Mongabay.co.id

Sampah Ancam Kesehatan Manusia, Bagaimana Setop Makan Plastik?

Sampah plastik yang memenuhi tepian dan Kali Marmoyo, anak Sungai Brantas di Jawa Timur. Foto: Ecoton

 

 

 

 

Kabupaten dan kota di Pesisir Utara Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Lamongan dan Tuban, maupun Jombang, sudah darurat sampah plastik. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) mendesak keseriusan para pihak mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai. Kalau tidak, setiap hari, orang akan terus makan plastik. Dalam 2021 ini, Ecoton mengkampanyekan #2021stopmakanplastik.

Ecoton bersama komunitas mahasiswa di Malang, Surabaya, Lamongan dan Gresik menemukan mikroplastik, serpihan/remah-remah plastik berukuran kurang lima mm hingga 0,3 mm pada air Sungai Brantas, Bengawan Solo dan Kali Surabaya.

Mikroplastik juga ada dalam air laut, biota laut seperti ikan, udang dan kerang juga dan garam di pesisir Surabaya, Gresik dan Lamongan. Temuan mikroplastik dalam ekosistem perairan dan biota didorong begitu banyak sampah plastik yang masuk ke dalam perairan.

Terbaru, anak Sungai Brantas, Kali Marmoyo, juga terkontaminasi mikroplastik. Kondisi itu diungkapkan kelompok studi Community of Aquatic Environment (CAER), mahasiswa Semester V prodi Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Trunojoyo, Madura. Mereka penelitian di Sungai Brantas, Kali Surabaya dan Sungai Marmoyo pada Januari 2021 bersama Ecoton.

Hasil penelitian menunjukkan, dalam 100 liter air terdapat 59-100 partikel mikroplastik. Bahkan, kelimpahan mikroplastik bersaing dengan kelimpahan plankton. Sungai yang terkontaminasi mikroplastik berpengaruh pada kualitas perikanan seperti ikan nila dan wader.

“Kami pengambilan sampel pada 20-21 Januari,” kata Angwildi Anggana, Koordinator Komunitas CAER, Kamis (4/1/21) kepada Mongabay.

 

Popok sekali pakai ini bertembaran di sungai yang sangat berbahaya mencemari air dan lingkungan. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pada penelitian itu, diketahui kelimpahan mikroplastik tertinggi terdapat pada Stasiun Tapen, Kemlagi, dan Perning. merupakan aliran Sungai Marmoyo. Jenis mikroplastik dominan adalah fiber mencapai 32-93 partikel per 100 liter.

Kelimpahan mikroplastik tertinggi, katanya, terjadi di muara Sungai Marmoyo. Di muara, katanya, banyak tumpahan sampah rumah tangga.

“Penelitian tentang mikroplastik menggunakan metode kering dengan mengambil sampel 100 liter dan disaring dengan mesh ukuran T165,” katanya.

Angwildi mendorong, Pemerintah Jombang membangun fasilitas TPST 3R di setiap desa yang dilalui Kali Marmoyo dan Kali Brantas. “Kami juga meminta, pemerintah menyediakan tempat sampah khusus sachet di sepanjang bantaran Sungai Brantas agar masyarakat tidak membuang sampah plastik sachet di sungai.”

Karena itu, mencakup beberapa wilayah, dia harap bukan hanya di Kabupaten Jombang, juga pemerintah kota-kota yang dilintasi sungai memberi fasilitas TPST 3R di setiap desa terutama di bantaran sungai.

“Kalau untuk masyarakat, diharapkan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan larangan membuang sampah pada sungai.”

Tonis Afrianto, Manager Kampanye Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) mengatakan, harus ada regulasi pelarangan penggunaan plastik sekali pakai di kota-kota dan kabupaten yang dilewati Sungai Brantas dan Bengawan Solo.

“Juga produsen consumer good harus didorong menyediakan container khusus sachet plastik yang tidak bisa di daurulang. Jika tidak, pesisir Utara Jawa akan tergerus mikroplastik,katanya dalam rilis kepada media Januari lalu, seraya mendorong, masyarakat diet plastik sekali pakai.

Setiap hari, katanya, orang mengkonsumsi hampir satu gram plastik dari air, makanan dan udara yang dihirup. “Kita harus menghentikan perilaku makan plastik.”

Mikroplastik di perairan, katanya, karena beberapa penyebab. Pertama, tak tersedia sarana pengelolaan sampah pada tingkat desa atau kelurahan. Jadi, katanya, .salah satu sarana yang diperlukan tempat sampah dan tempat sampah sementara.

 

Pengambilan sampel di Kali Marmoyo, anak Sungai Brantas. Foto: Ecoton

 

Data World Economic Forum 2020, hanya 39% masyarakat mendapatkan layanan pengumpulan sampah, 61% masyarakat tidak mendapatkan layanan pengumpulan sampah alias membiarkan sampah buang di sembarang tempat.

Tonis bilang, Ecoton mengidentifikasikan, desa-desa yang dilalui Kali Brantas masih belum memiliki fasilitas TPS 3R di Kecamatan Tembelang, Plandaan, Kudu, Kesamben (Jombang), dan Kemlagi. Lalu, Kecamatan Gedeg dan Jetis (Mojokerto), Kecamatan Tarik, Krian, Taman (Sidoarjo), Kecamatan Wringinanom dan Driyorejo (Gresik).

“Kondisi ini, menyebabkan penduduk membuang sampah ke Kali Brantas atau ke anak-anak sungai Kali Brantas.”

Kedua, pengelolaan sampah pemerintah kabupaten dan kota rusak.. Menurut dia, hanya 30% sampah domestik terkelola dengan baik, 70% tak terkelola.

“Sampah yang dihasilkan masyarakat sebagian besar masih dibakar terbuka 47% dan 23% dibuang sembarangan seperti ke perairan, dipendam dan di permukaan tanah.”

Untuk sampah plastik, katanya, sangat memprihatinkan. Mengutip hasil riset Science Advance, Juli 2017 sebanyak 59% sampah plastik akan berakhir di lingkungan perairan dan timbunan di darat.

Aktivitas daur ulang, katanya, tak lebih hanya menyerap 9,6% sampah plastik.

Dalam laporan World Bank Juni 2019, Oceans Opportunity, Indonesia Economic Quarterly mengatakan, 52% sampah di lautan jenis plastik dengan rincian popok bayi 21%, tas kresek 16%, bungkus plastik 5%, botol plastik 1%, plastik lain seperti styrofoam, tali, senar dan lain-lain sekitar mencapai 9%.

Dampaknya, kata Tonis, plastik-plastik ini jadi santapan biota-biota laut yang menganggap plastik sebagai makanan mereka. Berbagai penelitian juga menyebutkan, plastik-plastik ini terurai jadi mikroplastik yang melayang-layang menyerupai plankton.

Andreas Eka Chlara Budiarti, peneliti mikroplastik Ecoton, mengatakan, dampak kesehatan kontaminasi mikroplastik dalam tubuh manusia bisa berpindah melintasi usus dan memasuki sistem peredaran darah.

Mikroplastik, katanya, dapat terakumulasi dalam organ utama dan berkelana melalui getah bening yang berakhir di hati.

Mikorplastik, tergantung ukuran dan bentuk, bisa berjalan melalui sistem pernapasan, bersarang di paru-paru dan berpindah ke bagian lain dari tubuh.

Plastik yang biasa digunakan, katanya, mengandung dan melepaskan senyawa kimia berbahaya, yang mengancam kesehatan manusia, terutama sistem endokrin tubuh. Ini merupakan serangkaian kelenjar yang memproduksi dan mengeluarkan hormon mengontrol fungsi pernapasan, reproduksi, persepsi sensorik, pertumbuhan, pergerakan dan perkembangan seksual.

 

 

 

*****

Foto utama: Sampah plastik yang memenuhi tepian dan Kali Marmoyo, anak Sungai Brantas di Jawa Timur. Foto: Ecoton

Exit mobile version