Mongabay.co.id

Simpang Siur Data dan Kerusakan Mangrove Riau, Bagaimana Upaya Pemulihan?

Bejan (48) berdiri diantara lahan perkebunan kelapa yang tergerus abrasi di Desa Teluk Papal, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Riau. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Presiden Joko Widodo melantik Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono, pada 23 Desember 2020. Pengangkatan yang tertuang dalam Keppres Nomor 78/M 2020 ini menjawab kelanjutan BRG yang masa kerja berakhir tahun lalu. Presiden menambah satu pekerjaan lagi dalam badan itu: pemulihan mangrove.

Mangrove di Indonesia termasuk di Riau, banyak alami kerusakan karena berbagai penyebab, antara lain, tergerus penebangan liar, tambak udang, kebun sawit dan alih fungsi lain. Di Riau, selain masalah kerusakan mangrove, data pun berbeda-beda dari masing-masing lembaga.

Myrna Safitri, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRGM, belum bisa beri informasi banyak mengenai rencana kerja rehabilitasi mangrove nasional termasuk Riau.

Saat ini, lembaga yang diberi jangka waktu kerja selama empat tahun ini, masih dalam persiapan pelaksanaan. Ihwal target rehabilitasi mangrove per tahun mereka masih proses konsolidasi data dan peta.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No120/2020, BRGM mengemban tugas merehabilitasi 600.000 hektar mangrove pada sembilan provinsi. Yakni, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat. Tanggungjawab itu meliputi, persemaian, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pembangunan persemaian modern.

Bicara Riau, bagaimana kondisi hutan mangrovenya? Mengutip jurnal Pemetaan Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, ditulis Yudha Saktian Syafruddin, mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI, Sumatera Barat, 2014, data luasan mangrove dari sejumlah instansi sangat beragam dari tahun ke tahun. Meskipun begitu, data-data itu menunjukkan hal sama soal tren penurunan hutan mangrove dari tahun ke tahun.

 

Baca juga : Mencari Solusi Selamatkan Pulau Bengkalis dari Abrasi

Abrasi yang terjadi di Teluk Nibung, Riau. Pertahanan dari mangrove yang menipis, menyebabkan daratan terus terkikis. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Simpang siur data

Data Dinas Kehutanan Riau 2007, mangrove seluas 261.285,3 hektar, dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) 2009 luas 206.292,6 hektar. Kemudian data mangrove Badan Lingkungan Hidup (BLH) Riau 2010: 175.295,2 hektar serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau pada 2012 seluas 140.169,3 hektar.

Pada statistik 2013, Dinas Kehutanan Riau merilis sisa hutan mangrove seluas 138.434 hektar, berdasarkan tata guna hutan kesepakatan (TGHK), maupun tata batas hutan maupun fungsi kawasan hutan. Sekitar 93.094 hektar dari luasan itu dalam keadaan kritis.

Saat laporan itu keluar, hutan mangrove tersebar di tujuh wilayah, yakni, Bengkalis 21.981 hektar, Kepulauan Meranti 25.619 hektar, Dumai 11.583 hektar, Siak 6.831 hektar, Rokan Hilir 8.441 hektar, Pelalawan 445 hektar dan paling luas Indragiri Hilir 63.534 hektar.

Dari jurnal Yudha itu, identifikasi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Hutan Lindung (BPDASHL) Indragiri-Rokan menyatakan, keadaan hutan mangrove Riau, rusak berat 50,95%, rusak sedang 47,41% dan hanya 1,65% dalam kondisi baik. Jurnal itu tidak menyebut waktu atau tahun catatan itu keluar.

Bila merujuk pada tahun jurnal itu terbit, sebaran mangrove di Riau berdasarkan catatan BPDASHL Indragiri-Rokan 2014, seluas 422.607,70 hektar. Statusnya, dalam kawasan 251.653,63 hektar (lebat 297,38 hektar, sedang 47.121,83 hektar; jarang 126.544,50 hektar dan potensi mangrove 77.689,93 hektar). Di luar kawasan hutan seluas 170.954,07 hektar (kondisi lebat 62,57 hektar, sedang 8.944,67 hektar, jarang 29.948,37 hektar serta potensi mangrove 131.998,46 hektar).

 

Baca juga: Abrasi Pantai dan Laut di Riau Bahayakan Keselamatan dan Sumber Hidup Warga (Bagian 1)

Pesisir yang terkikis di Riau. Seperti yang terjadi di Pulau Bengkalis dan Pulau Rangsang, abrasi pertahun puluhan hektar, mengancam keberadaan pulau-pulau itu. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Perbedaan data BPDASHL sangat jauh bila dibanding luasan dalam statistik Dinas Kehutanan Riau setahun sebelumnya, bahkan dibanding data lembaga lain pada 2007.

Mengutip Kompas.com, 24 Juli 2020, luasan itu anjlok dibanding data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, yang mencatat hutan mangrove Riau tersisa 174.000 hektar.

Belum ada peta tutupan hutan mangrove yang seragam di Riau. Risda Fauzana, Kasi Restorasi Gambut, Rehabilitasi Hutan dan Lahan, DLHK Riau, mengatakan, mereka sudah sering membicarakan itu, tetapi belum ada waktu untuk merumuskan bersama.

Meskipun begitu, Icha, panggilan akrabnya, tidak mempersoalkan itu. Sampai saat ini, dia klaim, masing-masing lembaga rutin komunikasi dalam menentukan lokasi target rehabilitasi dan tak pernah tumpang tindih.

Model atau teknis penanaman pun diseragamkan. “Tidak masalah beda, asal tidak sama lokasi kegiatannya. Yang penting sama-sama tahu. Yang dihitung itu kan nilai indeks kualitas tutupan lahan atau tingkat keberhasilannya.”

Sayangnya, DLHK Riau belum memberikan data terbaru mengenai kondisi tutupan hutan mangrove, baik luasan keseluruhan maupun beberapa wilayah sebaran berikut kondisi serta laju pengurangan dan tingkat keberhasilan rehabilitasi dalam empat tahun terakhir. Secara resmi, Mongabay sudah mengajukan surat seperti yang diminta. Namun, kata Icha, belum ada disposisi dari kepala dinas. “Lagi pula itu bukan bagian saya. Kami pun perlu data itu,” katanya lewat pesan WhatsApp.

Sigit Sutikno, peneliti dari Universitas Riau mengatakan, belum pernah menghitung luasan mangrove keseluruhan di Riau. Saat ini,dia lebih fokus penelitian rehabillitasi pantai untuk mengembalikan fungsi. Riset-riset mereka mengenai metode dan mekanisme rehabilitasi pantai bergambut dan berpasir.

Sebenarnya, kata Sigit, mudah saja ahli dalam penginderaan jauh menghitung luasan mangrove, bahkan hutan mangrove 30 tahun lalu yang sudah lenyap bisa teridentifikasi. “Apalagi kondisi terkini, bisa diselesaikan dalam dua bulan.”

 

 

Baca juga: Abrasi Ancam Lahan Perkebunan di Pesisir Pulau Bengkalis

Rumah di Lorong Tengah, Indragiri Hilir, Riau, yang alami abrasi. Abrasi di Riau, juga harus jadi perhatian dalam penetapan zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Rehabilitasi

Empat tahun terakhir, BPDASHL Indragiri-Rokan telah merehabillitasi hutan mangrove seluas 410 hektar. Selain pemulihan rutin, pada Oktober-Desember tahun lalu, BPDASHL juga menjalankan program padat karya mangrove (PPKM) guna pemulihan ekonomi nasional (PEN) dampak pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Luas rehabilitasi mangrove lewat kerjasama masyarakat ini mencapai 692 hektar di kawasan hutan, area penggunaan lain (APL) 18 hektar dan hutan lindung 674 hektar. Pembagian kerja berdasarkan kelompok perhutanan sosial 300 hektar, program kampung iklim 100 hektar dan luar binaan 292 hektar. Realisasinya, melebihi target yang direncanakan 500 hektar.

Pemulihan mangrove sekaligus ekonomi masyarakat itu tersebar di lima kabupaten. Indragiri Hilir, Bengkalis, Siak, Rokan Hilir, dan Kepulauan Meranti. Kegiatan ini menyerap 48.539 hari orang kerja (HOK) dan 1.658 orang yang menyebarkan 3.625.900 bibit mangrove.

Dalam pemulihan ekonomi masyarakat pesisir di Riau berbasis rehabilitasi hutan mangrove ini, BPDASHL mengelola anggaran hampir Rp11 miliar untuk disalurkan pada masyarakat maupun kelompok, mulai dari pembibitan hingga penanaman.

Tidak perlu tangan ketiga, lembaga di bawah KLHK itu langsung menyalurkan dana ke rekening masyarakat yang berpartisipasi.

Petugas BPDASHL Indragiri-Rokan menolak keterangan dikutip beberapa hari setelah wawancara. Dia beralasan tidak ingin melanggar etika birokrasi, dengan kata lain melampaui kewenangan di atasnya dalam memberi informasi. Saat itu, Kepala BPDASHL Indragiri-Rokan, Tri Esti Idrarwati, tengah menjalani perawatan di rumah sakit. Kamis, 28 Januari 2021, beliau meninggal dunia.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Riau juga turut menyelamatkan pesisir yang kian tergerus ombak, dengan penanaman bibit bersama kelompok masyarakat.

Selama lima tahun, DKP menyebar 84.500 bibit mangrove pada 8,45 hektar bekas daratan yang dihantam abrasi. Terhitung, 2015-2019, luasan tanam selalu bertambah dari dana APBD provinsi.

Meski pada 2020, DKP Riau harus menyesuaikan kembali mata anggaran karena pagebluk COVID-19 yang berdampak penanaman mangrove hilang. Organisasi perangkat daerah (OPD) ini dapat jatah menjalankan program PKM dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menjelang akhir tahun lalu. Kegiatan pada lahan 5000 meter persegi di Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan, Bengkalis. DKP menggandeng Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap.

Tidak hanya menanam, Belukap juga ada rumah bibit mangrove lengkap dengan segala fasilitas. Ia untuk keberlanjutan dan memudahkan semua pihak mendapatkan bibit mangrove, sekaligus sebagai sumber pendapapat kelompok itu.

Rencana awal mempekerjakan 50 anggota kelompok, baru satu bulan itu menyerap 100 orang tenaga kerja. Pembangunan dan penyediaan bibit dengan sistem kontrak lewat pihak ketiga, sedangkan upah penanaman langsung dibayar KKP ke para pekerja.

“Selain mempertahankan ekosistem laut, juga menjemput ekonomi masyarakat. Mangrove bagus, ikan pun bertelur. Menggandeng masyarakat mengembalikan mangrove sekaligus menumbuhkan rasa memiliki mereka terhadap sumber ekonomi nelayan,” kata Herman Mahmud, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Riau, 19 Januari lalu.

 

Nelayan berjalan di kawasan sendimentasi tanah yang berhasil menjadi daratan karena ada batu pemecah ombak yang dibangun pemerintah. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sebenarnya, DKP Riau sempat menghubungi beberapa kelompok, namun hanya Belukap yang memberi respon cepat. Kelompok itu juga memenuhi segala administrasi yang diwajibkan, hingga dalam waktu singkat, langsung diputuskan sebelum tim survei lapangan.

Belukap merupakan pemain lama dalam rehabilitasi mangrove pada tataran masyarakat, sejak 2004. Mereka didukung bupati hingga kepala desa setempat. Ketersediaan lahan dan kondisi lapangan juga jadi pertimbangan DKP Riau, menetapkan wilayah dan kelompok itu melaksanakan program kementerian.

Adapun rehabilitasi mangrove pada DKP Riau sudah tertuang dalam rencana strategis (renstra) dan rencana program jangka menengah daerah (RPJMD). Ia disebut rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ada tujuh kabupaten basis nelayan di Riau, yakni, Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Pelalawan, Siak dan Indragiri Hilir.

Pulau Rangsang di Kepulauan Meranti, kemudian Pulau Bengkalis serta Pulau Rupat di Bengkalis, katanya, saat ini jadi prioritas pemerintah daerah dan pusat untuk diselamatkan dari abrasi. Pulau-pulau itu berhadapan langsung dengan Selat Melaka, atau negeri jiran, Malaysia.

Keterbatasan anggaran dalam rehabilitasi hutan dan lahan juga dialami DLHK Riau. Sejak 2017-2019, hanya 76 hektar realisasi penanaman mangrove di beberapa wilayah. Tahun lalu, rencana penanaman lanjutan batal karena terjadi rasionalisasi anggaran menghadapi situasi pandemi. Padahal, katanya, 48 hektar target tanam mestinya tiba di Bengkalis, Rokan Hilir dan dua desa di Indragiri Hilir.

Tahun ini, ucap Herman, bila tidak terjadi penyesuaian anggaran di tengah jalan, kegiatan itu kembali jalan meski dengan target 10 hektar di Bengkalis. Penanaman lokasi baru biasa juga disertai pemeliharaan lokasi yang sudah jalan sebelumnya. Hal ini, katanya, guna memastikan bibit mangrove tumbuh baik. DLHK Riau, akan menyisip kembali bibit mangrove yang gagal tumbuh.

DLHK Riau, katanya, juga menjalin komunikasi dengan kepala desa dan kelompok terkait untuk mengawasi hasil kerja-kerja di lapangan.

“Kalau (mangrove) mati, masih ada bibit untuk penyulaman yang kita cadangkan 10% dari seluruh pengadaan bibit per tahun,” kata Icha. Tiap satu hektar tanam, biasa DLHK Riau perlu 5.200 bibit.

Sigit menilai, rehabilitasi mangrove saat ini belum masif dan tak sebanding dengan laju degradasi. Untuk rehabilitasi ini, katanya, masih bergantung dan terbatas pada anggaran. Dia bilang, dalam pemulihan, harus ada bangunan fisik pemecah gelombang terlebih dahulu sebelum penanaman mangrove.

Tingkat keberhasilan pertumbuhan mangrove, katanya, sangat ditentukan pelindung dari ombak. Setelah mangrove tumbuh kuat, ia akan jadi pelindung yang baik.

“Memang, pelindung pantai paling bagus adalah mangrove. Selain meredam gelombang juga sebagai habitat makhluk hidup seperti kepiting, kerang dan udang.”

 

 

****

Foto utama: Bejan, berdiri diantara lahan perkebunan kelapa yang tergerus abrasi di Desa Teluk Papal, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Riau. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version