Mongabay.co.id

Ekspedisi Pulau Moyo: Mudah Jumpai Beragam Burung tetapi Mulai Ada Alih Fungsi Hutan

Pembukaan lahan baru bertambah di Pulau Moyo. Di kawasan hijau dalam foto ini adalah rumah bagi puluhan jenis burung di Pulau Moyo. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

default

 

 

 

 

Sanusi begitu semangat ketika kami hendak mendokumentasikan burung hantu di Pulau Moyo, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Petani yang kadang bekerja sebagai anak buah kapal penyeberangan Pulau Moyo–Sumbawa itu mengatakan, pernah melihat burung hantu. Bahkan, tahu letak sarangnya.

Pekan sebelum itu, dia sempat melihat burung hantu. Begitu kami menunjukkan gambar celepuk Maluku (Otus magicus), wajah Sanusi keheranan. Dia belum pernah sama sekali melihat burung hantu itu.

“Yang di dekat sekolah itu besar. Ini kecil sekali,’’ katanya.

Kini, giliran Sanusi penasaran dengan gambar-gambar yang kami tunjukkan.

Malam ditandai dengan raungan mesin pembangkit listrik di Desa Labuhan Aji, Pulau Moyo. Pembangkit listrik itu tak jauh dari rumah Sanusi, tuan rumah kami selama di pulau itu. Mesin itu mulai menyala pukul 18.00, dan mati pukul 06.00 Wita. Keterbatasan pasokan minyak dari Pulau Sumbawa, membuat pembatasan jam listrik menyala.

Meskipun begitu, kios-kios di Pulau Moyo punya kulkas. Pada pagi hari, dingin kulkas berasal dari es batu yang dibuat pada malam ketika listrik menyala. Sebelum ada listrik dari mesin pembangkut listrik tenaga diesel (PLTD) itu, pernah juga memanfaatkan listrik surya. Di beberapa rumah masih terlihat sisa PLTS, tetapi kini sudah bergantung PLTD.

Kami memasuki hutan cukup jauh dari permukiman untuk menghindari suara bising dari mesin PLTD. Awalnya, kami mencoba memanggil celepuk Maluku melalui speaker aktif yang dihubungkan dengan telepon seliler. Sekitar 30 menit menunggu tidak ada tanda-tanda burung hantu yang bisa dijumpai di gugusan Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku ini. Burung hantu jenis Otus, memang bisa dipanggil. Kala menirukan suara mereka, maka burung akan mendekat.

Kami memilih pohon-pohon yang memudahkan pengamatan. Pohon terlalu tinggi akan menyulitkan mendokumentasikan. Begitu juga pohon rimbun. Celepuk Maluku suka dengan pohon yang tidak terlalu rapat daun dan rantingnya. Dengan senter kami mencari pohon yang kira- jadi tempat hinggap celepuk. Di satu pohon kami melihat bayangan burung terbang, yang bereaksi terkena lampu senter. Kami menduga itu celepuk Maluku. Kami memasang speaker dangan mulai memanggilnya.

 

Baca juga: Ekspedisi Pulau Moyo: Merekam Kakatua Jambul Kuning sampai Elang Flores

Celepuk Maluku, satu jenis burung hantu yang mendiami hutan di Pulau Moyo. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Celepuk Maluku memiliki morfologi sama dengan celepuk Rinjani. Dulu, sebelum teridentifikasi dan terbit dalam jurnal ilmiah, celepuk Rinjani dikira celepuk Maluku.

Setelah penelitian panjang, akhirnya celepuk Rinjani teridentifikasi sebagai spesies baru. Celepuk Rinjani memiliki suara panjang dan merdu. Celepuk Maluku suara parau dan pendek.

Kami terkejut ketika membunyikan speaker pemanggil celepuk, Sanusi seperti menjauh. Barulah keesokan pagi dia bercerita, kalau suara dari celepuk itu selama ini dianggap sebagai pertanda kurang baik.

Sanusi baru kali pertama, malam itu melihat celepuk Maluku dan mendengar langsung suaranya. Awalnya, dia takut, setelah dijelaskan barulah sedikit lega. Tetapi dia tetap takut kalau mendengar suara parau celepuk Maluku itu.

Selama empat hari di Pulau Moyo, Sanusi adalah pemandu kami. Dia menunjukkan beberapa lokasi tempat pemantauan burung. Walapun beberapa fotogafer dan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB menginformasikan lokasi, kami ingin mendengar cerita dari petani tentang keberadaan burung-burung di Pulau Moyo.

Dugaan kami tidak meleset. Kami bisa menemukan dan mendokumentasikan 32 jenis burung selama empat hari.

Sanusi bilang, kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) dulu mudah ditemukan di Pulau Moyo. Kadang burung itu hinggap pada dahan kelor depan rumah warga. Biasa pagi dan sore hari. Makin hari, lama burung itu makin jarang terlihat di dekat permukiman.

“Dulu, sering orang tangkap burung, sekarang sudah tidak berani. Kami usir mereka,’’ kata Sanusi.

Dia mengatakan, beberapa tahun lalu ada orang datang ke Pulau Moyo. Warga mengira akan liburan biasa tetapi mereka sedang membuat jebakan untuk burung kakatua jambul kuning. Burung ini memang cukup mudah dijumpai dan bisa dipancing dengan suara.

Bermodal speaker aktif berisi suara kakatua jambul kuning, burung itu akan mendekat ke sumber suara karena mengira dari kelompok mereka.

Warga Pulau Moyo sendiri tidak menangkap burung dan tidak hobi memelihara burung. Sanusi bilang, kalau hanya ingin mendengar burung tinggal masuk ke kebun. Mereka juga bisa melihat langsung di pohon-pohon yang tersisa.

“Berbeda dengan di Pulau Lombok yang banyak orang memburu burung untuk hobi dan diperjualbelikan,’’ kata Mirzan Asrori, pengamat Burung Indonesia yang sudah menulis beberapa buku tentang burung di Pulau Lombok.

Burung-burung yang kami temukan di Pulau Moyo, merupakan burung yang juga ada di Pulau Lombok tetapi sudah sulit dijumpai. Di Pulau Lombok, katanya, bisa dihitung dengan jari para pengamat dan fotografer yang menemukan mereka. Padahal, Pulau Lombok adalah daerah persebaran kakatua jambul kuning.

Dari penuturan warga yang tinggal di dekat hutan, kakatua dengan mudah dijumpai, setidaknya pada 1990-an. Sekarang, sudah sangat jarang dijumpai. Koak kiau (Philemon buceroides) lebih mudah terlihat di pasar burung dan di rumah para kolektor ketimbang di alam. Berbeda dengan di Pulau Moyo dan Pulau Sumbawa, masih terbilang mudah jumpai beragam burung itu.

“Posisi Pulau Moyo cukup jauh dari daratan Sumbawa juga membuat burung-burung di pulau ini seperti terperangkap. Jadi, mereka tidak kemana-mana,’’ katanya.

 

Alih fungsi lahan terjadi di Pulau Moyo, tampak lahan berwarna coklat yang siap-siap akan ditanami wije. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Alih fungsi hutan

Para pria membuat lubang dengan kayu yang dilancipkan bagian ujungnya. Perempuan-perempuan mengisi lubang itu dengan biji wijen. Setelah setengah lahan ditanami, mereka istirahat. Minum es, kopi, dan kue yang dibawa dari rumah. Rombongan kami yang akan mendokumentasikan burung tak jauh dari ladang itu pun ditawari mencicipi kue dan kopi.

Ladang ini seperti baru dibuka terlihat dari sisa batang pohon ditebang dan dibakar. Berbeda dengan ladang lain sudah ditanami mete yang sudah besar, ladang ini ditanami wijen. Di beberapa titik terlihat bibit mete dengan ketinggian baru satu meter. Wijen menjadi tanaman musim hujan, mete menjadi tanaman jangka panjang. Kalau menjumpai ladang yang belum ditanami mete atau masih kecil, itu jadi tanda ladang baru dibuka.

Ladang-ladang di Pulau Moyo ditanami padi, jagung, wijen, dan jenis kacang-kacangan pada musim hujan dengan andalkan air hujan. Tidak ada irigasi di Pulau Moyo. Yang ditanam jenis padi ladang biasa disebut padi gora (gogo rancah). Mengandalkan musim hujan, pada musim kemarau ladang dibiarkan ditumbuhi rumput dan ilalang.

“Ada yang dibakar, ada yang disemprot (racun),’’ kata Mukjizah, seorang petani menjelaskan cara membersihkan ladang.

Di Pulau Moyo, ladang dibuka oleh keluarga. Kadang mengundang keluarga dari daratan Pulau Sumbawa. Ada juga yang membuat ladang dengan cara membayar. Selain itu, petani yang sudah “mengkavling” hutan bisa juga mengalihkan ke petani lain dengan harga Rp10 juta per hektar. Lokasi makin jauh ke dalam hutan, harga Rp1 juta- Rp5 juta per hektar.

Sanusi sendiri bisa mendapatkan ladang dari hasil ganti rugi ke petani lain. Dia juga pernah memiliki ladang dan menjual ketika memperbaiki rumah.

“Makin dekat dengan kampung makin mahal harganya,’’ kata Sanusi.

Pengamat burung Indonesia, Mirzan Asrori bilang, tantangan kelestarian burung di Pulau Moyo dan Pulau Sumbawa adalah alih fungsi lahan.

Mirzan pernah mendokumentasikan burung dari ujung barat Pulau Sumbawa hingga ujung timur, keberadaan burung mudah dijumpai. Setiap tahun makin sulit karena ketiadaan pohon dan sumber makanan.

“Apalagi setelah jadi kebun yang tanaman satu jenis, jika tidak ada makanan burung akan mencari rumah baru,’’ katanya.

Dia menunjukkan contoh di lokasi pengamatan kami masih mudah menjumpai banyak jenis burung. Tanaman di lokasi itu masih beragam. Ada berbagai jenis buah-buahan menjadi makanan burunhg tertentu. Begitu juga dengan burung pemakan serangga senang di lokasi ini.

“Tantangan kelestarian burung di Pulau Sumbawa memang alih fungsi lahan. Banyak berubah jadi kebun jagung,’’ katanya.

 

Air terjun Mata Jitu di Desa Labuhan Aji, Pulau Moyo, Sumbawa menjadi destinasi andalan Pulau Sumbawa. Terkenal karena pernah dikunjungi Lady Diana. Kondisi debit air yang kecil diduga dipengaruhi oleh tutupan hutan yang semakin berkurang. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Minim perhatian

Memiliki air terjun Mata Jitu yang terkenal hingga mancanegara, dengan resort mewah tarif paling mahal se-Pulau Sumbawa, garis pantai cantik yang panjang, tidak jadikan Pulau Moyo diperhatikan serius. Sejak kunjungan saya ke Pulau Moyo pada 2015, 2019, hingga 2020, tidak ada perubahan berarti pada infrastruktur pendukung pariwisata. Dermaga makin rusak. Akses jalan dari permukiman ke air terjun rusak parah.

“Bagaimana mau maksimal kami hanya gunakan dana desa,’’ kata Sofyan, Kepala Desa Labuhan Aji.

Dermaga yang rusak membuat perahu harus antre sandar. Kalau banyak kapal datang bersamaan, bisa jadi masa menunggu akan membuat penumpang atau wisatawan bosan.

Begitu juga dengan akses jalan. Antara satu dusun dengan dusun lain harus melewati jalan setapak berbatu dan berlumpur. Di beberapa titik pengerasan menggunakan semen dengan kondisi rusak parah.

Pihak desa pernah mengusulkan ada akses jalan antar dusun di Desa Labuhan Aji tetapi usulan tak diterima lantaran status lahan masuk kawasan hutan.

“Padahal, kami tidak minta jalan lebar, hanya jalan setapak yang cukup dilewati satu motor ini diperbaiki. Semen agar tidak becek saat musim hujan.”

Dia bilang, sebenarnya tidak ada jalan antara satu dusun ke dusun lain. Melewati jalan setapak di tengah hutan membuat pelayanan juga sulit. Misal, untuk koordinasi antara wilayah, koordinasi sekolah, termasuk juga pelayanan kesehatan. Pusat desa tidak mudah dijangkau warga di dusun lain.

Kondisi seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Pulau Moyo kerap dipromosikan. Para pesohor dunia datang. Artis nasional sering liburan. Begitu juga dengan wisatawan nusantara mulai ramai ke Pulau Moyo.

“Pantai juga banyak yang bagus, tapi sulit ke sana karena tidak ada jalan,’’ kata Sofyan.

Pariwisata, katanya, bisa jadi alternatif usaha masyarakat. Mereka bisa membuka homestay, warung, maupun jasa transportasi. Bisa saja, katanya, kelak ladang-ladang yang saat ini gundul ditanami buah-buahan dan membangun homestay di tengahnya buat wisatawan.

 

 

 

*****

Foto utama: Pembukaan lahan baru bertambah di Pulau Moyo. Di kawasan hijau dalam foto ini adalah rumah bagi puluhan jenis burung di Pulau Moyo. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Exit mobile version