Mongabay.co.id

Pesona Arangangia Gowa, dari Taman Herbal hingga Tradisi Sungai

 

Tempat itu bernama Arangangia. Sebuah ‘surga kecil’ di Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dikelilingi sungai dan pegunungan, tempat dimana siang selalu datang terlambat karena udaranya yang dingin.

Arangangia sendiri berarti sebuah tempat di dekat sungai, karena berada di delta sungai Tangngara. Sungai berbatuan ini dikelilingi pepohonan yang mungkin telah berusia ratusan tahun. Suara aliran sungai terdengar keras setiap saat. Pemandangan sekitar sangat indah dan alami.

Sungai Tangngara yang tak pernah kering bermuara di gunung Bawakaraeng, melintasi sejumlah desa, mulai dari Kanreapia, Tonasa, Tamauna, Pao, Tabbinjai dan beberapa desa di Kabupaten Sinjai, menjadi sumber mata air bagi ratusan hektar sawah.

Kalau dulunya Arangangia hanya hamparan gembalaan kambing, namun lokasi seluas 40 are ini sejak Desember 2019 diubah menjadi taman herbal. Di dalamnya terdapat sejumlah bangunan yang terbuat dari bambu. Terdapat pula taman dibuat berpetak-petak, yang ditanami beragam tanam obat yang diperoleh dari berbagai desa sekitar.

Muhlis Paraja, Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Gowa, yang merupakan penggagas pembangunan tempat ini menjelaskan bahwa pembangunan taman herbal Arangangia adalah bagian dari gerakan pulang kampung bagi generasi muda untuk membangun desa, yang digagas oleh AMAN pusat.

“Ini gerakan pulang kampung bagi generasi muda dalam pelestarian obat tradisional. Anak muda yang di kota diajak kembali ke desa untuk membangun kampung serta mengenali pengetahuan-pengetahuan lokal terkait meramu obat-obatan,” ungkap Muhlis kepada Mongabay awal Januari 2021 lalu.

baca : Piknik Asyik sambil Belajar Bertani di Sawahku

 

Arangangia yang berada di tepian sungai Tangngara adalah ‘surga kecil’ dengan taman herbal di dalamnya. Selain suasana yang teduh juga memiliki pemandangan alam yang indah. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Di awal program, generasi muda berjumlah sekitar 100 orang dari sejumlah komunitas adat di Kabupaten Gowa, yang dibagi menjadi beberapa kelompok melakukan identifikasi dukun-dukun peramu obat yang disebut sanro di lereng-lereng gunung. Mereka melakukan wawancara untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dan kemudian membawa jenis tanamannya ke Arangangia. Informasi tanaman-tanaman obat tersebut ditulis yang akan diterbitkan dalam bentuk buku.

“Ada sekitar 40 sanro yang didatangi yang tersebar di dataran tinggi Gowa di tiga kecamatan, Tombolo Pao, Parigi dan Tinggi Moncong, yang termasuk anggota AMAN,” tambah Muhlis.

Menurut Muhlis, dari hasil identifikasi ini mereka berhasil mengumpulkan sekitar 100 jenis tanaman. Beberapa di antaranya umum dikenal seperti bunga putri malu, ciplukan dan tapak kuda. Ada juga jenis tanaman yang hanya diketahui dari nama lokalnya, seperti ribanri-banri, kaddoro buku, daun miana, beberapa jenis ilalang, raung kaju lotong atau daun merah, raung tobotobo dan raung tarum dan lainnya.

“Tanaman yang paling banyak populer itu misalnya raung kaju lotong atau daun merah, raung tobotobo dan raung tarum. Ketiga jenis ini ada tiap halaman masyarakat karena mereka meyakini bahwa di tengah malam ketika ada yang sakit kepala, sakit perut dan kejang-kejang, ketiga daun ini paling ampuh semacam P3K dengan cara mencampurkan ketiga tanaman ini diberi air lalu dilulurkan ke seluruh badan,” katanya.

Tanaman yang memiliki khasiat tinggi adalah banri-banri biasa digunakan untuk mengobati kanker rahim dan kanker payudara. Dalam penggunaannya tanaman ini dicampur dengan tanaman lain yaitu daun baralala lompo.

“Puluhan orang sudah disembuhkan dengan daun ini. Daun ini direndam diminum dan dibasuhkah ke dubur atau saluran kencing perempuan. Perempuan yang sudah melahirkan rentan terkena penyakit ini, sudah banyak korban.”

Ada juga tanaman yang dikenal dengan nama lokal pia-pia yang digunakan untuk memperlancar air susu ibu, serta tanaman lain yang terkait tenggorokan seperti jeruk purut dan bikkuere tedong. Untuk mengobati demam menggunakan daun paria yang dibalur ke seluruh tubuh.

“Untuk melegakan tenggorokan bisa meminum bikkuere tedong, sementara meredakan panas dalam pohon panasa. Batang pohon panasa (nangka) ditumbuk dan diminum airnya.”

baca juga : Sasi, Etika Lingkungan dan Toleransi Satu Bumi Kesultanan Bacan

 

Muhlis Paraja bersama pemuda adat dari berbagai komunitas adat di Gowa membangun tempat ini sejak Desember 2019. Memiliki sekitar 100-an koleksi tanaman obat yang diperoleh dari berbagai tempat dataran tinggi di Kabupaten Gowa. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Beberapa jenis tanaman ini banyak digunakan di masa pandemi COVID-19, karena umumnya warga takut berobat ke dokter.

“Pandemi membuat warga kembali ke pengobatan alami, menggunakan bahan tanaman yang ada di sekitar. Mereka takut ke dokter sehingga lebih banyak menggunakan ramuan-ramuan ini. Kalaupun ke puskesmas hanya bagi yang melahirkan atau luka terbuka, penyakit lain tak mau, memilih pengobatan tradisional.”

Menurut Muhlis, tanaman obat-obatan ini dikumpulkan di Arangangia sifatnya hanya titipan yang perawatannya dibebankan pada pengelola kawasan.

“Namanya titipan maka pemiliknya bisa datang kapan saja untuk mengambil ketika butuh, untuk diramu menjadi obat. Ditempatkan di sini juga sebagai bahan ajar bagi tamu yang datang. Model edukasinya, ketika ada orang kita jelaskan ke tamu. Nanti kita akan pasang plang nama dan papan informasi tentang cara meramu dan khasiatnya,” jelas Muhlis.

Tidak hanya untuk taman herbal, Arangangia juga difungsikan sebagai edukasi terkait ketahanan pangan.

“Kita juga punya tiga kolam ikan dan ada juga jenis sayur-sayuran, untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa pangan itu sederhana dan tergantung niat kita untuk bekerja. Kebutuhan pangan bisa dipenuhi secara gampang memanfaatkan lahan sempit sekitar rumah. Bisa bikin kolam ikan atau nanam ubi kayu, ubi talas, labu siam, lainnya serta beternak ayam.”

Untuk membangun tempat ini, Muhlis mendapat anggaran stimulan dari program tenurial facility AMAN, namun sebagian besar berasal dari swadaya masyarakat.

“Memang ada dukungan anggaran lebih banyak gotong royong. Anggaran hanya sebagai stimulan untuk membiayai gerakan pulang kampung bagi anak muda. Warga menyumbang tenaga dan bahan material seperti bambu, kayu dan lain-lain.”

Arangangia sendiri mulai dikenal luas masyarakat dan sempat menjadi lokasi viral di media sosial karena keindahannya. Beberapa komunitas telah memanfaatkan lokasi ini untuk berkegiatan out door, diskusi, pelatihan, dll.

“Kita ingin jadikan tempat wisata namun pengunjung akan dibatasi, mungkin dalam seminggu hanya dua kali kunjungan dengan sistem daftar. Harus mendaftar agar tidak membludak dan rusak.”

baca juga : Konservasi dan Ekowisata Kakatua Jambul Kuning di Pulau Masakambing

 

Sungai Tangngara memiliki tradisi sungai berupa penangkapan ikan secara gotong royong dari warga adat sekitar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Arangangia juga diharapkan bisa menjadi rumah sehat untuk pengobatan tradisional, namun tetap melibatkan aparat medis di dalamnya.

“Kami bisa disebut herbalis, yang akan melakukan pengobatan gratis bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal, namun tetap didampingi secara medis menjaga sterilnya obat, karena terkadang peramu menggunakan ludah yang malah berpotensi menularkan penyakit tertentu.”

 

Tradisi Sungai

Keunikan lain dari Arangangia ini adalah menjadi lokasi tradisi sungai berupa penangkapan ikan secara gotong royong bagi komunitas adat Patalassang, dikenal dengan tradisi Pappalempanganna Toceilea.

Dalam tradisi ini warga rumpun Pao dan Ceilea berkumpul untuk pesta menangkap ikan, dimana sungai dikeringkan sebelum turun untuk menangkap ikan secara gotong royong.

“Tradisi ini masih berlangsung hingga sekarang, biasanya di puncak kemarau bulan sembilan atau sepuluh. Hanya saja pada 2020 lalu tidak dilakukan karena kemarau tak terlalu.

Tradisi ini melalui sebuah proses yang panjang, mulai dari ritual pendahuluan hingga pelaksanaan kegiatan. Sungai akan dikeringkan secara gotong royong. Ikan hasil tangkapan akan diberikan kepada ketua adat yang nantinya akan dibagikan secara rata kepada warga. Beberapa jenis ikan yang banyak ditemukan adalah ikan mas, udang, piri, masapi.

 

Exit mobile version