Mongabay.co.id

Tumpulnya Penegakan Hukum dalam Kasus Perusakan Alam di Sumbar

Sudah berulangkali kita membaca berita tentang permintaan agar penegak hukum bertindak tegas dalam mengatasi pembalakan liar dan tambang ilegal. Sayangnya, tidak semua permintaan tersebut terespon baik. Bahkan di lapangan praktek pembalakan liar dan tambang ilegal seperti dibiarkan begitu saja, padahal dampaknya sudah dirasakan meluas oleh masyarakat.

Sebagai contoh di beberapa wilayah di Sumatera Barat dan Jambi, praktek tambang emas ilegal masih tersisa. Lubang-lubang bekas tambang di badan dan pinggir sungai mudah dijumpai. Kondisi itu dapat dijumpai di Kabupaten Solok Selatan, Darmasraya, dan Sijunjung (Sumbar), Kerinci, Sungai Penuh, Bungo, Merangin, Sarolangun, dan Tebo (Jambi)

Lokasi tambang emas ilegal ini berada di hutan lindung yang menjadi hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari. Akibat tambang ilegal, tingkat bahaya erosi (TBE) di kawasan hulu DAS Batanghari dalam kondisi sangat berat dan berada pada posisi terparah, yakni di atas 480 ton sedimen per hektar per tahun (Kompas, 30 November 2019).

Beberapa tahun silam, penulis pernah melakukan perjalanan di kawasan hutan Solok Selatan yang sebelumnya menjadi wilayah konsesi PT Andalas Merpati Timber (AMT), sebuah perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) yang sudah terhenti beroperasi sejak 2012. Luas izin 28.840 hektar masuk kelompok hutan Batang Hari Hulu hingga Batang Sangir.

Kawasan yang sebelumnya menjadi wilayah produksi kayu itu kini menjadi daerah utama yang menjadi wilayah penambangan emas ilegal di Solok Selatan. Sementara untuk titik lokasi terdekat, -berada tidak jauh dari Kantor Bupati Solok Selatan, pintu masuk ke lokasi tambang hanya berjarak kurang dari 50 meter dari kantor kepolisian sektor (Polsek) Sangir.

Baca juga: Penghentian Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Sumbar Butuh Komitmen Penuh Para Pihak

 

Aktivitas tambang ilegal di badan Sungai Batang Bangko telah menyebabkan bentuk aliran sungai berubah total. Foto: Antoni Putra

 

 

Jika ditelusuri, lokasi pertambangan di Solok Selatan merupakan satu kesatuan hutan dengan lokasi pertambangan di Solok, yaitu melingkupi daerah aliran sungai Batang Sakia (Nagari Garabak Data) dan Batang Manti (Nagari Sungai Abu), dengan pintu masuk untuk jalur masuk alat berat ke Batang Sakia berada di Darmasraya.

Berdasarkan penelusuran penulis di Kabupaten Solok Selatan, aliran anak sungai Batang Hari yang ditambang adalah Batang Pamoang Ketek, Batang Pamoang Gadang, Batang Panggualan, Batang Palabaian, Batang Simabua, Batang Balikan, Batang Bangko, Batang Kandi.

Kini, titik lokasi sudah semakin meluas dengan menyebar sampai ke bagian hilir Kabupaten Solok Selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Darmasraya. Beberapa lokasi yang sering memakan korban jiwa di antaranya Padang Dingin, Abai dan beberapa daerah lainnya yang berbatasan langsung dengan Darmasraya.

Selain masalah tambang emas, Sumbar juga terancam akibat aktivitas pembalakan liar, salah satunya yang mengincar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Meski pada 2017 pernah dilakukan penertiban, nyatanya praktek illegal logging di kawasan TNKS ini hanya berhenti kurang dari satu tahun. Pertengahan 2018 pembalakan liar kembali terjadi dan berlangsung hingga kini.

Dampak dari pembalakan liar jelas: mengancam kelestarian alam dan dapat menghadirkan bencana. Di wilayah penyangga TNKS, aktivitas ilegal ini memberi dampak buruk langsung pada masyarakat, termasuk rusaknya jalan masyarakat yang dilewati oleh truk pengangkut kayu sarat muatan.

Disebabkan oleh tambang emas dan pembalakan liar, data Dinas Kehutan Sumbar menyebut telah terjadi penurunan tutupan di lahan hutan seluas 44.066 hektar selama 2017-2020. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi (2020) menyebutkan luas tutupan hutan di Sumbar pada 2020 tersisa 1.863.957 hektar.

Pada rentang tahun 2017-2020, Warsi menyebut Sumbar telah kehilangan tutupan hutan seluas 31.367 hektar, dengan 8.015 hektar diantaranya terjadi dalam periode 2019-2020.

Baca juga: Menyoal Illegal Logging dan Penegakan Hukumnya di Kawasan TN Kerinci Seblat

 

Bekas tambang di Sungai Balikan, berupa lubang-lubang besar yang terisi air dan gundukan-gundukan batu dan pasir. Foto: Antoni Putra.

 

 

Lemahnya Penegakan Hukum

Persoalan yang selalu menyertai laju kerusakan hutan akibat pembalakan liar dan tambang ilegal adalah pada aspek penegakan hukum. Banyak peraturan yang memberikan ancaman pidana pada perusak hutan, namun implementasinya lemah seiring dengan tidak seriusnya aparat penegak hukum dalam menjalankan peraturan itu.

Dalam banyak kasus, masalah integritas penegakkan hukum dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan hidup patut dipertanyakan.

Peraturan perundang-undangan sejatinya telah mengatur secara ketat, namun selalu bermasalah dalam penerapannya. Aparat penegak hukum dalam banyak kasus hanya menjadi simbol karena terindikasi berkompromi dengan perusak lingkungan.

Dalam penegakan hukum dalam kasus-kasus ilegal mining, -seperti dirangkum dalam liputan Kompas (2020), adanya bekingan oknum aparat penegak hukum menjadi salah satu faktor tidak berjalannya tindak penertiban secara efektif.

Sebagai imbalan, penambang atau pun pembalak liar akan memberikan uang payung yang jumlahnya relatif besar ke oknum penegak hukum.

 

Video: Mendulang Bencana di Sumatera Barat (INFIS)

 

 

Dalam hal penegakan hukum terhadap pembalakan liar, para oknum insider di polres akan membocorkan informasi kapan akan ada razia. Akibatnya, pelaku kejahatan akan sulit tertangkap. Setiap kali razia diadakan, segenap barang bukti seperti truk pengangkut kayu akan dihilangkan jejaknya.

Absennya kegiatan rutin juga jadi masalah. Seharusnya polisi hutan perlu sering melakukan patroli di kantung-kantung dan titik-titik lokasi maraknya pertambangan dan pembalakan liar. Ketidakberadaan para petugas di tempat, membuat para pelaku semakin menjadi-jadi dan berani dalam melakukan aksinya.

Tentu saja seluruh hal ini, seluruh kejahatan lingkungan ini dapat dilakukan jika segenap aparat dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan benar. Seperti istilah “jika yang di atas lurus, maka yang di bawah juga akan ikut lurus”. Sudah waktunya para oknum yang berkomplot ini dibersihkan dari institusi penegak hukum.

Penulis berharap, agar aparat penegak hukum dapat lebih jeli untuk melakukan penertiban, tak hanya kepada para pelaku lapangan, tetapi juga kepada para cukong dan para back up finansial, serta para oknum penegak hukum yang terlibat di dalamnya.

 

* Antoni Putra, penulis adalah peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto Utama: Para penambang beraktivitas dengan menggunakan mesin pompa air diesel di salah satu kebun karet pinggir Sungai Batanghari di Jorong Talantam, Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Sangir Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat (24/11/2019). Air bercampur lumpur sisa aktivitas itu dialirkan ke Sungai Batanghari. Foto: Een Irawan Putra
Exit mobile version