- Hasil pantauan Jurnal Celebes menunjukkan bahwa di masa pandemi COVID-19 aktivis pembalakan liar (illegal logging) di Sulsel meningkat.
- Dari sembilan kasus penangkapan kayu ilegal yang dicatat selama pandemi, hampir semua yang diproses hukum adalah masyarakat yang tertangkap tangan menebang atau mengangkut kayu.
- Publik curiga penanganan kasus pembalakan liar dilakukan dengan tidak tegas, tidak memberi efek jera terhadap kejahatan kehutanan ini.
- Salah satu solusi yang ditawarkan Jurnal Celebes adalah adanya pengawasan paralel antar institusi pemerintah dan masyarakat lokal/masyarakat adat merupakan salah satu solusi di tengah pandemi.
Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) di Sulawesi Selatan meningkat pada masa pandemi COVID-19. Sepanjang tahun 2020 terdapat 9 kasus illegal logging yang diproses secara hukum. Pebisnis atau penjual kayu disinyalir memanfaatkan situasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (SBB) untuk melakukan pembalakan karena situasi dianggap relatif aman.
Bahkan, berdasarkan hasil pemantauan para pemantau independen dampingan Jurnal Celebes di beberapa kabupaten, ditemukan indikasi kejahatan illegal logging dilakukan dengan melibatkan atau bekerja sama dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan. Pengusaha atau pengepul kayu memanfaatkan orang-orang lokal untuk melakukan penebangan.
“Pada masa pandemi, baik pihak pengusaha maupun masyarakat, yang sama-sama terdesak kebutuhan, bersimbiosis melakukan pembalakan liar. Sama-sama memanfaatkan situasi, ketika intensitas pengawasan hutan menurun karena berlakunya PSBB COVID-19,” ungkap Direktur JurnaL Celebes, Mustam Arif, dalam diskusi media bertema ‘Potret Kehutanan Sulsel di Masa Pandemi’ di Kafe Baca, Makassar, Sabtu (30/1/2021).
Modusnya, batang kayu yang ditebang dikumpulkan di tempat tertentu, lalu diangkut truk ke tempat pengumpulan setelah dari hutan, atau langsung ke industri pengolahan kayu, atau tempat penggergajian.
Dari hasil pemantauan kegiatan yang didukung FAO-FLEGT Programme ini, ada indikasi masyarakat lokal yang terlibat dalam jual beli kayu memiliki resiko hukum tinggi dibanding pengusaha atau pembeli kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat lokal.
“Ketika pelaku lapangan diketahui petugas, yang ditangkap dan diproses hukum adalah pelaku warga masyarakat. Masyarakat yang menebang kayu, kalau tidak sempat melarikan diri akan ditangkap petugas. Diproses hukum sampai ke pengadilan. Sementara pihak pengusaha jarang tersentuh hukum. Padahal mereka sebenarnya adalah pemilik kayu ilegal,” tambah Mustam.
baca : Di Tengah Pandemi, Kasus Tambang Emas Ilegal di TN Bogani Nani Wartabone Dilimpahkan ke Kejaksaan
Pemantau juga menduga terdapat kesepakatan untuk tutup mulut antara penjual dan pembeli dengan kompensasi tertentu. Dugaan lain, penebang kayu dari masyarakat setelah ditangkap petugas, tidak bisa mengungkap siapa yang mengajak kerja sama melakukan pembalakan liar karena sudah hilang jejak.
“Pemantau menduga pelaku kejahatan dari pihak pembeli atau pengusaha kayu dengan cara ilegal, menggunakan pola ‘rantai putus’ untuk menghilangkan jejak,” jelas Mustam.
Dari sembilan kasus penangkapan kayu ilegal yang dicatat JurnaL Celebes selama pandemi, hampir semua yang diproses hukum adalah masyarakat yang tertangkap tangan menebang atau mengangkut kayu. Umumnya mereka diminta atau bekerja sama dengan pembeli atau pengusaha kayu.
Sedangkan pihak yang menggunakan jasa warga, hampir semuanya lolos dari jerat proses hukum. Kecuali, kasus perusakan hutan di kawasan konservasi Komara, Takalar. Setelah seorang warga diproses hukum sampai vonis pengadilan sebagai pelaku, pihak kepolisian mengembangkan kasus ini. Akhirnya menetapkan tersangka dan menahan seorang tokoh masyarakat yang juga Wakil Ketua DPRD Kabupaten Takalar.
Proses Hukum Masih Senyap
Mustam menjelaskan bahwa kasus-kasus illegal logging di masa pandemi ini telah diproses secara hukum. Pada tahap awal, Petugas Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi menangkap pelaku, memproses kemudian diserahkan ke kepolisian. Ada kasus yang diproses sampai pengadilan, namun ada juga dihentikan karena dianggap tidak cukup bukti.
Namun, publik jarang mengetahui seperti apa penyelesaian hingga kasus pembalakan liar atau kayu peredaran kayu ilegal. Penyelesaian akhir kasus-kasus hukum ini juga menjadi senyap karena selalu luput dari pantauan media.
Media dinilai hanya ramai memberitakan kasus dalam tahap awal ketika ada penangkapan dan proses hukum di Gakkum KLHK atau kepolisian. Proses hukum tersebut, perlahan-lahan senyap, dan masyarakat sudah tidak mengetahui keputusan akhir. Situasi ini sering menimbulkan kecurigaan publik bahwa penanganan kasus pembalakan liar dilakukan dengan tidak tegas, tidak memberi efek jera terhadap kejahatan kehutanan ini.
“Salah seorang penyidik dari Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi pada lokakarya yang kami lakukan pada akhir tahun 2020 lalu mengemukakan kondisi ini terjadi karena masih tidak sinkronnya proses hukum dalam kasus kejahatan kehutanan, sebab proses hukum kerap berakhir di institusi penegak hukum tertentu,” tambah Mustam.
baca juga : Menyoal Illegal Logging dan Penegakan Hukumnya di Kawasan TN Kerinci Seblat
Pembalakan Masif di Luwu Timur
Dari data hasil pantauan ini, salah satu aktivitas pembalakan liar dengan intensitas tinggi terjadi di Kabupaten Luwu Timur, terutama di kawasan Mahalona Raya. Sejak pertengahan 2020, bunyi mesin chainshaw masih kerap terdengar di kawasan ini. Di sepanjang jalan ke Mahalona atau di desa-desa di kawasan Mahalona.
Truk-truk mengangkut kayu bermuatan kayu log mondar-mandir setiap hari maupun terparkir di halaman rumah penduduk dengan muatan kayu log. Bila menelusuri jalan dari Wawondula, ibukota Kecamatan Towuti ke kawasan Mahalona, akan menjumpai truk bermuatan kayu bulat atau kayu setengah jadi terseok-seok beban muatan. Di jalan antar desa di Kawasan Mahalona, hampir setiap hari juga menjumpai warga yang membawa chainshaw.
Meski kondisi ini sudah lama terjadi di kawasan Mahalona namun intensitasnya meningkat sejak pandemi COVID-19.
“Selain ekspansi perkebunan dan pemukiman, deforestasi cukup parah di Kecamatan Towuti, juga akibat masifnya masyarakat membabat hutan untuk menam merica. Komoditi ini sejak beberapa tahun terakhir, harganya mahal meski fluktuatif. masyarakat di Luwu Timur sangat antusias menanam merica,” jelas Mustam.
Kawasan Mahalona Raya sendiri dapat ditempuh dari Wawondula, Ibukota Kecamatan Towuti sekitar 20 kilometer melewati kawasan hutan yang sudah terdegradasi, di antara Danau Towuti dan Danau Mahalona, dua dari tiga danau (satu adalah Danau Matano) merupakan rangkaian danau tektonik di kawasan Kompleks Danau Malili. Kawasan dengan empat desa ini berbatasan dengan Morowali, Sulawesi Tengah.
Sesuai informasi, truk-truk pengangkut kayu membawa kayu ke Wawondula. Sebagian dibawa ke desa-desa sekitarnya untuk menjadi tiang rambat tanaman merica.
baca juga : Foto: Kayu-kayu Ilegal dari Hutan Ulu Masen
Pemantau JURnal Celebes mendapatkan informasi bahwa sebagian besar dibawa ke tempat pengolahan kayu di Wawondula. Di tempat ini ada puluhan usaha pengolahan/penggergajian kayu di dekat dan tepi Danau Towuti. Sesuai informasi salah seorang pekerja, kayu-kayu dari hutan Mahalona atau sekitarnya didistribusikan untuk kebutuhan lokal setempat.
Namun, jelas Mustam, menurut warga yang dekat dengan tempat pengolahan kayu, selalu ada angkutan kayu yang ketika meninggalkan tempat tersebut, muatannya sudah tertutup dengan terpal. Hal ini bisa dibenarkan karena jika melihat begitu banyaknya angkutan kayu yang keluar dari kawasan Mahalona setiap hari.
“Karenanya ada dugaan, kayu itu diolah atau diangkut keluar Towuti melalui cara ilegal, untuk bisa lolos dari pantauan petugas berwewenang.”
Kepala Seksi I, Balai Gakkum Wilayah Sulawesi, Muhammad Amin mengakui kondisi pandemi memang menjadi salah satu kendala pelaksanaan pengawasan dimana setiap daerah memiliki kebijakan pembatasan sosial, sementara pemantauan dan proses hukum secara virtual sulit dilakukan. Gelar perkara bisa dilakukan secara virtual, tetapi verifikasi faktual di lapangan, sulit dilakukan melalui sarana online.
Atas kondisi ini, JurnaL Celebes merekomendasikan institusi pemerintah terkait dan pemangku kepentingan untuk bekerja sinergi terhadap penegakkan hukum mengatasi kejahatan kehutanan terutama pembalakan liar. Pengawasan paralel antar institusi pemerintah dan masyarakat lokal/masyarakat adat merupakan salah satu solusi di tengah pandemi.
“Rekomendasi untuk tidak mengabaikan pembalakan liar terus mendegradasi hutan karena perlahan-lahan tapi pasti akan menuai bencana, dampak perubahan iklim, dan kehilangan keragaman sumber daya hayati serta sumber pangan,” ungkap Mustam.
***
Keterangan foto utama : Ilustrasi. Kayu yang ditebang dari hutan Ulu Masen. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia