Mongabay.co.id

Banjir dan Longsor di Kepulauan Riau, Pulau Kecil Rawan Kala Kelola Tak Peka Alam

Gubernur Kepri Isdianto saat meninjau jalan putus setelah kawasan ini diguyut hujan cukup lama. Ruas jalan tersebut diapit oleh kebut sawit perusahaan Tirta Madu, perusahaan yang memiliki luas sawit terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Sumber foto: Humas Pemprov Kepri

Gubernur Kepri Isdianto saat meninjau jalan putus setelah kawasan ini diguyut hujan cukup lama. Ruas jalan tersebut diapit oleh kebut sawit perusahaan Tirta Madu, perusahaan yang memiliki luas sawit terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Sumber foto: Humas Pemprov Kepri

 

 

 

 

Banjir yang melanda berbagai negeri ini tak hanya terjadi di pulau-pulau besar seperti di Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Sumatera maupun Papua. Di kepulauan atau pulau-pulau kecil juga sama terjadi banjir dan tanah longsor bahkan lebih parah kala musim hujan diikuti hantaman badai besar dan terjadi abrasi.

Pulau-pulau di Kepulauan Riau, antara lain, yang alami beragam masalah itu. Jalan rusak, rumah hancur terkena longsor maupun rumah-rumah hanyut dihantam ombak. Tata kelola lahan dan air yang buruk, menyebabkan bencana banjir dan longsor  di beberapa titik termasuk di perkebunan sawit.

Walhi Riau meminta pemerintah mempertimbangkan lingkungan, terutama tak membuka atau memberikan izin pembukaan kawasan hutan, apalagi di pulau-pulau kecil.

Pulau kecil, sangat berisiko kalau izin-izin ekstraktif pemerintah keluarkan, tak hanya banjir atau longsor bahkan pulau bisa hilang alias tenggelam.

Riko, warga Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau menceritakan, rumahnya jadi langganan banjir dari tahun ke tahun, tetapi 2021 banjir lebih parah. “Tahun ini, dua kali, hanya berselang satu minggu,” katanya kepada Mongabay, Minggu (31/1/21).

Riko mengatakan, selain curah hujan tinggi, drainase tak bagus juga penyebab banjir di perumahan itu. Setiap hujan dengan intensitas tinggi rumah warga terendam banjir. “Drainase rumah disini tidak tertata rapi,” katanya.

Bencana di Tanjungpinang dan Bintan, Basarnas pun turun tangan. Laporan kejadian ini berawal dari informasi masyarakat terdampak. Meskipun bencana hampir terjadi setiap awal tahun, tetapi evakuasi baru tahun ini.

Mu’min, Kepala Basarnas Tanjungpinang mengatakan, mereka mengevakuasi warga di 11 titik terdampak di Tanjungpinang dan Bintan sekitar 327 keluarga.

Baca juga: Kala Hutan Gundul, Pulau Lombok dan Sumbawa jadi Langganan Banjir

Masyarakat terdampak banjir dievakuasi di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, awal Januari 2021. Tanjungpinang, salah satu daerah terdampak banjir yang mencapai pinggang orang dewasa. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Longsor di area kebun sawit

Tak hanya banjir, juga terjadi longsor, seperti di Jalan Kebun Sawit Tirta Madu, Bintan, Kepri. Longsor menyebabkan jalan putus total.

Isdianto, Gubernur Kepri langsung meninjau jalan yang diapit perkebunan sawit itu. “Untuk jalan rusak, dari pemprov melalui Dinas Pekerjaan Umum akan bekerjasama dengan Pemerintah Bintan untuk perbaikan,” katanya saat meninjau lokasi belum lama ini.

Tidak hanya di Tanjungpinang dan Bintan, bencana banjir juga terjadi di Kota Batam dan bak jadi langganan. Bahkan beberapa wilayah di Batam, bisa banjir ketika hujan lebat walau berlangsung hanya beberapa jam. Begitu juga di daerah kepulauan lain, seperti Kabupaten Karimun, Lingga dan lain-lain.

Angin kuat juga menghanyutkan beberapa rumah di Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam, Kepri. Dalam rilis Pemerintah Kepri, tercatat 23 rumah rusak tersapu gelombang kuat, Jumat, (1/1/21). “Kita sangat terkejut mendengar kabar itu. Musibah ini terjadi karena faktor cuaca ekstrem,” katanya, awal Januari.

Prakirawan Badan Meteorologi Kimia dan Geologi (BMKG) Hang Nadim Kota Batam, Fitri Annisa mengatakan, Kepri di awal tahun selalu hujan dan angin kencang. Pasalnya, di musim itu terjadi angin Utara-Timur laut. “Kalau tahun 2021 ini, kita mencatat angin rata-rata ebih 10 knots.”

Kalangan pegiat lingkungan hidup menilai bencana terjadi dipicu kerusakan lingkungan hidup. Andiko Mancayo, aktivis lingkungan di Kota Batam mengatakan, kabupaten maupun kota di Kepulauan Riau, harus membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). “Setelah itu, dipulihkan lagi daerah tangkapan air yang rusak selama ini,” katanya kepada Mongabay.

 

Baca juga: Tak Hanya soal Cuaca, Banjir Parah Kaliamantan Selatan karena Alam Rusak

Gubernur Kepri Isdianto saat meninjau jalan putus setelah kawasan ini longsor. Ruas jalan ini diapit oleh kebun sawit Tirta Madu, perusahaan sawit terbesar di Kepulauan Riau. Sumber foto: Humas Pemprov Kepri

 

Selama ini, katanya, tatanan lingkungan di kepulauan lebih berdasarkan kepentingan ekonomi. Belum terdapat kajian jelas atau program pemerintah dalam mengatasi bencana ini setiap tahunnya.

“Kepulauan memerlukan daya dukung lingkungan, jangan sampai dana pemerintah daerah habis untuk bantuan bencana, antisipasi jangka panjang harus diperhatikan.”

Dia mengatakan, bencana terjadi dampak tata ruang tidak tertata baik, atau pembangunan tak sesuai tata ruang. “Bagi pemerintah aspek lingkungan dalam pembangunan masih dimarjinalkan. Mereka lebih mengutamakan aspek ekonomi, apalagi Kepri daerah perdagangan internasional,” kata Andiko.

Andiko meminta, pemerintah serius mengantisipasi bencana, dengan mengkaji atau membuat KLHS dan mengevaluasi tata ruang.

Dia juga mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati mengeluarkan izin baru perkebunan sawit. “Kalau hanya menunggu mengatasi bencana musiman ini tanpa solusi, duit pemerintah akan habis untuk itu, kita harus melakukan adaptasi perubahan iklim, perbaiki standar lingkungan,” katanya.

Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengatakan, bencana akhir tahun ini mulai dari banjir, tanah longsor termasuk bencana ekologis. Bencana ini, katanya, ada campur tangan manusia hingga menyebabkan kerusakan alam.

“Kecuali gempa bumi, gunung meletus, itu murni bencana alam,” katanya.

Dia bilang, secara umum bencana seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai daerah termasuk Kota Tanjungpinang karena pembangunan ekonomi tidak memperhatikan lingkungan.

“Pemerintah lebih mengutamakan aspek ekonomi, bukan aspek lingkungan hidup.”

Praktik itu, katanya, menyebabkan ketika musim hujan banjir, begitu juga sebaliknya saat kemarau kekeringan. “Pemerintah sebenarnya sudah tau alam ini sudah salah urus hingga tidak ada lagi kesimbangan. Sayangnya, tidak dilakukan pembenahan serius,” kata Riko.

Kalau pemerintah hanya penanganan jangka pendek saat ada bencana, katanya, sangat bahaya bagi masa depan. “Ini akan jadi bom waktu, seperti sekarang, setiap awal tahun terjadi bencana.”

Bumi, katanya, menghadapi krisis iklim. Beberapa faktor penyebab krisis iklim antara lain pembangunan yang melepas emisi begitu besar seperti pertambangan batubara, alih fungsi lahan/hutan, pembangkit batubara sampai transportasi.

 

Baca: Aceh Banjir Lagi, Rusaknya Hutan Masih Jadi Sorotan

Salah satu rumah warga yang mengalami longsor di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, awal tahun 2021. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Indonesia, katanya, melakukan berbagai upaya perbaikan tata kelola yang bisa mendukung upaya tekan emisi, seperti kebijakan Inpres Moratorium Izin Sawit. Lewat kebijakan ini, ada amanat evaluasi perizinan kalau ada pelanggaran atau tidak terurus.

“Misal, izin konsesi besar di pulau-pulau itu harus dibenahi. Pembenahan itu yang tidak pernah serius. Sawit ilegal tidak kunjung diperbaiki,” katanya.

Sayangnya, implementasi kebijakan minim. Riko menilai, pemerintah ragu mengambil keputusan karena ada ambisi pertumbuhan ekonomi, padahal seharusnya lingkungan hidup harus jadi perhatian. “Terlihat psikologi pemerintah, ambisi menjadi negara kaya sangat tinggi, pemerintah ingin negara maju dan kaya, tetapi langkah menuju dengan ekstraksi atau perusakan alam.”

Riko bilang, ekonomi penting tetapi tidak dari merusak alam. Kalau alam rusak, kembali rakyat yang menanggung risiko dan kerugian. Kalau pemerintah mementingkan aspek lingkungan, katanya, pertumbuhan ekonomi tak dari merusak alam.

“Pemerintah pusat harus berani memastikan itu, walaupun jargon pemerintah menjaga lingkungan tetapi di lapangan tidak terlihat.”

Bahkan, kata Riko, aturan yang dibuat pemerintah berpotensi makin memperburuk kondisi lingkungan hidup. Dia contohkan, omnibus law atau UU Cipta Kerja, dinilai lebih banyak menguntungkan pemodal ekstraktif, properti, dan infrastruktur.

“Izin tambang masih banyak dikeluarkan, pengambilan batubara meningkat, pembangunan pariwisata yang merusak lingkungan, serta industri sawit masih tinggi,” katanya.

Meskipun pemerintah menganggap sektor tambang, perkebunan, properti sebagai penyumbang pendapatan terbesar, katanya, kerja mereka menimbulkan jejak emisi besar.

Selain itu, Riko mengingatkan, dalam menghadapi bencana, pemerintah, tidak bisa terus-menerus menyalahkan curah hujan tinggi. Padahal, pemerintah tahu ada masalah lingkungan di sana, seperti mangrove hilang, hutan terus berkurang, maupun drainase buruk dan lain-lain.

“Curah hujan tinggi memperburuk kondisi, karena alam tidak bisa menampung lagi, terjadi bencana.”

 


 

*****

Foto utama:  Gubernur Kepri Isdianto saat meninjau jalan putus karena longsor . Ruas jalan ini diapit oleh kebun sawit perusahaan Tirta Madu, perusahaan  sawit terbesar di Kepulauan Riau. Sumber foto: Humas Pemprov Kepri

Exit mobile version