Mongabay.co.id

Ekowisata Menjanjikan di Hutan Lindung Sungai Lesan

 

 

Hutannya utuh mempesona, tempat hidup berbagai jenis flora dan fauna Kalimantan yang menawan. Begitulah gambaran Hutan Lindung Sungai Lesan dalam video pendek berjudul “Sungai Lesan Protection Forest: Nature dan Ecotourism.” Video itu diputar saat acara Bincang Alam Mongabay Indonesia, Jum’at [29/1/2020], bertajuk Penelitian Berbasis Masyarakat Hutan Lindung Sungai Lesan.

Hutan seluas 11 ribu hektar biasa disebut HLSL. Dalam narasi video itu, dijelaskan ada 200 spesies flora dan 52 spesies mamalia, juga 180 spesies burung, serta 30 spesies reptil dan amfibi hidup di sini.

“Keutuhan dan keanekaragaman hayati, telah memfasilitasi pengembangan hutan ini sebagai tujuan ekowisata internasional. Pengelolanya, bumkam/bumdes, bekerja sama dengan perusahaan ekowisata dari Inggris, Operation Wallacea Ltd. Kegiatannya dimulai sejak 2019,” penjelasan dalam video itu.

Baca: Hutan Lindung Sungai Lesan Terjepit, Ruang Gerak Orangutan Menyempit

 

Burung enggang cula yang memerlukan pohon besar sebagai tempat hidupnya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Bell, Manager Operation Wallacea [Opwall] mengatakan, pada 2019 lalu telah hadir 140 pelajar dan guru dari sekolah yang berasal dari Jepang, Australia, Denmark, dan Swedia.

“Mereka dapat mempelajari hutan, budaya, kuliner, hingga menjalin keakraban dengan penduduk lokal. Ekowisata tentu saja sangat berarti bagi masyarakat tempatan, dapat meningkatkan pendapatan dan kesadaran mereka dalam pengelolaan hutan,” ujarnya dalam video itu.

“Orang yang dulunya hanya datang ke Pulau Derawan, sekarang dapat menginap semalam di hutan, lalu bangun pagi dan melihat orangutan di alam liar,” tambah Tim Cole, Direktur Opwall.

Dalam video itu, Yusrianto, Kepala Kampung Lesan Dayak mengatakan, adanya ekowisata meningkatkan ekonomi masyarakat sekaligus menjaga hutan dari kegiatan merusak. “Masyarakat mendapat keuntungan dengan kegiatan,” katanya dalam video yang diproduseri Ujang S Irawan dengan editor Irpan.

Edi Purwanto, Direktur Operasi Wallacea Terpadu [OWT] mengatakan, ekowisata bisa menjadi solusi penting, menggabungkan antara pemanfaatan lingkungan dan pengembangan mata pencaharian masyarakat secara berkelanjutan. Dengan syarat pendapatan ini tidak hanya satu atau dua bulan, tapi sepanjang tahun.

“Kita perlu bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Berau, KPH Berau Barat, pemerintah desa, bumdes dan masyarakat untuk mempromosikan dan mengelola HLSL sebagai tujuan wisata. Dengan ini peluang untuk melestarikan HLSL tercapai,” tegasnya.

Baca juga: Satwa Langka di Ibu Kota Baru Indonesia

 

 

Cerita menarik

Nanda Indah Dian Lestari, Peneliti Hutan Lindung Sungai Lesan menjelaskan, secara administratif hutan ini terletak di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.

“Sebenarnya HLSL merupakan area penggunaan lain, karena tingginya keanekaragaman hayati, tahun 2014 ditetapkan sebagai hutan lindung. Di sini ada orangutan kalimantan, bahkan menjadi daerah pelepasliaran setelah direhabilitasi oleh Centre for Orangutan Protection [COP],” ujarnya.

Untuk bisa ke hutan ini, wisatawan bisa melalui empat pintu masuk: Desa Lesan Dayak, Desa Sidobangen, Desa Muara Lesan, dan Desa Merapun. “Ada Air Terjun Gorila, favorit wisatawan.”

Nanda menyatakan, Opwall merupakan organisasi yang fokus pada ekspedisi penelitian keragaman hayati. Tujuan utamanya, ekowisata. Sudah ada 200 akademisi dan 75 lebih kandidat PhD meneliti HLSL dan melakukan over published papers di peer reviewed journal.

“Opwall memiliki program di 13 negara yang tidak hanya di negara tropis. Di Indonesia, terdapat dua hutan penelitian yakni Lambusango, Bau-Bau, Sulawesi dan di HLSL. Lokasi HLSL berdekatan dengan permukiman warga Lesan Dayak,” ungkapnya.

Penelitian yang dilakukan adalah terkait survei burung [bird survey], mamalia kupu-kupu, reptil dan amfibi [herpetofauna], kelelawar, dan struktur komunitas tumbuhan [habitat]

Menurut Nanda, masyarakat juga diberikan kesempatan mempromosikan budaya, seperti tari budaya Dayak yang unik. Selain itu, warga juga menyiapkan rumahnya sebagai homestay, untuk wisatawan menginap.

“Masyarakat diajak terlibat ekowisata ini. Selain itu mereka juga bisa menjadi pemandu, untuk melihat langsung flora dan fauna,” ungkapnya.

 

 

Hasil penelitian

Nanda menjelaskan, di HLSL masih ditemukan pohon-pohon tempat bersarangnya orangutan dan juga satwa lainnya.

“Beberapa satwa yang terlihat juga adalah rangkong dan bekantan. Selama penelitian sering terjadi perjumpaan langsung dengan orangutan liar maupun hasil pelepasliaran.”

Hasil penelitian Nanda tentang kupu-kupu pun telah dibukukan. Judulnya, Butterflies of The Lesan River Protection Forest, Borneo, disusun bersama Roy Wiles, senior entomologist.

Sejauh ini, hutan yang berada di ujung timur Kalimantan tersebut tetap memilik ancaman. Sebut saja adanya eksploitasi, land clearing, serta hadirnya perkebunan sawit.

Nanda berharap, adanya ekowisata bisa mempertahankan kekayaan HLSL. Untuk itu, perlu dipersiapkan infrastruktur yang baik.

“Diakui atau tidak, masyarakat merasakan dampak positif ekowisata dari sisi ekonomi, sosial, dan lainnya. Ekowisata merupakan kunci perlindungan hutan yang dilakukan langsung masyarakat,” paparnya.

 

 

Exit mobile version