Mongabay.co.id

Hidung Elektronik dari UGM Ini Bisa Diteksi Cepat Virus Corona, Caranya?

ATTACHMENT DETAILS Kuwat-Triyana-menunjuk-layar-monitor-hasil-deteksi-GeNose-C19-dok-humas-UGM.jpg February 4, 2021 211 KB

 

 

 

 

Kuwat Triyana, satu nama yang kerap jadi bahan perbincangan dalam masa pandemi COVID-19. Bersama timnya, doktor lulusan Kyushu University, Jepang ini mengembangkan mesin pengendus senyawa organik yang bisa mendeteksi penderita COVID-19.

Namanya Genose C19. G untuk Gadjah Mada, eNose untuk electronic nose, dan C19 untuk COVID-19. Karena temuan itu, dia akhir-akhir ini sampai kehilangan waktu berkutat di laboratorium, yang jadi kegemarannya.

Dia harus menyambut tamu, presentasi, dan beberapa kali bertemu wartawan. Waktu di luar laboratorium itu begitu menguras tenaga, hingga pernah sebuah konferensi pers yang sudah dijadwalkan terpaksa batal karena Kuwat harus beristirahat.

“Habitat saya bukan bisnis. Saya barusan cek, yang sudah konfirm 14.000 sekian pemesan. Saya ingin menempatkan saya itu peneliti, bukan sebagai pebisnis. Saya tidak akan masuk dalam putaran bisnis. Saya itu harus kembali ke lab. Karena ini masih banyak yang harus diteliti,” katanya, suatu waktu.

Temuan itu banyak dipuji, terutama karena dinilai mampu memberikan alternatif solusi deteksi cepat penderita COVID-19. Tak sedikit pula yang meragukan, antara lain, ada yang anggap temuan sebagai pseudoscience.

Soal tuduhan ini, inventor yang rendah hati ini hanya tertawa ringan. Teknologi sensor bukan bidang baru baginya. Dia memperoleh gelar master dari ITB pada 1997, dengan tesis seputar sistem pengenal pola memakai hidung elektronik.

Tak main-main, dukungan datang dari Badan Intelejen Negara (BIN) lewat bantuan dana dan pengumpulan data uji diagnostik. Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) memfasilitasi dengan memberikan dana dan kemudahan lain.

GeNose sudah memperoleh izin edar dari Kementerian Kesehatan, dengan begitu siap dipasarkan. Izin edar turun pada 24 Desember lalu, dengan nomor registrasi AKD 20401022883. Sebanyak 100 batch pertama telah diserahkan antara lain kepada BIN, Kemenristek, dan BNPB.

Pabrik GeNose ada di UGM Science Techno Park, di Purwomartani, Kalasan, Sleman. Kapasitas produksi awal 2.000. Pada pertengahan Februari 5.000, dan 10.000 unit akhir Februari.

Kuwat beberapa kali mengatakan dalam berbagai kesempatan, penelitian terkait penjejak lewat hidung atau lidah elektronik bukan penelitian dadakan, seperti tuduhan sebagian orang. Selain pendeteksi COVID-19, sebelumnya Kuwat dan tim juga mengembangkan hidung elektronik untuk tuberculosis.

“Seperti GeNose untuk COVID-19, yang tuberculosis penelitian masih jalan, masih uji profiling,” katanya.

“Total, kita sudah 12 tahun mengembangkan GeNose.”

Produk pertama meluncur pada 2008, berupa penjejak elektronik yang bisa membedakan gelatin babi atau yang lain. Alat yang dihasilkan berguna untuk menentukan kandungan suatu materi sebelum diberi label halal. Piranti eNose generasi awal antara lain untuk mendeteksi suatu penyakit pada tanaman sawit.

“Salah satu universitas di Eropa sudah ada yang membeli. Saya bawa ke sana, saya tenteng sendiri. Alatnya untuk mengklasifikasi parfum,” katanya ketika menjelaskan beberapa eNose versi terdahulu.

 

Seseorang cukup meniupkan napas ke dalam kantong untuk deteksi cepat dengan GeNose. Doto: dokumen Humas UGM February 4, 2021

 

Mencari biomarker

Kuwat menerangkan, konsep mendeteksi suatu penyakit melalui VOC (volatile organic compound) bukanlah hal baru.

VOC adalah senyawa organik yang mudah menguap. Pada manusia gas ini dihasilkan dari proses metabolisme tubuh, bisa juga karena aktivitas bakteri atau virus.

Dalam Journal of Thoracic Oncology, Volume 11, Issue 6, yang terbit pada Juni 2016, sebuah tulisan berjudul Exhaled Breath Analysis for Monitoring Response to Treatment in Advanced Lung Cancer, memaparkan, bagaimana napas seseorang bisa untuk mengidentifikasi apakah orang itu menderita kanker paru atau tidak.

Biasa, katanya, untuk menganalisis gas menggunakan alat konvensional memakai gas chromatography. Namun alat ini tidak cocok dipakai di lapangan karena alat laboratorium. Dengan perkembangan riset-riset terbaru berbasis nanomaterial, akhirnya makin banyak mikrosensor yang bisa dipakai menganalisis sampel napas, mengukur perbedaan partikel nanomaterial yang lebih spesifik.

“Dasar pemikirannya, aktivitas patogen baik bakteri atau virus dalam jaringan tubuh akan menghasilkan senyawa yang sangat khas untuk suatu penyakit.”

Kuwat bilang, belum meneliti ada tidak biomarker seseorang yang terkena COVID-19. Namun dari hasil penelitian yang dia kumpulkan dari jurnal sampai Oktober tahun lalu diketahui orang terkena COVID-19 terdapat senyawa ethyl butanoate tinggi.

“Kalau yang noncovid tapi punya gangguan napas cenderung menengah ke rendah. Sebaliknya yang kena COVID-19 senyawa isopropanol cenderung rendah, yang non corona cenderung tinggi.”

 

GeNose versi terbaru yang telah mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan. Foto: dokumen humas UGM

 

Di jurnal lain juga disebutkan, senyawa pada penderita COVID-19 membuat suatu pola, diwakili banyak senyawa. Larik sensor atau sensor array dari reaksi gas atau senyawa tertentu itulah yang kemudian sebagai masukan informasi yang dibenamkan dalam otak GeNose.

“Penggunaan larik sensor menghasilkan pola spesifik, untuk yang sakit maupun sehat. Pola-pola itu selanjutnya dilatih ke model sistem pengenal pola berbasis machine learning. Makin banyak sampel makin akurat.”

Dalam pengembangan mesin GeNose, ada dua uji harus dilalui. Pertama, uji profiling atau uji validasi. “Kita ujikan di RS Bhayangkara dan RS khusus COVID-19. Alat ini terpaksa masuk di ruang isolasi, yang relatif homogen. Saat itu, kita belum tahu apakah alat ini terganggu oleh bau dan aroma makanan.”

Kedua, uji diagnostik, yaitu, mesin jalan di luar ruang isolasi, sengaja menyasar di delapan RS di klinik COVID-19. Data lalu diperbarui, dan melahirkan SOP baru. Seseorang yang ingin dideteksi mengunakan GeNose harus puasa satu jam.

Tidak minum alkohol, merokok, dan mengonsumsi makanan yang berbau tajam, misal, jengkol, yang membuat alat deteksi salah menganalisa.

Menurut Kuwat, sinyal rendah atau invalid pada GeNose mayoritas saat mesin beroperasi pada ruang tertutup, sirkulasi udara segar terganggu.

Kuwat bilang, segera membuat manuskrip yang akan dikirimkan ke jurnal bergengsi terkait mesin penemuan itu. Kesibukan mempersiapkan dan memproduksi GeNose, membuat kesempatan menulis artikel ilmiah menjadi mundur dari jadwal.

Kuwat dan tim tengah menyiapkan dua manuskrip untuk tahap awal, yang akan terbit Maret.

Riris Andono Ahmad, Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (KKMK) UGM, mengatakan, dalam sebuah kesempatan, sejauh ini ada tiga teknologi dalam mendeteksi seseorang menderita COVID-19, yakni, rapid test, tes serologis, dan polymerase chain reaction (PCR).

Indonesia, katanya, bukan satu-satunya negara yang mengembangkan pendeteksi COVID-19 memakai hidung elektronik. Sebelumnya, Israel sudah mengembangkan alat serupa.

Dari penelusuran, sebuah perusahaan Israel bernama NanoScent mulai memproduksi hidung elektronik tahun ini, yang diklaim mampu mendeteksi infeksi corona hanya dalam waktu 30 detik.

Di Inggris, beberapa anjing dilatih mendeteksi seseorang yang terinfeksi melalui penciuman dengan tingkat akurasi tinggi. Penemuan itu bahkan sudah dimuat dalam sebuah jurnal.

“Sebenarnya ini meniru mekanisme itu hingga namanya eNose,” kata Doni, panggilan akrabnya.

Dia juga bekerja sama dengan Kuwat, untuk mesin pendeteksi TBC lewat embusan napas.

Menurut dia, tidak ada teknologi sempurna untuk menyelesaikan masalah. Setiap teknologi memiliki keterbatasan tetapi ada kalanya manusia harus menggunakan suatu teknologi yang terbatas itu karena saat ini teknologi itulah yang ada. Apalagi untuk pengendalian pandemi seperti COVID-19 yang perlu gerak cepat.

GeNose yang memiliki sensitivity 89-92% dan specificity 9-96% dinilai punya performa sangat baik saat screening corona. Keunggulan lain, segera memberikan hasil, terjangkau, noninvasif, dan relatif bisa di mana saja.

Dalam sehari mesin sanggup melakukan tes terhadap 120 orang. Dengan perhitungan satu jam 20 orang, dan mesin optimal diperasikan selama enam jam sehari.

Dian Kesumapramudya Nurputra, coinventor GeNose menerangkan, sensor GeNose punya kemampuan seperti hidung anjing yang dilatih untuk bisa membedakan bau tertentu.

Otak GeNose pun bisa dilatih untuk menganalisa senyawa volatile dari embusan napas. Makin banyak data yang masuk, makin bagus, yang bisa membuat otak mesin makin pintar.

“Orang yang sakit pneumonia, TBC, termasuk COVID-19 menghasilkan VOC berbeda. Tim kami sebelumnya sudah berhasil memetakan VOC dari TBC. Kemudian kami bisa memetakan VOC dari COVID-19, dengan algoritma terpilih untuk bisa membaca peta itu.”

Dian yang ambil penelitian doktor tentang neurogenetika itu menerangkan, proses pengembangan eNose menjadi pendeteksi COVID-19 sendiri cukup berliku.

“Saya mendalami protein sensing dan neurogenetik. PhD saya di Jepang. Penelitian saya berusaha mendeteksi mutasi-mutasi pada gen yang menghasilkan protein abnormal. Saya ingin bagaimana caranya ilmu saya aplikatif. Satu hari mendengar presentasi Pak Kuwat, dan langsung merasa ini yang saya butuhkan,” kenangnya saat menceritakan awal mula berkolaborasi dengan penemu eNose ini.

 

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mencoba GeNose didampingi coinventor, Dian Kesumapramudya Nurputra. Foto: dokumen humas UGM

 

“Pada Maret, kami belum tahu spesifik gambar yang dihasilkan. Pada Oktober, muncul publikasi di luar negeri yang mendukung konsistensi penelitian kami yang dulu dianggap pseudoscience. Sekarang sudah terjustifikasi bahwa ada VOC yang tergambar pada COVID-9 dan kadar cukup tinggi.”

Dian juga seorang dokter anak untuk penyakit langka itu juga menjelaskan, dari 10 sensor utama di dalam mesin mampu menampilkan grafik berbeda-beda tergantung VOC yang terdeteksi. Pola itu dianalisis oleh Artificial Intelligence (AI) dan keluaran akan menghasilkan skor negatif atau positif terinfeksi COVID-19.

Meski punya akurasi tinggi, GeNose tidak berniat menggantikan posisi PCR. Mesin pintar ini, katanya, hanya untuk screening cepat. Sampai hari ini, PCR masih menjadi gold standard yang diakui WHO dalam mendeteksi COVID-19.

Dengan rapid test yang baik bisa menghemat sumber daya PCR. Terlebih reagen untuk tes PCR jumlah terbatas dan relatif mahal.

Kuwat berharap, mesin ini bisa membantu mempercepat pemulihan roda kehidupan seperti sedia kala. Caranya, dengan screening singkat, dan massal. Mareka yang positif lalu isolasi.

“Jika sudah ada 10.000 mesin, satu hari bisa men-screening hampir satu setengah juta. Itu keren.”

Kuwat menerima penghargaan dari kampusnya, pada 19 Desember lalu atas jasa luar biasa di bidang kebudayaan, kebangsaan, kenegarawanan, kemanusiaan, dan atau kemasyarakatan dalam praktik intelektual dan atau sosial.

 

******

Foto utama: Kuwat Triyana menunjuk layar monitor hasil diteksi GeNOse C19. Foto: dokumen UGM

 

Exit mobile version