Mongabay.co.id

Siong, Cincau Hitam dari Pegunungan Bastem

 

 

 

 

Pada Desember 2020, warga Kecamatan Basse Sangtempe (Bastem) Utara, Luwu, Sulawesi Selatan, sedang gundah. Mereka marah dan meminta pemerintah menghentikan rencana pertambangan emas di sana. Pertemuan di Kecamatan Bua, untuk membahas mengenai rancangan analasis mengenai dampak lingkungan (amdal) berakhir nihil.

Kehidupan di Bastem saat ini sudah begitu nyaman. Warga hanya perlu akses jalan agar produk pertanian mudah tersalur. Salah satu tanaman primadona wilayah ini adalah rumput siong.

“Banyak di pinggir jalan. Pasti ada banyak dilewati. Cuman tidak tahu saja, makanya terlewat,” kata Syukur Pakulu, Ketua Badan Pemberdayaan Desa (BPD) Desa Tede.

Kabut mulai turun menuju lembah. Syukur mengajak saya berkeliling kampung dengan motor. Angin menembus jaket, menusuk tulang. Kami melewati pemakaman keluarga. Di sela-sela setapak dan nisan, dia menunjukkan rumput siong itu.

“Ini. Ini memang tumbuhan liar di kampung. Dulu, kalau orangtua mau ambil banyak, mereka ke pinggiran-pinggiran hutan. Ada banyak di lereng-lereng jurang itu,” katanya.

Platostoma palustre (Blume) begitu nama ilmiahnya, juga disebut cincau hitam. Di Bastem, tanaman ini tumbuh tanpa nama lokal. Beberapa orang kampung mengenal hanya dengan nama siong. Kini, rumput itu jadi primadona. Setiap kilogram seharga Rp17.000.

Budidaya tanaman ini mudah. Tumbuh di semua tempat, samping rumah, lereng, bawah tanaman kakao, bahkan di sela tanaman cengkih. Tanaman liar, ia tumbuh sesuka hati.

 

Rumput siong, atau cincau hitam ada yang mulai budidaya, sebagian tumbuh liar. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Sebelum rumput siong ini bernilai ekonomi, masyarakat Bastem pakai sebagai pakan tambahan babi. Rumput itu dipetik beberapa batang, lalu masak dengan air. Setelah beberapa lama dibiarkan dingin, masakan rumput itu akan mengeras seperti puding. “Jadi kalau seperti itu, nanti dicampur dengan makanan Babi,” kata Sada. “Jadi babi cepat kenyang.”

Sada, lelaki 45 tahun ini petani di Bastem yang budidaya rumput siong di sela kakao dan cengkih. Di bawah kolong rumah, sekitar 30 kg rumput siong kering menumpuk siap jual. Di lahan lain, dia baru siap menanam.

Bagi dia, menanam rumput siong adalah berkah dan penghasilan tambahan yang sangat menggiurkan. Sekali tanam, hanya membutuhkan empat bulan untuk masa panen. Saat panen, rumput tak dicabut hanya menggunting atau memotong bagian batang bawah. Dari sisa batang, rumput kembali bertunas.

Tunas kedua rumput ini, bahkan lebih cepat panen, hanya sekitar tiga bulan. “Jadi, sekali tanam, rumput bisa panen sampai tiga kali. Ada teman bahkan sampai empat kali,” katanya.

 

Proses pengepakan siong kering siap dipasarkan di Desa Tede. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Bibit rumput pun diambil dari anakan tanaman yang tumbuh. “Nah jika mau sabar, bisa pakai bunga rumput itu. Diambil yang tua, terus hamburkan. Beberapa minggu akan tumbuh, pasti.”

Rumput siong, bisa tumbuh hingga setengah atau satu meter. Bunga berwarna ungu bercampur putih. Batang memiliki ruas dan keras. Kalau memetik daun rumput ini dan menggulung dengan telapak tangan hingga hancur, cairan berubah lengket dan kental.

Sada, ingat betul, ketika dia masih belia, bersama orangtuanya, rumput yang sudah dikeringkan dipikul menuju Kota Palopo. Saat kemarau, akan ditempuh selama seharian. Pada musim hujan bisa dua hari. “Waktu itu, harganya Rp150 per kilogram. Terus naik lagi jadi Rp700, lalu naik beberapa ribu. Sekarang sudah sampai Rp17.000,” katanya.

 

Siong atau bahan cincau hitam kering siap kemas. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Anugerah negeri

“Ini rumput anugerah. Saya kira begitu. Karena nda ada di tempat lain. Atau orang belum kembangkan,” kata Sada.

Akhirnya, ketika siong ini menembus pasar-pasar di luar Bastem, dan kembali lagi menjadi olahan makanan, orang mengenalnya dengan nama cincau.

Pada November 2020, Balai Karantina Pertanian Pare-pare meloloskan dokumen karantina 8.924 ton cincau kering untuk ekspor ke Hong Kong. Pada 25 November 2020, sebanyak tujuh kali daun cincau kering dari Palopo dan Toraja dengan total 58.715 ton terkirim ke luar negeri.

Ironisnya, pembuatan makanan jeli cincau yang begitu laris saat Ramadhan dan menjadi pelengkap beberapa minuman, industrinya tidak ditemukan di Luwu dan Palopo. Di Bastem Utara, dalam wilayah administrasi Kabupaten Luwu, siong hanya menjadi buah bibir di pegunungan itu saja.

 

Pross pengepakan siong atau cincau hitam di Desa Tede. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Di Belopa, pusat utama kabupaten, saya bertanya pada beberapa orang dan pelaku pertanian. Mereka tak seorang pun yang tahu mengenai siong. Itu berbeda dengan tanaman berumbi yang saat ini tren, yakni porang.

“Kalau orang dari dulu tahu soal siong, saya kira pemerintah akan cari tahu dan mengajari masyarakat bagaimana sebaiknya tanaman ini diperlakukan,” kata Sada.

Malam sebelum bertemu Sada, di salah satu rumah penduduk, ada sembilan petani paruh baya sedang menikmati tuak untuk menghangatkan badan di sela udara dingin. Mereka sepakat, rumput siong adalah tanaman terbaik saat ini.

Di Bastem Utara, saya melihat rumput siong belum dikembangkan begitu baik. Di Jawa, tanaman cincau ini dikenal dengan nama janggelan atau kepleng. Tumbuh baik di daerah ketinggian dan beriklim dingin, serta memiliki curah hujan tinggi. Beberapa video di kanal Youtube menampilkan, budidaya tanaman ini secara masif dengan bedengan tanah dan sistem terasaring.

Di Bastem Utara, terutama Desa Tede, petani-petani mengembangkan secara tradisional. Mereka menanam di sela tanaman perdu, dibersihkan sesekali dari rumput dan dibiarkan bertumbuh hingga masa panen. “Saya dengar, orang kirim ke luar negeri ini rumput siong. Katanya jadi makanan di sana. Nda tahu, juga. Itu yang didengar,” kata Sada.

“Kalau bisa dimakan, berarti ini sehat, karena kami tidak dipupuk. Alami betul.”

 

 

*****

Sada, petani Desa Tede, berdiri di depan hamparan tanaman siong atau cincau hitam yang siap panen. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version