Mongabay.co.id

Longsor Tapango Hancurkan Desa, Harga Mahal Kala Bentang Alam Berubah

 

 

 

 

Dalam rumah batu bertiang balok kayu, Kawaru (40), bersama kawannya sedang duduk santai, pada 13 Januari lalu. Bulan ini, kakao di kebun mereka belum berbuah.

Siang itu, langit mendung. Kawaru merasa, hujan segera turun. Beberapa dari mereka tertidur. Termasuk, si empu rumah, Manna. Kawaru adalah abang Manna.

Rumah Manna belum sepenuhnya rampung, sejak dia pugar dua tahun lalu. Dinding belum terpoles semen. Manna membangun rumah, tepat di lereng bukit yang curam. Ia membelakangi kebun kakao yang menghampar hingga ke puncak bukit, di Kalimbua, desa penghasil kakao di Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

“Sekitar jam 2.00 mulai hujan. Seperti ditumpah itu air,” kata Kawaru.

Tepat samping rumah Manna, sungai musiman meliuk dari puncak bukit. Lebar tak lebih dua meter. Bila kemarau, sungai itu mengering.

Dalam rumah, orang-orang tak sadar, air sungai kecil itu kian deras dan mulai meluap.

Pardi, putra Manna sedang melahap makanan siang. “Ah! Kenapa ada air?” kawan Kawaru menegur.

“Diam saja! Ada memang air apa hujan ini,” kata Kawaru.

Kawaru heran, air terlalu coklat dan berbau aneh. Seingat dia, bau itu pertanda akan longsor.

Dua kawan Kawaru yang tidur, cepat-cepat dia bangunkan. Manna terlupakan. Mereka panik meninggalkan rumah itu. Pardi ikutan lari. Makanannya belum habis.

Depan rumah Manna melintang jalan. Di tepi jalan itulah, Kawaru memandangi sungai kecil itu. Dia dan kawan-kawannya bergidik, melihat sungai musiman itu berubah menjadi jeram yang mencekam.

Hati mereka benar-benar gamang. Air sungai itu tak lagi berkelok ke selokan, sebelum menyambung ke Sungai Kalimbua, sungai yang lebih besar. Air menerabas jalan, mengarus begitu deras. Membawa tanah dan batu.

“Longsor… Longsor…” mereka memekik.

Dari kamarnya, Wawan mengecilkan volume musik. Keributan Kawaru dan kawannya, memaksa Wawan yang sakit beberapa hari terakhir beranjak keluar.

“Ada apa?” tanya Wawan.

“Ada longsor di atas!” sahut Kawaru.

“Pulang mki! Karena mau longsor ini kayaknya.”

Wawan dikenal sebagai ‘tukang taksi,’ julukan buat penunggang motor bebek yang dimodifikasi buat melansir buah kakao hasil panenan petani. Dari motor tuanya itu, Wawan bisa bangun rumah dan menghidupi keluarganya. Dia dapat upah Rp35.000 perkarung sekali tarik.

Wawan adalah keluarga Kawaru. Rumah mereka bersebelahan. Perkampungan yang ditempati Kawaru belum lama dihuni. Hanya ada lima rumah dan satu gedung fasilitas milik perusahan daerah PAM. Sang pemilik rumah juga bukan orang lain.

Samping Kawaru adalah Subuh dan Selle, sepasang saudara. Keduanya merupakan sepupu Kawaru. Hari itu, Subuh dan keluarganya sedang berada di Kurrak, kampung teratas, yang berbatasan Mamasa.

Manna akhirnya bangun dan bergegas ke beranda rumah. Dia mendongak ke sungai itu. “Ah! Ndak longsor ini.” Air makin deras, melarung batu dan tanah. Ketika air membawa tanaman pisang, Manna baru ketakutan. Apa yang dia khawatirkan selama ini, terjadi. Dia mengambil langkah panjang, meninggalkan rumah.

Sambil lari, Manna menggopoh saku celananya. “Ndak ada hapeku!”

Manna kembali ke rumah, meraih gawai lalu memasukkan ke kresek dan berlari kembali. Kantongan itu dia titip ke rumah Selle, rumah terjauh dari sumber longsor. Di sini, Kawaru dan kawannya bersiap menyelamatkan diri.

 

Kondisi desa dua hari setelah longsor. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Manna kembali lagi ke rumah. Menyalakan motor lalu melesat ke kampung sebelah, mencari Hasna, istri dan putri bungsunya. Hari itu Hasna bersama istri Kawaru, Wawan, dan Selle berada di kampung sebelah sedang menyiapkan acara doa hari terakhir kematian nenek mereka.

“Mana mi Pardi?” tanya Hasna ke Manna.

“Di rumahnya omnya (Selle).”

Auh… Hancur mi anakku.”

Di rumah Selle, Kawaru dan warga lain belum pergi. Mereka terus memandangi sungai kecil itu.

Tak lama, suara ledakan menyambar telinga mereka.

Bruuk…”

Asalnya dari puncak bukit, belakang rumah Manna. Batu besar jatuh. Menutup badan sungai itu. Air berbelok ke dalam rumah Manna.

Rumah Manna tak kuat lagi menahan lama. Akhirnya ‘meledak’ Kawaru dan warga lain berlari, sebagian naik motor menyusul Manna. Menuju istri dan anak-anak mereka.

Selama Kawaru menjauh, di belakangnya, longsor makin mendekati rumah Wawan.

Wawan tak ikut rombongan Kawaru. Di rumahnya, Wawan tergesa-gesa menyalakan motor tetapi sudah terlambat. Longsor begitu dekat. Pohon besar tengah berguling ke arahnya. “Saya tinggalkan ki,” kata Wawan ke motornya.

Dia menghindar dan berlari ke belakang rumah. Wawan terjebak. Di belakang rumah, arus Sungai Kalimbua terlalu deras. Dia menyelamatkan diri lewat sungai itu walau berarti bunuh diri. Wawan pasrah.

Beberapa menit terjebak, Wawan melihat celah. Dia lompat keluar dan menyusul yang lain.

Sore itu, longsor terjadi di beberapa titik di Kalimbua dan memutus akses perkampungan. Di Desa terbawah, arus Sungai Kalimbua merusak jembatan penghubung dusun.

 

Wawan memperlihatkan motornya yang rusak. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Malam hari, Subuh baru mengetahui kalau longsor melumat kampungnya. Beberapa jam sebelum longsor, dia menyusul istrinya ke rumah mertua. Istrinya sakit dan memilih pengobatan tradisional, di Kurrak. Dia belum tahu kondisi rumahnya.

Keesokan hari, Subuh memutuskan pulang. Di bukit, sebelum Kalimbua, Subuh berhenti, menerawang jauh rumahnya. “Rata sama tanah.”

Di kampung sebelah, mereka yang selamat dari longsor mengungsi di rumah keluarga masing-masing. Saya menemui mereka, pada 15 Januari 2021. Orang-orang masih waspada, sebab hujan terus mengguyur. Pakaian yang menempel di badannya, salah satu harta yang selamat. Tak ada korban meninggal. Semua selamat, tetapi menanggung kerugian hingga ratusan juta rupiah. Bantuan pemerintah pun tak seberapa.

Keesokan pagi, saya ke kampungnya Kawaru. Material longsor masih berserakan. Lautan pasir dan batu bercampur lumpur lengket. Hanya rumah Manna yang masih tegak. Rumah-rumah lain sudah roboh. Sang pemilik hanya mengambil barang-barang yang layak dari reruntuhan.

Beberapa menit, saya melihat longsor. Dari sisi bukit, air terus memancur dari bekas longsoran. Bukit itu seolah-olah tercabik-cabik.

Sungai musiman, sudah tampak tenang. Air mengalir pelan dan jernih. Sisi kanan dan kiri melebar dua kali lipat dari sebelumnya. Tumpukan batu besar berserakan. Di sempadan sungai itu, batang dan puing-puing kayu masih menempel. “Seperti sungai baru,” kata warga.

 

Sisa-sisa rumah Manna. Ini rumah yang terbilang masih kokoh, usai terjangan longsor. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Bentang alam berubah

Sepanjang empat dekade, paras alam di Kalimbua telah berubah drastis. “Memprihatinkan,” kata Andi, warga yang dituakan di Kalimbua.

Penduduk Kalimbua adalah rumpun Pattae. Mereka punya keakraban dengan orang-orang Messawa, dari Mamasa.

Dahulu, mereka bergantung dari kebaikan alam. Orang-orang berladang padi secara nomaden. Hutan-hutan masih lebat. Andi masih ingat keindahannya. “Saya masih kecil waktu itu.”

“Pas tahun 1988, mulai ada perambah.”

Jelang tahun 1990, menanam kakao macam wabah. Gerakan nasional menanam kakao, yang digembar-gemborkan pemerintah kala itu, mendorong pelosok Indonesia, seperti Kalimbua, menjadi bagian rantai produksi yang panjang dalam industri kakao.

Karena menguntungkan, orang-orang Kalimbua, berhenti berladang padi, pengetahuan yang diturunkan leluhur mereka.

Mereka mulai menggunduli hutan. Dari lereng hingga puncak bukit ditanami kakao. Burung-burung endemik macam rangkong Sulawesi, menjauh ke hutan yang belum tersentuh. Andi tak lagi mendengar suara rengekan alo, bahasa Pattae untuk rangkong. “Hilang mi itu mungkin.”

Bagaimana dampak pembukaan lahan di Kalimbua? Adakah hubungan dengan longsor 13 Januari lalu?

Sepuluh tahun silam, Adi Maulana, Ketua Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas), meneliti kondisi geologi di Tapango. Kala itu, pembukaan lahan sudah masif, tutama di bagian hulu—perbukitan maupun ketinggian.

Kakao memang tanaman hutan, tetapi proses pembukaan tak menjamin daya dukung tanah. Proses itu menyingkirkan vegetasi awal, bikin tanah sekitar berpasir, tak lagi berumput dan tanah yang semula kuat berubah lemah. “Kalau sudah terbuka, maka, berpotensi terjadi erosi ketika hujan,” kata Adi.

“Air tidak langsung masuk ke tanah. Tetapi akan mengerosi permukaan, hingga menyebabkan banyak tanah longsor.”

Bagi Adi, curah hujan bukan satu-satunya biang dari bencana hidrometeorologi. Selain kondisi morfologi dan geologi, menipis tutupan hutan adalah faktor yang perlu diingat.

“Masyarakat memang juga susah disalahkan. Karena itu matapencaharian mereka,” katanya.

Dia bilang, tak bisa juga 100% salahkan pembukaan lahan tetapi harus melakukan dengan tanggung jawab. “Supaya lingkungan tidak rusak.”

Ironisnya, kata Adi, kesadaran orang-orang akan lingkungan hidup terlalu kecil termasuk pemerintah.

Sisi lain, penjarahan hutan di sekitar Kalimbua terus berlangsung secara senyap. Beberapa warga kerap menjumpai bantalan kayu terhampar di tepi jalan. Tak ada yang tahu siapa pemiliknya.

“Biasa jam 2.00 malam, masuk itu truk, angkut bantalan. Satu truk biasa. Jarang masuk dua,” kata Andi. Terakhir dia lihat, Desember 2019.

Andi bilang, di Kalimbua, pernah ada pos polisi hutan. “Selalu ji patroli, tapi barangkali, pengusaha bantalan lebih cerdik, main kucing-kucingan toh. Kita tidak mau menyalahkan kehutanan, tapi tidak mungkin kehutanan tidak tahu.”

 

Menimbang ketatabencanaan Polman

Beberapa daerah di Polman, menyimpan ancaman longsor, terutama di daerah dataran tinggi, macam Anreapi dan Tapango.

“Memang harus melakukan pemetaan secara detil, mana-mana titik yang sangat berpotensi terjadi longsor. Kemudian melakukan mitigasi.”

Apakah pemerintah menjalankan mitigasi? “Saya sebenarnya tidak enak saja mengatakan, bahwa mitigasi nol sama sekali,” kata Adi.

Kegagapan pemerintah menanggulangi bencana seperti adegan yang berulang saban tahun. Seakan tak belajar dari yang sudah terjadi sebelumnya.

Adi berpendapat, sembari mitigasi yang bersifat sporadis dan temporer, dia cenderung memilih hal yang mendasar dan bisa berkepanjangan dengan memasukkan literasi kebencanaan ke dalam kurikulum pendidikan.

Mungkin, lima tahun ke depan, katanya, orang-orang masih berkutat di persoalan yang sama. “Tetapi, kita harapkan, ada generasi ke depan, yang punya literasi bencana tinggi. Hingga, di semua lini kehidupan, ketika mereka berperan, mereka punya mindset yang sama [terhadap kebencanaan].”

 

***

Kawaru dan warga lain kini menghadapi persoalan baru. Rumah buat keluarga mereka sudah hilang. Mereka seperti memulai lembaran baru, seperti ketika dulu Manna baru kembali dari perantauan. Kawaru, begitu juga warga yang lain, tak lagi berani menempati kampung itu, mereka mesti relokasi.

“Kalau dalam hati, saya mau pindah,” kata Kawaru. “Kalau di luar hati, mau pindah, tidak ada tempat. Tidak ada juga dipakai beli. Bupati bilang, mending pindah. Kita mau pindah ke mana?”

 

Kawaeu berdiri di tanah yang dulu lokasi rumahnya yang runtuh terlibas tanah longsor. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

******

Exit mobile version