Mongabay.co.id

Warga Rembang Keluhkan Pembuangan Limbah Sawit

 

 

 

 

Sebuah kapal tongkang merapat di Pelabuhan Rembang, Jawa Tengah, April 2020. Kapal yang bertolak dari Pelabuhan Kuala Tanjung, Riau, itu membawa limbah industri sawit, berupa spent bleaching earth (SBE).

Material limbah padat ini dihasilkan dari proses penyulingan minyak sawit dan bahan oleochemical lain. Dari penelusuran, SBE telah dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya beracun (B3), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101/2014.

Kapal lalu bongkar muat di Pelabuhan Rembang. Selanjutnya muatan dipindahkah ke dalam truk khusus dan bergerak menuju Dusun Nganguk, Desa Gandrirojo, Kecamatan Sedan, Rembang. Muatan padat berbentuk seperti tanah itu lalu dibuang di lahan milik satu perangkat desa.

Sebelum berhasil menurunkan seluruh muatan, warga memprotes aktivitas itu. Selanjutnya, truk menurunkan sisa muatan di tempat lain, yaitu di Desa Sudan, Kecamatan Kragan, Rembang.

Boma Subkhan, dari Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Rembang (FMPLR) menerangkan, aktivitas membuang limbah berbahaya itu ternyata masih berlanjut.

Pada bulan sama, kapal tongkang kedua berlabuh di Pelabuhan Rembang membawa material limbah.

Kembali aktivitas itu ditentang sejumlah warga, yang menuntut agar pembuangan limbah setop. Mereka menuntut material yang sudah terlanjur diturunkan agar dimuat kembali. Penerima kuasa berjanji mengambil limbah yang sudah diturunkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan.

Selanjutnya, truk bergerak ke tempat lain dan membuang sisa material ke sebuah lahan bekas tambang galian C di Desa Sendang Mulyo, Kecamatan Sluke, Rembang.

Pada Mei, kembali terjadi aktivitas bongkar muat limbah di Pelabuhan Rembang, yang berasal dari tongkang bermuatan SBE. Muatan lalu dibuang di sebuah lahan di Desa Jatisari, Kecamatan Sluke, Rembang.

Data yang didapatkan FMPLR, sekitar 27.000 ton limbah dibuang di tiga kecamatan, yaitu di Kragan, Sluke, dan Sedan.

Warga kini mengeluhkan tanaman di sekitar area pembuangan mati. Begitupun ternak yang sempat meminum air yang tercemar limbah. Mereka lalu berkirim surat ke DPRD Rembang mengadukan masalah ini.

Pada 14 Oktober 2020, diadakan audiensi difasilitasi DPRD Rembang, yang menghadirkan perwakilan warga terdampak, LSM, dan dinas terkait. Pada audiensi pertama ini terungkap, Dinas Lingkungan Hidup Rembang tidak pernah memberikan izin terkait pembuangan material limbah itu.

Pada audiensi kedua, Kamis, 12 September 2020, sebanyak 35 orang dari empat desa menghadiri acara di gedung DPRD. Selain mengeluhkan ternak mati, warga juga protes bau menyengat dari timbunan limbah. Mereka minta ketegasan aparat terkait untuk menghentikan aktivitas pembuangan limbah B3, mengusut pelaku, dan menuntut ganti rugi.

 

Jalan kaki

Lilik Yuliantoro, pada Rabu, 20 Januari 2020, membulatkan tekad jalan kaki menuju Jakarta dari Rembang, yang berjarak 600 km. Dia hanya menyiapkan bekal seadanya.

Tas ransel berisi pakaian ganti dan berkas-berkas. Tak lupa dia membawa bendera Merah Putih sebagai simbol perjuangan. Di dadanya terkalung tulisan “Aksi Jalan Kaki, Tolak Puluhan Ribu Ton Limbah B3, Rembang, Jawa Tengah.”

Kalau sampai di Jakarta, dia berencana menemui Presiden Joko Widodo dan menyerahkan berkas aduan warga terkait pembuangan limbah di Rembang itu.

 

Lilik Yuliantoro, etika bertemu Gubernur Jawa Tengah. Gubernur berjanji tindaklanjuti kasus limbah sawit itu. Foto: dokumen Lilik Yuliantoro

 

Ini bukan pertama kali dia melakukan aksi. Setidaknya, dia pernah aksi jalan kaki mundur sejauh tiga kilo meter pada awal Desember lalu. Aksi jalan mundur mulai dari Kantor KPU Blora menuju Bawaslu Blora, berakhir di Kantor DPRD Blora. Aksi itu untuk merespon gelaran pilkada di Blora yang rawan pelanggaran.

Pada 2018, diapun pernah aksi jalan kaki Blora-Jakarta, membawa berkas laporan terkait kasus korupsi. Sesampai di gedung KPK setumpuk berkas itupun diserahkan ke komisi anti rasuah itu.

“Hari ini, saya berangkat menuju Jakarta, tujuan Istana Negara bertemu Pak Presiden Jokowi. Saya bermaksud menyampaikan aspirasi masyarakat yang resah atas kondisi pencemaran limbah yang terjadi di Sluke, Rembang ini,” kata Lilik kepada sejumlah wartawan, sebelum berangkat.

Rute yang dilalui Lilik, berangkat dari DPRD Rembang, menuju Pati, Kudus, Demak. Selanjutnya Semarang, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, dan Brebes. Lalu, masuk ke Jawa Barat, mulai dari Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, dan Bekasi. Selanjutnya, menuju Pulogadung, Cempaka Putih, Pasar Senen, berakhir di Istana Merdeka.

Di beberapa kota yang dia singgahi, Lilik menerima titipan berkas aduan untuk disampaikan kepada pejabat yang berwenang. Misal, ketika sampai di Kudus, dia mendapat titipan berkas kasus PT Enggal Subur Kertas. Warga mengeluhkan pencemaran udara dan air dari aktivitas pabrik yang berlokasi di Jalan Kudus-Pati km 12 itu.

Di Rembang, aksi Lilik didampingi Koalisi Indonesia Lestari (Kawali) Jawa Tengah. Heri Hermawan, Ketua Kawali mengatakan, selama April mendapat aduan masyarakat terkait puluhan ribu ton limbah B3 dari luar Jawa.

Bau menyengat, limbah cair mencemari tanah. Kasus sudah dilaporkan ke Polres Rembang pada Oktober 2020, bahkan audiensi dengan pihak terkait sudah dua kali, namun hingga kini harapan warga tak kunjung terpenuhi.

Setelah lima hari berjalan kaki, Lilik pun tiba di Semarang dan bertemu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada Senin, 25 Januari lalu. Dia bertemu Gubernur di Kantor Pemprov Jateng. Diapun menyerahkan berkas aduan warga bersampul merah terkait pembuangan limbah B3 di Rembang kepada Ganjar.

Pada Sabtu, 30 Januari, Lilik yang coba dihubungi lewat ponsel bilang, sedang sakit. Dari foto yang dikirim, punggungnya penuh bekas kerokan.

Beberapa waktu lalu, Lilik menjelaskan ke sejumlah wartawan kalau aksi jalan kaki Rembang-Jakarta itu atas inisiatif pribadi, murni semata-mata ingin menyampaikan permasalahan limbah B3 kepada pihak-pihak terkait.

“Saya tergerak secara pribadi untuk memperjuangkan ini karena limbah yang begitu hebatnya, terkesan tidak mendapat perhatian khusus dari pihak terkait,” kata Lilik. Dia memilih jalan kaki karena itu simbol perjuangan dari para leluhur.

Lilik sudah datang ke lokasi pembuangan limbah, dan mendengar sendiri keluh kesah warga. Dampak keberadaan limbah di lahan terbuka amat mengganggu, terlebih sebelumnya warga beraktivitas di sekotar lokasi untuk bertani.

“Ketika melihat limbah di Desa Jatisari, Kecamatan Sluke, Rembang, sangat memprihatinkan. Saya sendiri merasakan dan datang langsung ke lokasi.”

“Saya rasakan, belum ada 10 menit kepala sudah pusing, berlarut hingga dua hari sebelum aksi jalan kaki. Kalau yang saya rasakan seperti itu, pasti sama yang dirasakan masyarakat sekitar terdampak limbah,” kata Lilik melalui pesan tertulis ketika dihubungi Mongabay.

Dari kesempatan berbincang dengan warga terdampak itu, hati Lilik terketuk lalu memutuskan aksi jalan kaki.

“Saya melihat kesedihan warga. Ketika terdampak mengakibatkan ternak mati, tanaman cengkih mati. Di situ ada air mata yang memanggil untuk aksi saya, dan harus diperjuangkan agar masyarakat mendapat ganti rugi dan limbah disingkirkan.”

Dia bilang, selama aksi jalan kaki hanya bawa dua stel baju, dan uang Rp100.000.

“Respon warga selama perjalanan Alhamdulillah baik, dan mendapat support doa dari masyarakat yang saya lalui sepanjang perjalanan menuju Semarang. Terimakasih atas doa masyarakat Rembang dan khususnya yang terdampak.”

Lilik akhirnya mengurungkan aksi jalan kaki hingga ke Jakarta. Alasannya, usai bertemu Gubernur Jawa Tengah, berjanji persoalan Rembang bakal ditindaklanjuti.

“Aksi jalan kaki saya cukup sampai di Semarang. Allhamdulilah, dapat respon baik dari Bapak Gubernur dan segera ditindaklanjuti.”

Dia berharap, persoalan limbah segera diusut dan tuntas. Siapapun yang terlibat harus bertanggungjawab.

“Apabila masih belum ditangani akan melanjutkan aksi jalan kaki lagi.”

 

Rugikan petani

Boma Subkhan, mewakili warga menguraikan, penolakan warga terhadap pembuangan limbah sudah terjadi sejak awal. Boma dihubungi Mongabay 31 Januari itu mengatakan, dibuang di Desa Gandrirojo, Sedan, Rembang, warga tegas menolak. Pembuangan limbah lantas pindah ke Desa Sudan, Kecamatan Kragan.

“Ditolak warga kemudian pindah ke Sudan. Di sana, warga juga tidak mau. Warga menuntut limbah yang sudah dibuang dipindah selambat-lambatnya tiga bulan,” kata Boma.

Awalnya, dia diminta membantu mempertemukan warga dengan pemilik limbah. Saat itu, mereka mengatakan material yang dibuang bukan limbah tetapi bungkil sawit.

“Saya sempat dimintai tolong yang di Jatisari sama koordinatornya. Saya dimintai tolong untuk mempertemukan masyarakat. Tapi saya tidak ikut di dalamnya. Lalu, saya pertemukan, kita nyambungkan saja.”

Boma belakangan mengetahui kalau ternyata yang dibuang adalah limbah penyaringan sawit. Dia menggambarkan, bentuk seperti tanah liat, bau sangat tajam. Dari tongkang yang mengangkut juga diketahui limbah itu dari Kuala Tanjung, Riau.

“Kalau bungkil sawit saya malah mau beli, ternyata itu limbah penyaringan. Bentuknya tanah liat. Kelihatan seperti pasir, semacam kuarsa. Bau sangat tajam, menyengat. Tengik kata orang Jawa.”

Ketika sosialisasi di tingkat desa, warga tidak diberi tahu kalau material yang dibuang adalah limbah berbahaya. Apalagi disebutkan hanya titip buang sampah.

“Warga mendukung karena waktu sosialisasi kepala desa tidak menyatakan itu limbah. Titip buang sampah, mau diambil lagi. Sampah tidak berbahaya dan sudah ada izin. Seandainya barang ini ilegal pasti tidak mungkin bisa sampai ke Rembang. Jadinya warga menerima.”

 

Lokasi tumpukan limbah sudah diberi police line. Warga berharap, persoalan limbah sawit ini segera teratasi. Foto: Lilik Yuliantoro

 

“Kalau kita datang ke sana, dijamin 10 saja, pusing hilangnya sampai dua hari. Sampai sekarang pun bisa dicek di lokasi, padahal sudah hampir setahun, 10 bulan lebih. Kemarin saya ke sana lagi, cek apa baunya sudah hilang. Ternyata belum.”

Saat musim hujan, limbah yang semula berwarna hitam kini mulai luntur menjadi coklat tua. Wujud serupa tanah. Dampaknya, air mencemari pertanian di sekitar lokasi pembuangan.

“Yang di Sluke air meluber ke pertanian warga. Itu di atas bukit. Meluber liar. Kemarin saya dilapori tetangga, tanaman pada mati. Terutama bawang merah, terus padi, cengkih sekarang ratusan tanaman pada mati. Tetapi tanaman lain itu tidak begitu berpengaruh, hanya jenis-jenis tertentu,” katanya.

Boma juga menjadi Ketua Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Rembang menjelaskan, warga yang melapor ada 43 orang. Mereka resah karena dampak bau masih terasa hingga kini, juga kerugian karena tanaman pertanian dan ternak mati gara-gara limbah. Meski lokasi pembuangan jauh dari permukiman, namun tidak berarti tidak mengganggu.

“Tempatnya memang jauh dari permukiman warga. Tapi di sekitarnya banyak perkebunan, ladang masyarakat, yang aktif di sana. Aktvitas warga banyak di ladang.”

Mewakili warga, dia berharap pihak berwenang merealisasikan tuntutan warga terlebih hampir satu tahun kasus itu berlalu namun belum ada kemajuan berarti.

Usai mengadakan audiensi kedua pada September itu antara warga dengan pihak-pihak terkait, sebenarnya sudah mengirim laporan ke Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Juga sudah ada petugas Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, datang ke lokasi. Sayangnya, dia bilang tidak menemui warga.

Limbah industri sawit dibuang di Pulau Jawa seperti terjadi di Rembang, ternyata bukan pertama kali terjadi. Dari penelusuran, kasus pembuangan SBE pernah terjadi di sejumlah titik di sekitar Rumah Susun Marunda, Jakarta Utara. Warga, awal Januari 2019 mengeluhkan, bau menyengat timbul dari gundukan limbah itu. Selain berbau, limbah juga mudah terbakar.

Menurut Boma, pembuangan limbah SBE ini juga pernah terjadi di Kabupaten Pati, juga ditolak warga.

Pemerintah tengah mengkaji untuk mengecualikan limbah ini jadi limbah biasa. Dalam PP Nomor 110/2014 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), SBE kategori sebagai limbah B3 kategori bahaya dua.

Kalangan industri bersemangat melobi pemerintah untuk mengubah aturan yang mengkategorikan sebagai limbah berbahaya dan beracun.

Seiring jumlah produksi minyak sawit Indonesia yang terus meningkat, begitupun dengan limbah SBE ini. Kalau pada 2017, produksi SBE Indonesia mencapai 184.162 ton, pada 2018 jadi 637.476, dan 2019 bertambah jadi 778.894 ton.

Selain masih mengandung minyak, SBE juga ada pasir silika yang kalau terbawa angin debu bisa berpengaruh terhadap kualitas kesehatan masyarakat. Selain minyak, limbah SBE mengandung logam berat. Bukan hanya berbahaya bagi manusia, limbah SBE juga mencemari tanah, dan air.

 

Tumpukan limbah sawit dibuang di sekitar lahan pertanian warga di Rembang. Foto: Lilik Yuliantoro

 

 

Exit mobile version