model eksploitasi yang minim kontrol akan mengakibatkan juga terjadinya ketidakadilan antar generasi,” ucapnya.

Umbu Wulang katakan WALHI NTT memberikan resolusi lingkungan 2021 untuk pembangunan menuju kesejahteraan yang berkeadilan dan berpijak pada nilai pelestarian alam ke publik luas terutama kepada para pengambil kebijakan di NTT.

Terkait air, WALHI minta hentikan swastanisasi air dan pemerintah harus mengambil alih pengelolaan air buat rakyat. Terutama distribusi untuk rakyat yang jauh dari akses air.

Pemerintah diminta untuk mencegah dan menghentikan aktivitas pembangunan apapun yang merusak kawasan sumber daya air, baik di dalam maupun luar kawasan hutan.

“Harus memperkuat dan memperluas konservasi sumber daya air terutama di kawasan rentan seperti di daerah tandus dan pulau-pulau kecil,” sarannya.

Dia mengatakan perlu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perlindungan, konservasi dan distribusi air untuk rakyat.

 

Petani di Kecamatan Magepanda sedang membuat pagar untuk membendung meluapnya lumpur dan tanah ke dalam areal persawahannya. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Juga memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat hulu yang menjaga kelestarian sumber daya air dan adanya kebijakan yang komprehensif tentang perlindungan dan pengelolaan air di setiap pulau di NTT.

Terkait hutan, ia tegaskan, perlu penguatan dan perluasan kawasan hutan konservasi tegakan di NTT di semua pulau terutama pulau-pulau kecil seperti Sabu dan Rote.

Pihaknya pun minta hentikan alih fungsi kawasan hutan dan melakukan konservasi di kawasan-kawasan kritis.

“Mencegah dan menghentikan illegal logging di NTT dan mengedepankan pengelolaan dan perlindungan hutan berbasis komunitas rakyat,” sarannya.

Umbu Wulang menginginkan pengakuan hutan-hutan adat dan pembuatan hutan-hutan desa yang pro pada konservasi tanah dan air serta memulihkan kehidupan sosial masyarakat adat di Pubabu, TTS.

Terkait penegakan hukum lingkungan, dia berharap perlu menerapkan hukum lingkungan untuk setiap pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.

“Melakukan pendidikan hukum lingkungan bagi rakyat secara menyeluruh hingga tingkat desa. Juga memperkuat dan memperluas keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk urusan lingkungan hidup di semua kabupaten atau kota,” pintanya.

Ia sarankan pemerintah lakukan audit lingkungan di setiap kabupaten/kota untuk kepentingan perlindungan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta upaya penegakan hukum serta upaya pemulihan lingkungan.

 

Para perempuan warga Desa Balawelin II, Solor Barat, Flores Timur, NTT menjunjung ember berisi air payau yang diambil dari sumur galian di pesisir pantai utnuk dibawa ke rumah. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Terkait perubahan iklim, dia ingin adanya kebijakan konservasi kawasan pesisir untuk mengurangi dampak kenaikan air laut terhadap masyarakat.

Juga perlu adanya kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dapat diterapkan di masyarakat mulai dari tingkat provinsi hingga desa. Terutama terkait dengan urusan pangan dan air dan kelestarian keanegaragaman hayati di NTT.

“Harus menerapkan kebijakan pembangunan yang tidak memperparah dampak perubahan iklim dan pemanasan global di NTT. Misalnya menghentikan dan minimal mengurangi pembangunan infrastruktur yang rakus energi fosil, rakus lahan, rakus air,” pungkasnya.

 

Exit mobile version