Mongabay.co.id

Penetapan Hutan Adat Tombak Haminjon Susut, Teralokasi buat Food Estate?

Sandra Moniaga, Komnas HAM (berbaju hitam), bersama perempuan adat Pandumaan Sipituhuta di hutan kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro

 

 

 

 

Awal Januari lalu, Presiden Joko Widodo  menyerahkan surat keputusan penetapan hutan adat di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk hutan adat Tombak Haminjon kepada masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, seluas 2.393 hektar. Pada 2016, saat presiden memberikan surat keputusan pencadangan hutan adat seluas 5,172 hektar. Setelah proses dan verifikasi, usulan hutan adat menjadi 6.000-an hektar. Masyarakat adat terkejut penetapan hutan adat menyusut, mereka mendengar kalau sebagian sudah menjadi food estate.

Sepekan setelah keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini mereka terima, masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, pada Minggu (17/1/21) berkumpul membahas dokumen ini.

Sepanjang hari sampai petang pertemuan akhirnya mereka memutuskan menolak hutan adat jadi lahan pengembangan kawasan pangan skala besar (food estate). Mereka ingin hutan adat tetap jadi hutan kemenyan, bukan untuk tanaman lain.

Masyarakat pun bersepakat meminta penjelasan Bupati Humbang Hasundutan soal SK Menteri LHK ini. Keesokan harinya, warga berduyun-duyun mendatangi Kantor Bupati Humbahas dan bertemu bupati yang langsung menerima mereka.

Op. Febri Lumbangaol, warga adat Pandumaan Sipituhuta mengatakan, keputusan Menteri KLHK ini tidak sesuai dengan apa yang mereka ajajukan. Ada kekecewaan karena hutan kemenyan akan jadi tanaman lain dalam proyek food estate.

“Kami kecewa pemerintah ingkar janji kami ingin tanah adat kami kembali utuh,” kata Lumbangaol.

Pendeta Haposan , Sinambela tokoh masyarakat Pandumaan Sipituhuta mengatakan, akan terus berusaha mendapatkan apa hutan adat Pandumaan Sipituhuta seluas 5.170 hektar, bukan 2.000 an hektar seperti penetapan dari KLHK pada 30 Desember 2020.

Dia bilang, hutan adat harus mereka pertahankan dan tetap jadi pohon kemenyan. Terlebih dengan kemenyan yang biasa hidup bersama pepohonan lain ini tak oerlu biaya apapun dalam pengelolaan. Hutan kemenyan, katanya, tidak menggunakan biaya tetapi pakai otot.

Kersi Sihite, pengurus adat Pandumaan Sipituhuta menyatakan, tak mau kemenyan hilang dari hutan adat mereka karena merupakan peninggalan dan warisan leluhur.

 

Baca juga: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara

 

Mereka menolak jadi food estate oleh pemerintah. “Apapun dan kapanpun mereka terus berjuang mempertahankan hutan adat yang lestari tanpa diganggu siapapun.”

Di Sumatera Utara, lahan food estate yang masuk proyek strategis nasional ini sekitar 30.000-an hektar, dari yang tersedia 60.000-an hektar. Ia melingkupi empat kabupaten, yakni, Humbang Hasundutan, Pakpak Barat, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga mencanangkan kebun raya 1.150 hektar dan taman sains herbal 500 hektar.

Sebelumnya, pemerintah pusat mencanangkan food estate di Sumut sekitar 61.042 hektar. Rinciannya, Humbang Hasundutan 23.000 hektar, Pakpak Barat (48.329 hektar), Tapanuli Tengah (12.655 hektar) dan Tapanuli Utara 16.833 hektar.

 

Ini alasan hutan adat susut?

Dalam dokumen yang ditandatangani Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK Bambang Supriyanto, menyebutkan, Ketua masyarakat adat Panduman Sipituhuta mengajukan permohonan penetapan hutan adat kepada Menteri LHK.

Berdasarkan Perda Humbang Hasundutan Nomor 3/2019 soal pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Pandumaan Sipituhuta. Berdasarkan keputusan Bupati Humbahas Nomor 201/2019 telah ditetapkan wilayah adat masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta seluas 6.186,17 hektar.

Sesuai berita acara verifikasi usulan Nomor BA.08/PHAPKL/2/PSL.1/8/2020 tertanggal 30 Agustus 2020, area yang dapat ditetapkan sebagai hutan adat seluas 6.129 hektar. Ia berada pada kawasan hutan negara seluas 4.061 hektar dan areal penggunaan lain (APL) seluas 2.068 hektar.

 

Baca juga: Akhirnya Masyarakat Pandumaan Sipituhuta Dapatkan Hutan Adat Mereka

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan keputusan Menteri LHK SK.307 tertanggal 28 Juni 2020 ditetapkan perubahan kedelapan atas keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTSII/1992 tertanggal 1 Juni 1992 tentang pemberian hak pengusahaan hutan tanaman industri kepada PT Inti Indo Rayon, sekarang TPL. Dari luas usulan hutan adat 6.129 hektar itu, sekitar 93,85 hektar masuk konsesi TPL, sisanya 6.035, 15 hektar tak terbebani izin.

Bedasarkan peta lampiran keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor SK.307 tertanggal 28 Juli 2020, area hutan produksi seluas 3.967,15 hektar itu sudah teralokasi untuk mendukung ketahanan pangan seluas 2.051,22 hektar.

Singkat kata, penetapan hutan adat Pandumaan Sipituhuta pun hanya seluas 2.393,83 hektar terdiri dari 1.915,93 hektar di hutan produksi tetap, di luar areal buat mendukung ketahanan pangan dan 477,90 hektar di APL. APL ini berupa hutan sekunder seluas 47,3 hektar, semak belukar 430,6 hektar.

 

Bupati tak tahu, mau bentuk tim

Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor terkejut ketika mendapat penjelasan dari masyarakat hukum adat yang menemui kalau luas hutan adat pada keputusan penetapan berbeda dengan putusan usulan.

Menurut dia, dalam pengajuan hutan adat Pandumaan Sipituhuta tidak ada areal jadi food estate karena lokasi berada di wilayah lain. Dia merasa aneh kalau dalam putusan menteri 30 Desember 2020 ternyata ada 2.000 an hektar hutan adat akan jadi food estate.

Bupati lalu mengambil telefon genggam dan menghubungi Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto. Melalui komunikasi telepon Bambang menyatakan apa yang sudah diputuskan itu berdasarkan hasil verifikasi dari tim di sana. Food estate, katanya, tak ada pada tegakan pohon kemenyan.

 

Dokumen: Penetapan Hutan Adat Tombak Haminjon

Para perempuan adat Pandumaan-Sipituhuta di sela menyadap kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Dosmar bilang, segera ke Jakarta untuk menemui KLHK mempertanyakan keputusan ini dan menyampaikan protes masyarakat Pandumaan Sipituhuta. Dia memerintahkan dalam waktu dekat mengecek kembali ke lapangan areal yang masuk dalam food estate, apakah berada di hutan Pandumaan Sipituhuta.

“Akan dibentuk tim kecil untuk melihat peta lokasi di mana food estate akan berjalan, apakah benar berada di dalam kawasan hutan hukum adat Pandumaan Sipituhuta atau tidak. Saya akan menyampaikan protes masyarakat adat ini ke pemerintah pusat.”

Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengatakan, dengan penetapan luas hutan adat Pandumaan Sipituhuta pada 30 Desember 2020, hutan adat berkurang jauh. SK penetapan hutan adat ini, katanya, sangat mengecewakan sekali apalagi separuh lebih jadi food estate. Dia mempertanyakan, dasar KLHK ‘menyunat’ hutan adat Pandumaan Sipituhuta.

Pada 2016, Presiden Jokowi mengeluarkan hutan adat Pandumaan Sipituhuta dari konsesi dari PT Toba Pulp Lestari (TPL) seluas 5.172 hektar. Pada 2019, keluar Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta ditandatangani Bupati Humbang Hasundutan.

Dengan begitu, perjuangan warga sejak 2009, penyerahan SK presiden mengenai adendum kelima, berita verifikasi tim yang dibentuk KLHK sia-sia. “Itu semua tidak ada gunanya kalau KLHK hanya memutuskan 2.393 hektar jadi hutan adat Pandumaan Sipituhuta.” Terlebih sekitar 2.051 hektar buat food estate tanpa sepengetahuan masyaralat adat.

Delia melihat ada proses yang janggal karena banyak sekali yang diabaikan , seperti SK adendum kelima dan hanya mempertimbangkan adendum kedelapan tanpa melihat keputusan Bupati Humbang Hasundutan yang sudah mengeluarkan SK pengakuan terhadap hutan adat Pandumaan Sipituhuta.

“Ini kejanggalan yang harus diluruskan. Dalam waktu dekat akan menyurati Presiden Jokowi dan protes kepada KLHK.”

 

Dosmar Banjarnahor, Bupati Humbahas. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Bicara food estate, katanya, di hutan adat Pandumaan Sipituhuta berdiri tegakan pohon kemenyan cukup banyak. Kalau sampai itu berubah jadi food estate tanaman holtikultura , katanya, betapa banyak tutupan hutan hilang dan warga harus beralih tanaman. Kondisi ini, katanya, otomatis akan merusak ruang kelola hidup masyarakat.

Seharusnya, kata Delima, biarkan masyarakat mengelola dan menyusun sendiri tata ruang wilayah adat mereka.

Tanah di Tano Batak ini, katanya, ada pemiliknya. Tanah adalah marga-marga, marga adalah tanah. Marga-marga itu ada justru karena ada tanah jadi tidak ada satupun tanah di Tano Batak terutama Batak Toba. Jadi, katanya, kalau pemerintah ingin membuat food estate di Tano Batak harus meminta izin kepada pemilik adat, bukan langsung menunjuk langsung lokasi seolah-olah tanah itu tidak bertuan.

Masyarakat adat Panduman Sipituhuta, kata Delima, selama belasan generasi selalu mempertahankan tanaman kemenyan yang dianggap sebagai sumber kehidupaan. Atas dasar itu, mereka menolak perubahan ke tanaman lain.

Ketika pemerintah memberikan izin TPL, katanya, masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta menolak. Pecah konflik, sampai tokoh dan warga adat alami kriminalisasi

Data Bupati Humbang Hasundutan mengatakan, perputaran bisnis kemenyan di kabupaten ini pertahun bisa Rp200 miliar. Angka ini, katanya, tak kecil hingga pemerintah daerah akan bikin perusahaan daerah buat kelola ini.

Dosmar mengatakan, sejalan dengan perancangan perusahaan daerah yang menangani bisnis kemenyan ini, mereka juga pendataan berapa banyak petani, pohon kemenyan dan berapa banyak kepala keluarga yang fokus dalam bisnis kemenyan. Termasuklah, berapa luas lahan petani kemenyan. “Ini tengah pendataan.”

“Saat ini, kita mendukung peningkatan ekonomi para petani kemenyan di Humbang Hasundutan, salah satu bentuk penyusunan peraturan daerah bagaimana konsep pembentukan perusahaan daerah ini.”

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, luas tanaman dan produksi kemenyan yang masuk dalam perkebunan rakyat ini, pada 2010 seluas 33.916,85 hektar, dengan produksi 4.730,38 ton.

Untuk 2011, luas tanaman kemenyan menyusut 23.017,42 hektar, produksi 4.978, 48 ton. Pada 2017, luas tanaman kemenyan 22.912,13 hektar, dengan total produksi 6.177,036 ton.

 

    ******

Sandra Moniaga, Komoisioner Komnas HAM (berbaju warna gelap) pada 2017. Dia bersama warga adat Pandumaan Sipituhuta,  tak lama setelah presiden mengumumkan, masyarakat adat peroleh pencadangan hutan adat seluas lebih 5.000 hektar pada 2016. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version