Mongabay.co.id

Pulau di Selayar Dijual? Begini Ceritanya

Pulau Lantigiang, kepulauan Selayar. FOTO Dokumentasi TN Taka Bonerate.jpg

DCIM100MEDIADJI_0031.JPG

 

 

 

 

Pagi itu, (Rabu (3/2/21), ruangan Barcelona, Lantai 7, Hotel Melia Makassar, sudah terbuka. Dua staf hotel berjaga di depan pintu. Beberapa kursi terususun rapi. Sebuah meja panjang, dan mikrofon telah terpasang. Sisi lain, ada kopi, teh, kolak pisang dan kue-kue. Beberapa wartawan berkumpul.

Sekitar 10 menit, seorang perempuan dengan rambut terurai, mengenakan kacamata hitam di atas kepala datang. Dialah Asdianti, pemilik sekaligus Direktur PT Selayar Mandiri Utama.

“Selamat pagi semua. Hari ini saya (akan) mengklarifikasi, kalau saya tidak pernah membeli pulau. Tapi saya membeli lahan kebun. Di..eee, Pulau Lantigiang,” katanya.

Asdianti, merasa penting mengklarifikasi berita-berita yang muncul di media yang menyatakan dia membeli pulau. Dia bilang, terlalu banyak spekulasi sampai status pasangan disebut sebagai seorang kebangsaan Jerman. “Itu tidak benar. Suami saya itu orang Italia. Milan.”

Asdianti adalah perempuan yang lahir dan besar di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Kini dia bermukim di Bali, selama 21 tahun. Meski demikian, dia memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kepulauan Selayar. Dia menginisiasai pertemuan itu.

Dari dokumentasi mengenai Pulau Lantigiang, yang secara administrasi di Desa Jinato itu masuk TN Taka Bonerate. Ada enam desa masuk taman nasional ini, yakni, Desa Rajuni, Latondu, Tarupa, Jinato, Tambuna, dan Pasitallu Raya. Pada 2015, UNESCO menetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia dengan luasan sekitar 530.765 hektar. Ia terbagi dalam tujuh zonasi, masing-masing zona inti 10.046 hektar, zona perlindungan bahari 25.875 hektar, dan zona pemanfaatan 9.491 hektar. Kemudian, zona khusus 270 hektar, zona tradisional 481.334 hektar, lalu, zona religi, budaya dan sejarah 3.279 hektar serta zona rehabilitasi 472 hektar.

Pulau Lantigiang masuk zona pemanfaatan. Dalam beberapa arsip foto pulau ini, lansekap ditumbuhi pohon perdu dan semak. Dalam desain tapak TN Taka Bonerate 23 Januari 2019, luas Lantigiang dan perairan mencapai 2.855 hektar.

Untuk daratannya hanya 5,6 hektar. Pulau ini dinyatakan tidak berpenghuni.

Luasan pulau yang kecil membuat TN Taka Bonerate mengkhususkan kawasan ini hanya untuk ruang publik, bukan ruang usaha.

“Perencanaan pengembangan sarana adalah pembangunan dermaga, kantor pengelola, jalan trail, papan informasi, gazebo, water villa, restoran, landmark dan toilet,” tulis dokumen itu.

 

Pemandangan di laut Pulau Tinabo Besar, di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan . Tepian pantai banyak anakan hiu. Foto: Balai Taman Nasional Taka Bonerate

 

Mengapa terjadi jual beli atas pulau ini? “Ya (karena) pejabat-pejabat itu, yang menghalang-halangi. Yang melapor ini kan balai sendiri. Mereka merasa itu dalam TN Taka Bonerate. Yang tidak bisa dijual beli pulau. Tapi kan yang saya beli itu bukan pulau, tapi tanah di atas pulau. Itu tolong digaris bawahi ya,” kata Asdianti.

 

Proses jual beli

Asdianti ingat betul, pada 2017, dia mendatangi Kantor Balai TN Taka Bonerate untuk konsultasi mengenai status pulau yang masuk dalam kawasan dan merupakan zona pemanfaatan.

Dia melihat Lantigiang dan tertarik untuk mengelola. Pada Mei 2019, dia menemukan seorang bernama Syamsul Alam yang mengaku memiliki pulau itu secara turun temurun. Dalam surat perjanjian perjanjian jual beli pun dinyatakan sebagai tanah kebun, dengan luasan pakai GPS 7,3 hektar.

Asdianti membayar uang muka sebagai tanda jadi, Rp10 juta. Total harga Rp900 juta. “Saya beli itu 4 hektar. Karena saya itu bidang properti sudah 12 tahun lebih. Setidaknya, aturan-aturan soal pulau saya sudah tahu. Yang bisa dikelola itu 70%. Menurut zona-zona kawasan,” katanya.

“Jadi 70% (dari luas lahan) dari pulau itu bisa dipergunakan, 30% untuk publik. Itu bukan saya yang bicara, itu Undang-undang.”

Bagi Asdianti, tujuan utama membeli tanah di Lantigiang untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Dalam perencanaan dia, kelak membangun water bungalow dengan investasi Rp30 miliar.

 

Asdianti, pembeli lahan satu pulau di Kabupaten Kepulauan Selayar saat jumpa pers 3 Februari lalu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Dalam klaim kepemilikan Asdianti, pada Juni 2020, mengajukan permohonan pertimbangan teknis untuk mendapatkan izin usaha pariwisata sarana wisata alam dalam bidang usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA). Tak ada balasan dari Balai TN Taka Bonerate, selama enam bulan.

“Jadi saya (Desember) lapor ke PTUN Makassar,” katanya.

Pada 25 Januari 2021, putusan PTUN mengabulkan permohonan Asdianti melawan Balai TN Taka Bonerate untuk mendapatkan petunjuk teknis. Pada Senin 1 Februari 2021, Balai TN Taka Bonerate mengundang Direktur PT Selayar Mandiri Utama yang diwakili kuasa hukum, untuk mendapatkan pertimbangan teknis.

“Tapi isi pertimbangan itu tetap tidak merekomendasikan,” kata seorang staf TN Taka Bonerate.

Beberapa staf Balai TN Taka Bonerate, saat dihubungi tak ingin gegabah membuat pernyataan. “Saat ini kasus sedang ditangani Polres Selayar. Kemarin saya ikut rapat dengan Polres, dan sekarang kasusnya sementara dalam tahap penyidikan.”

 

 

Dikutip dari CNN Indonesia, Polres Selayar sedang penyelidikan atas dugaan penjualan Pulau Lantigiang itu. AKBP Temmangnganro Machmud, Kapolres Selayar 30 Januari lalu mengatakan, telah ada transaksi Pulau Lantigiang diduga dijual Rp900 juta.

Penyelidikan polisi, katanya, berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat. Polisi, juga menerima surat dari Taman Nasional Taka Bonerate.

Bagaimana membaca putusan ini? Muhammad Haedir, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, menyatakan, perintah PTUN Makassar sudah dijalankan oleh Balai TN Taka Bonerate. Namun, bagaimana petunjuk teknisnya, itu lain soal. Bagaimana juga kepemilikan lahan dari jual beli lahan, katanya, jadi dua hal yang berbeda.

“Ketika PTUN mengabulkan permohonan pemohon, itu bukan berarti dia berhak mendapatkan tanah. Itu lain perkara.”

 

Mata wisata dan konservasi

Sebuah foto udara menampilkan Lantigiang yang “imut”. Pulau yang di keliling perairan biru dan pasir putih. Pada musim tertentu, pulau ini didatangi penyu untuk bertelur. Di perairannya merupakan spot diving dengan coral yang indah memanjakan mata.

 

Tanaman di Pulau Lantigiang. Foto: Balai Taman Nasional Taka Bonerate

 

Bagi Asdianti, pulau itu dapat menjadi primadona wisata yang menawan jika dikelola. “Jarak antara Selayar ke Lantigian itu empat jam. Jadi, kalau pikir Rp900 juta itu dipikir ini apa itu, tidaklah. Di sana itu, tidak ada sumber air, tidak ada listrik, tidak ada infrastruktur. Jadi, yang bisa melihat ke sana itu adalah mata pariwisata,” katanya.

“Kalau mata yang bukan mata pariwisata, itu pulau apa sih jadinya? Saya melihat potensi di sana.”

Dia bilang tahu lahan itu masuk kawasan hutan. “Maka saya ke sana (Balai TN Taka Bonerate). Misalkan ini, di Raja Ampat, Missol Island, itu zona pemanfaatan. Wakatobi atau Flores. Itu taman nasional semua. Cuman mereka itu, pemerintah daerah di sana itu, mendukung, kalau ada investor, yang mau mengembangkan. Bukannya dihalang-halangi dengan beragam alasan.”

 

Pengunjung bisa berenang bersama anakan hiu di Pulau Tinabo Besar, yang masuk taman nasional di Selayar, Sulsel ini. Foto: Balai Taman Nasional Taka Bonerate

 

*****

Foto utama: Pulau Lantigiang, Kepulauan Selayar. Sulsel. Foto: TN Taka Bonerate

 

Exit mobile version