Mongabay.co.id

Kecemasan Penyintas karena Mitigasi Bencana Tak Tuntas

 

Sadar menetap di lokasi bencana bisa bikin orang-orang murung. Realitas hidup di kawasan rawan bencana memang tak pernah mudah. Begitupun sekedar bertahan maupun untuk pindah sama saja susah. Alam kerap menunjukan dua sisi muka antoginistik. Ramah tapi penuh mara bahaya. Tetapi, bencana selalu terjadi karena ulah manusia. Alam hanya berlaku sebagaimana hukumnya.

Baru kali ini, Atin (65) cemas memandang mendung menggantung di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Nyaris seminggu, ia bersama 143 kepala keluarga lainnya mengungsi akibat banjir bandang.

Atin mungkin keliru. Merasa aman sejak tinggal dan menetap tahun 1970, ternyata bandang nyaris menyapu rumahnya yang berjarak 10 meter dari sungai yang bermuara ke Ciliwung tersebut.

“Kalau sudah begini agaknya was-was,” katanya saat ditemui Sabtu (23/1/2020) lalu.

baca : Ratusan Bencana di Awal Tahun Penanda Krisis Lingkungan Hidup

 

Kondisi pasca banjir bandang di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bencana tersebut memaksa 143 kepala keluarga lainnya mengungsi. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Umur tahun 2021 belum genap 30 hari. Akan tetapi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah mencatat 185 bencana yang terjadi. Bencana hidrometeorologi masih mendominasi. Rinciannya, sebanyak 127 bencana banjir, 30 bencana tanah longsor, 21 kejadian puting beliung, 5 peristiwa gelombang pasang, serta 2 bencana gempa bumi. Bencana itu turut mengakibatkan 91 jiwa meninggal dunia karena gempa bumi, 41 orang meninggal dunia karena tanah longsor, serta 34 orang meninggal dunia karena banjir.

Agaknya, para penyintas perlu pendampingan terus-menerus pasca bencana. Tak hanya soal hunian layak, tetapi juga bakal hidup seperti apa kelak.

Di Kabupaten Sumedang, gundah belum beranjak di kepala Ati (28). Ia dan 267 keluarga lainnya di Kampung Bojong Kondang menunggu penentuan nasib mereka setelah longsor meluluhlantakan segalanya. Padahal, Ati dan suami baru saja menyelesaikan rumah itu setelah panen keringat selama 6 tahun.

“Saya tidak ingin asal pindah,” imbuhnya. Ingatan Ati tentang kejadian yang menelan 40 korban jiwa itu membuatnya trauma.

Rencananya, Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir bakal mempertimbangkan kajian geologi di beberapa kampung Desa Cimanggung tak layak untuk dijadikan pemukiman. Ia menegaskan telah menyiapkan dana Rp6 miliar, “Dari total Rp200 miliar yang dibutuhkan merelokasi rumah. Namun, lokasinya masih dalam tahap kajian.”

baca juga : Bencana Ekologis Makin Parah, Momentum Proposal Ekosida

 

Suasana pemukiman yang terlihat di kawasan lereng perbukitan, di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (11/1/2021). Pemerintah Kabupaten Sumedang berencana melakukan pengkajian ulang terkait perizinan permukiman di kawasan perbukitan karena masuk dalam kondisi menengah-tinggi potensi pergerakan tanah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Luka dan malu

Entah, musim hujan masih dianggap mimpi buruk bagi sebagian warga di Jawa Barat. Bagi mereka yang tak punya cukup bekal ilmu pengetahuan mencoba beradaptasi dengan cara apapun untuk setidaknya memitigasi dampaknya.

Bukan perkara mudah bagi para penyintas banjir untuk bertahan hidup sembari menanggung luka dan malu yang sama selama puluhan tahun. Yudi Cahyadi (52), warga Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, setengah marah dengan kondisi itu. Setengahnya lagi, ia berkompromi. Ia tahu banjir bukan semata salah hujan. Mungkin juga akibat gunung yang ‘telanjang’.

Yudi pun mengambil keputusan yang menurutnya realistis. Menetap di atap rumah jika banjir datang. Memanfaatkan ruang antara langit-langit 4×3 meter dijadikan sebagai tempat evakuasi sementara keluarga.

“Di loteng ini kami merasa nyaman ketimbang di pengungsian,” ujar Yudi. Biasanya Yudi sering memboyong keluarganya numpang tinggal ke rumah kerabat selama banjir, “Malu juga terus-terusan begitu sudah tak tahan jadi pengungsi.”

Yudi sering ingin pindah. Siapa mau hidup berlinang banjir. Akan tetapi, saku di celana yang diisi dari peluh sebagai juru parkir memaksanya berdamai dengan kenyataan. Ia menyadari, tinggal di loteng saat banjir tidak sepenuhnya aman. Pengap, rupek atau ambruk akibat tembok yang melapuk jelas bukanlah hal sepele. Tapi bagaimana lagi untuk bisa bertahan? Yudi bertanya balik.

perlu dibaca : Lima Strategi Penanganan Bencana di Masa Pandemi COVID-19, Apa Saja?

 

Yudi Cahyadi (52) menunjukan loteng yang dijadikan tempat mengungsi saat banjir di Baleendah, Kabupaten Bandung. Sebagian warga memilih merubah atap rumah ketimbang mengungsi ketika musim penghujan tiba. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kritisnya Ekologi

Agaknya, praktik pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi telah membawa pada bunuh diri ekologi. Daya dukung lingkungan terlampaui, ditandai dengan tren peningkatan intensitas dan skala bencana. Salah satu indikasi bahwa rentetan bencana hidrologis ini akibat daerah aliran sungai (DAS) kritis. Meski curah hujan saat ini relatif normal. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan saat ini berada di bawah nilai klimatologis atau nilai rata-rata dalam 30 tahun terakhir.

Di sisi lain, terus bertambahnya lahan kritis di Pulau Jawa yang kondisi ekologinya telah mencapai fase kritis. Itu tampak pada tren pembangunan saat ini mengabaikan daya dukung lingkungan, bahkan cenderung kian destruktif mengokupasi lahan. Itu seperti menegasikan posisi lingkungan. Padahal, di dalam lingkungan ada manusia.

Celakanya lagi informasi tentang lingkungan, semisal, lahan berhutan begitu sulit lacak. Di Jabar, hanya peraturan gubernur yang menyebut luasan hutan mencapai 816.603 hektar atau 22,01 persen dari luas wilayahnya. Data itupun nyaris tak ada pembaharuan selama 17 tahun. Padahal Badan Pusat Statistik Jabar mencatat pertumbuhan penduduk sebesar 9.72 persen atau 4.8 juta jiwa dimulai dari 2014 hingga 2020.

Ketua Pusat Unggulan Iptek Sains dan Teknologi Kegempaan Institut Teknologi Bandung Irwan Meilano berpendapat, pengabaian terhadap bencana bisa jadi bom waktu di kemudian hari. Tata guna lahan dipaksakan, hak ruang hidup diterabas tanpa hitung-hitungan yang kompatibel patut mengundang skeptis.

baca juga : Catatan Awal Tahun: Antisipasi dan Kesadaran Hidup di Negeri Rawan Bencana

 

Kondisi pasca banjir bandang di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bencana tersebut memaksa 143 kepala keluarga lainnya mengungsi. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Gunung dibelah untuk membuka jalan guna menggenapkan target produksi. Embung diratakan demi lapak properti atau industri. Belum lagi Jabar yang industri manukfakturnya tumbuh lebih dari 60 persen. Namun, tak tersedianya layanan informasi secara periodik mengenai tutupan hutan maupun kondisi lingkungan di kanal informasi milik pemerintah, agaknya, melegalitimasi persoalan itu luput dari pengawasan.

“Alhasil, manusia masa kini juga memanen bencananya sendiri,” kata Irwan. Karena semua kejadian yang dikategorikan bencana alam itu sebenarnya selalu ada peran manusia. Meski ada pengaruh musim yang selalu menyeleweng dari kebiasaan akibat perubahan iklim.

Bagi Irwan, mitigasi bukan untuk dihapalkan. Melainkan bagaimana mitigasi bisa hidup sebagaimana kebutuhan. Untuk itu, argoritma pembangunan mesti menyesuaikan dengan potensi kerentanan bencananya. Pembangunan yang tepat bisa menjadi salah satu kunci mitigasi bencana yang ideal, katanya.

 

Mitigasi bukan prioritas

Irwan bersepakat kalau mitigasi selalu kalah penting daripada ekonomi. Menurutnya, mungkin juga karena riset belum menjadi dasar. Mencengangkan memang, selama ini banyak riset yang masih parsial.

“Boleh jadi otokritik juga bagi kami dimana masih riset sebatas di bidang keilmuan masing-masing,” terang Irwan. Seandainya saja itu bisa dipadukan guna meningkatkan dan mensejajarkan mutu mitigasi akan bagus, ekonomi tumbuh adalah dua hal yang dicita-citakan.

penting dibaca : Waktunya Mulai Mewaspadai Mega Bencana: Pandemi dan Banjir Puncak Musim Hujan

 

Petugas mengevakuasi korban banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. Foto : BNPB

 

Di Sumedang, Kepala BNPB, Doni Monardo mengamini realitas itu. Ia tak menginginkan peristiwa hidrometeorologis yang menimbulkan korban dan kerugian besar. Pengalaman bencana yang berulang seharusnya bisa membuat masyarakat lebih siap.

Saat ini, kata Doni, saatnya pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berani merevitalisasi lingkungan antara lain dengan mengembalikan fungsi alam. Kesiapsiagaan menghadapi bencana harus terus dilakukan dalam berbagai aspek. Hal itu mencakup penguatan manajemen mitigasi bencana, tata ruang berwawasan bencana, dan pembiayaan berkelanjutan.

“Itu jangka panjangnya,” kata mantan Pangdam III/Siliwangi itu.

Di tengah masalah lingkungan yang kompleks, kata Doni, sebenarnya kepedulian diukur dari sebuah pohon. Sebatang pohon ibarat catatan sejarah yang bisa mengisahkan tentang kondisi bumi. Dari pohon dapat berefleksi dan memperbaiki apa yang keliru dalam relasi manusia dengan alam. Menurut Doni, tantangan ke depan bukan melulu tentang becana, melainkan krisis air yang kini pelan-pelan nyata.

Sebagai ilustrasi, di hulu Citarum lahan kritis mencapai lebih dari 8.000 hektar. Dampaknya, jutaan manusia dibuat repot seumur hidup. Namun, sejak dua tahun lalu, melalui program Citarum Harum, lahan kritis itu mulai dihijaukan. Namun, pohon-pohon itu memerlukan waktu. Setidaknya perlu beberapa tahun untuk tumbuh sehingga dapat memperbaiki daya dukung lingkungan. Barangkali, selama tak ada perubahan lingkungan, orang-orang akan selalu murung.

 

Exit mobile version