Mongabay.co.id

Menyoal Banjir Kalimantan Selatan, Bagaimana Upaya Mitigasi?

 

 

 

 

Banjir dan longsor Kalimantan Selatan, menyisakan beban bagi warga terdampak. Puluhan ribu warga harus mengungsi, ratusan ribu jiwa terdampak. Sampai awal Februari saja, masih ada lima kabupaten terendam banjir, yakni, Barito Kuala, Tanah Laut, Banjar, Tabalong dan Hulu Sungai Tengah. Pemerintah Kalsel pun kembali memperpanjang masa tanggap darurat bencana banjir sampai 10 Februari 2021.

M Fazeri, Koordinator Tim Advokasi Hukum Korban Banjir Kalsel menyebutkan, ratusan warga akan menggugat Gubernur Kalsel atas bencana di 11 kabupaten. Dua dasar pengajuan gugatan class action, katanya, pertama, lantaran pemprov dinilai lalai, tidak ada peringatan dini terkait bencana banjir.

Kedua, pemerintah dinilai tidak sigap menangani korban banjir. Bahkan, otoritas setempat juga dianggap lamban mengirimkan bantuan.

“Hingga banyak korban evakuasi mandiri dan kekurangan bahan pokok makanan,” katanya.

Bencana banjir yang melanda 11 dari 13 kabupaten di Kalsel memberikan dampak signifikan. Total korban yang terdampak sejak 12 Januari lalu, mencapai 633.723 jiwa, 30 jiwa meninggal dunia.

“Total kerugian sampai Rp1,127 triliun. Sejauh mana dampak bencana itu bisa menimbulkan kerugian, dalam sekejap investasi yang sudah dilakukan bisa hilang bilamana terjadi bencana,” kata Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Rincian kerugian itu, katanya, nilai kerusakan, Rp858 miliar dan kerugian Rp296 miliar.

Sepanjang 2018-2020, berdasarkan catatan BNPB, Kalsel telah mengalami 73 kali banjir. Jumlah terus meningkat setiap tahun. Pada 2019, alami banjir 15 kali, 2019 (20 kali) dan 38 kali pada 2020.

 

Baca juga: Tak Hanya soal Cuaca, Banjir Parah Kaliamantan Selatan karena Alam Rusak

 

Masalah tata ruang

Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Universitas IPB mengatakan, bencana hidrometeorologi, seperti banjir merupakan akumulasi permasalahan tata ruang yang terjadi sejak lama.

“Ini sifatnya tidak tunggal, terakumulasi dari waktu ke waktu dan memiliki periode yang panjang,” katanya.

Keterbukaan informasi soal sektor tata ruang, katanya, menjadi satu jalan keluar dalam permasalahan ini. Bencana berulang karena faktor aktivitas manusia ini, katanya, tidak dapat selesai oleh satu pihak. Apalagi, dampak yang ditimbulkan tidak terlihat pada saat itu saja.

Sebelumnya, dalam rilis LAPAN, 17 Januari mengatakan, hasil analisis mereka penyebab banjir di Kalsel karena ada penyempitan kawasan hutan hingga meningkatkan risiko banjir.

Kondisi itu terjadi dalam 10 tahun terakhir. Data tutupan lahan Kalsel menunjukkan dari 2010-2020, terjadi penyusutan luas hutan primer (13.000 hektar), hutan sekunder (116.000 hektar), sawah (146.000 hektar), dan semak belukar (47.000 hektar).

Area perkebunan di wilayah itu bertambah sekitar 219.000 hektar dari 2010-2020. “Perubahan penutup lahan dalam 10 tahun ini dapat memberikan gambaran kemungkinan banjir di DAS Barito, “ kata M Rokhis Khomaruddin, Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN. Kondisi ini, katanya, bisa jadi sebagai satu masukan untuk mendukung upaya mitigasi bencana banjir di kemudian hari.

Soelthon Gussetya Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia mengatakan, kerusakan hutan salah satu faktor akumulasi dari penyebab banjir besar di Kalsel.

“Penting ada permodelan banjir hingga jika terjadi perubahan iklim, semua pemangku kepentingan tidak gagap menghadapi. Perlu juga analisis akar masalah banjir yang berulang.”

Dedi Mulyadi, Wakil Ketua Komisi IV DPR mendesak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk audit lingkungan, terutama soal pemberian izin alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan oleh lembaga independen kredibel. Hasil audit, katanya, dibuka secara transparan ke publik.

Berbicara bencana, katanya, tidak hanya satu provinsi, tetapi juga provinsi sekitar, terutama yang berada di sekitar DAS Barito. “Itu kan satu kesatuan ekologis. Inilah yang saya sampaikan bahwa RTRW itu harus dibuat per pulau, bukan dipecah-pecah per kabupaten, kota, nanti kepentingan jadi berbeda-beda. Tidak terintegrasi,” katanya.

 

 

Baca juga: Kala Hutan Gundul, Pulau Lombok dan Sumbawa jadi Langganan Banjir

 

Dia juga meminta KLHK tidak hanya berfokus pada izin perkebunan dan pertambangan legal. Pasalnya, banyak izin ilegal. Dia sebutkan, di Kalsel, perkebunan ilegal sekitar 370.282,14 hektar, dan penambangan ilegal 84.172,01 hektar.

Menurut Dedi, jarang para pemimpin di daerah yang memiliki komitmen lingkungan, banyak yang memiliki koneksitas dengan para pemilik kebun dan tambang. Dengan begitu, katanya, pengawasan di daerah sangat sulit.

“Saya berulang-ulang minta KLHK proaktif koordinasi dengan Menteri ESDM. Lalu menteri ATR/BPN, Bappenas, KPUPR. Tata ruang yang kita susun ini tidak sesuai. Tata ruang harus diperbaiki dulu. “

 

Berbagai faktor

Kiki, prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, saat banjir Kalsel, curah hujan dengan intensitas ringan sampai ekstrem yang terjadi sejak 10 Januari.

Pada 8-14 Januari lalu, BMKG sudah mengatakan, ada potensi cuaca ekstrem mingguan di Kalsel. “Pada 11-12 Januari bahkan telah dikeluarkan 12 peringatan dini hujan lebat,” kata Kiki dalam diskusi terfokus banjir Kalsel.

Kondisi atmosfer global dan regional pun, katanya, sangat mendukung dengan ada La Nina moderat. BMKG pun memprediksi La Nina masih aktif sampai 2021.

Efeknya, katanya, lebih signifikan ketika kondisi atmosfer mendukung. “Tanpa La Nina pun kita sudah banyak hujan, jadi kita harus waspada sampai akhir Februari ini.”

Perdinand, akademisi dari Institut Pertanian Bogor mengatakan, rata-rata curah hujan normal di Indonesia 50 mm per hari, curah hujan di Kalsel pada Februari mencapai 255,3 mm per hari. Jumlah itu, katanya, lebih tiga kali dari curah hujan normal atau terjadi cuaca ekstrem hingga terjadi bencana hidrometeorologi.

“Banjir akumulatif air hingga mungkin melebihi kapasitas tampung. Kita tidak menisbihkan tata guna lahan itu juga berdampak pada kejadian banjir, tapi kita juga tidak bisa mengatakan curah hujan tidak berdampak pada kejadian ini,” katanya

Berdasarkan data Stasiun Iklim Banjarbaru 1973-2015, curah hujan rata-rata 35 mm per hari. BMKG mencatat, curah hujan di Kalsel per 10 Januari sekitar 174 mm per hari.

Secara geologis, kata Kiki, wilayah Kalsel memiliki potensi genangan air luas karena terdapat banyak rawa, sungai atau kali.

Saparis Soedarjanto, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai KLHK mengatakan, DAS Barito Kalsel merupakan wilayah tengah hingga hilir.

“Dari analisa, kita bisa yakin, hujan yang jatuh di (wilayah) tengah (DAS) dan hilir itu cukup besar. Jadi kita lihat ini akumulasi hujan cukup besar dengan durasi beberapa hari. Ini mendorong tingkat kejenuhan sangat tinggi,” katanya.

Dia bilang, agak bias kalau menggunakan analisa dari hulu. Perubahan area hutan terbesar selama 2011-2019, bukanlah untuk area pertambangan. Pertambangan hanya 2% atau 37.200 hektar. Paling besar, katanya, untuk lahan pertanian berupa lahan kering campur semak atau lahan kering seluas 325.730 hektar. Pada urutan ketiga ditempati lahan perkebunan seluas 236.917 hektar.

Dari 1,8 juta hektar luas DAS Barito di Kalsel, area hutan tersisa 18,2% atau 333.149 hektar. Dengan rincian hutan alam 274.277 hektar dan hutan tanaman 58.872 hektar.

Hutan alam itu terdiri dari hutan lahan kering sekunder 245.947 hektar, hutan lahan kering primer 25.240 hektar, hutan rawa sekunder 2.892 hektar. Kemudian, hutan mangrove sekunder 114 hektar, dan paling sedikit hutan mangrove primer 84 hektar.

KLHK, katanya, sudah rehabilitasi terhadap lahan yang terdegradasi di DAS Barito, Kalsel sekitar 70.083 hektar.

 

 

Pemulihan lingkungan

Secara terpisah, Sahbirin Noor, Gubernur Kalsel mengatakan, banjir Kalsel pada awal 2021 terparah sepanjang sejarah dalam kurun 100 tahun terakhir. “Banjir disebabkan berbagai macam faktor, antara lain morfologi lahan, anomali cuaca, alih fungsi lahan dan pengelolaan drainase belum optimal,” katanya.

Pemerintah Kalsel, katanya, tidak pernah lagi megeluarkan izin tambang maupun perkebunan dan kehutanan, sesuai dengan moratorum hutan primer dan lahan gambut. “Semua untuk melindungi fungsi lingkungan di Kalsel agar tetap lestari.”

Bersama KLHK, akademisi dan pemangku kepentingan terkait berupaya melakukan langkah-langkah pemulihan.

“Kami segera mengambil langkah serius terkait pemulihan lingkungan yang sudah mulai dirintis dengan cara penanaman pohon besar-besaran, pembangunan kebun persemaian modern di beberapa tempat,  tata kelola gambut, rehabilitasi mangrove, Saat ini harus ketat reklamasi dan rehabilitasi eks lahan tambang,” kata Alue Dohong, Wakil Menteri LHK.

Dia bilang, ada lima aspek dalam upaya pemulihan lingkungan banjir Kalsel. Pertama, perencanaan detail terkait kegiatan, dengan kejelasan lokus, tata waktu, siapa yang bertanggung jawab, dan anggaran. Dalam upaya penyusunan aspek perencanaan ini, kata Aloe, harus didukung data kuat dan kerjasama antara KLHK dan Pemprov Kalsel, termasuk penyiapan sistem diteksi dini tentang banjir.

Kedua, rekayasa teknis terhadap aspek regulatif dan penataan ruang, antara lain, membuat bendungan, daerah tangkapan air, dan normalisasi sungai, termasuk Perda Jasa Ekosistem Kalsel.

Ketiga, vegetatif, dengan rehabilitasi DAS, konservasi tanah dan air, penanganan lahan kritis dan agroforestri. Keempat, aspek sosial, ada sosialisasi, pelibatan masyarakat, dan komunikasi, serta membangun database yang bagus hingga tidak terjadi simpang siur informasi. Keempat, aspek kelembagaan terkait kelembagaan KLHK dan Kalsel.

“Selain kelima aspek tadi, juga perlu langkah mitigasi yang sangat segera, berupa tindakan aksi jangka pendek segera, seperti kebutuhan pengungsi dan penataan lingkungan.”

 

******

Foto utama:  Evakuasi dan penyaluran bantuan kepada korban banjir Kalsel. Foto: BNPB

Exit mobile version