Mongabay.co.id

Menilik Mitigasi dan Penanganan Pasca Banjir Masamba

 

 

 

 

Hujan mengguyur Masamba, pusat Kabupaten Luwu Utara, awal Januari 2021. Guntur bergemuruh. Petir menyalak menerangi deretan pegunungan Quarles. Angin bertiup kencang, menggoyangkan pot gantung yang terisi bunga tak karuan rumah warga. “Ini belum apa-apa. Biasa jauh lebih kencang,” kata Ibrahim.

Pasca banjir Masamba Juli 2020, yang meluluntahkan hampir semua kampung di dua bentangan Sungai Masamba dan Radda, membuat kota ini seperti lumpuh. Sedimen pasir dan lumpur masih mengendap dan hanya beberapa yang terangkat.

Jalan utama di tengah Kota Masamba yang menjadi urat nadi, penghubung antara Palopo menuju Sorowako, wilayah paling timur Sulawesi Selatan, hanya terbuka seadanya. Aspal rusak dan pasir masih menumpuk di sisi jalan.

Di depan Mesjid Syuhada Masamba, salah satu ikon kota, jalan bolong-bolong dan membuat kendaraan roda empat yang melintas bergoyang tak karuan. Di depannya, pusat utama perdagangan seperti bank lumpuh, dan dtiinggalkan pemilik. Beberapa ruko dan warung tetap terkubur. Rumah-rumah warga, seperti bangunan menyeramkan.

Geliat di kota ini belum kembali. Rumah jabatan Bupati Luwu Utara, yang tenggelam saat banjir, hingga kini belum ditempati. “Saya belum berani. Ini soal keamanan ya. Saya harus memberi contoh,” kata Indah Putri, Bupati Luwu Utara.

Jarak rumah jabatan bupati dengan badan Sungai Masamba hanya sekitar 100 meter kalau ditarik garis lurus. Bagi Indah, meninggalkan rumah jabatan bukan perkara susah. Di Bone-bone, dia masih memiliki rumah orangtua. Kalau kerjaan dianggap banyak, dia bisa bermalam di kantor bupati yang berada di ketinggian.

Bagaimana dengan warga? Di bantaran Sungai Masamba, wilayah Lombo, Kelurahan Bone Tua, ratusan rumah yang masih terkubur sedimentasi, seperti menelan takdir. Rumah-rumah itu menganga karena atap terbuka.

“Rumah saya sudah hilang. Hanya ada bekas tanahnya,” kata Hatta.

Sebelumnya, Hatta membuka jualan di dekat jembatan Masamba. Dia berjualan makanan bersama istrinya. Ketika banjir bandang menerjang Masamba, dia dan keluarga berhasil menyelamatkan diri. “Sekarang, bikin pondok di kebun. Cukup bagus karena daerah ketinggian. Jadi sekarang tinggal di situ,” katanya.

Selama ini, dia hanya tiga kali mendapatkan bantuan. Dua kali dia menerima bantuan sembako berupa beras dan kebutuhan dasar. Kemudian uang pengganti kontrakan sekali dari pemerintah daerah. “Orang bilang ada banyak bantuan. Tapi saya hanya dapat itu saja,” katanya.

“Saya dengar ada bantuan rumah. Tapi itu juga belum tahu. Kalau menunggu terus, saya mau dimana. Sekarang, berusaha sendiri-sendiri sajalah.”

 

Baca juga: Gemuruh Maut di Luwu Utara

Kondisi pemukiman di sekitaran bantaran Sungai Radda, yang masih tetap porak poranda. Dalam skema mitigasi, kawasan ini diyatakan sebagai zona merah yang tak layak mukim. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Saat itu, di wilayah Lombok, Hatta sedang membantu warga lain, mencoba membuat parit kecil agar air mengalir ke tempat lain. Dia bilang, biar air tidak masuk semua ke dalam rumah. Meski demikian, dia juga tak tahu, apakah sedimentasi yang sudah mengendap dan keras dalam rumah masih bisa dikeluarkan. “Tidak tahu, bagaimana selanjutnya kampung ini,” katanya.

Berjalan di Lampung Lombok, seperti berjalan di negeri “kurcaci”. Saya bahkan menunduk untuk memegang atap masjid. Atau menjejak atap rumah lain tanpa harus memanjat. Negeri ini, menjadi murung, karena tak ada lagi penghuni.

Tetangga Hatta, Idam. Saat banjir lalu, dia bersama beberapa koleganya, menggunakan alat pompa penghisap air dari dalam rumahnya.

Ketika sedang istirahat di teras rumah panggung di depan rumah, karena kelelahan, dia menawarkan kopi. Pada Januari 2021, ketika saya kembali melihat rumahnya, teras belakang sudah nampak bersih, walau tembok masih berair.

Air hujan juga masih sering masuk melalui celah pagar. Keadaan tak banyak berubah, karena jalan yang bertumpuk sedimen lebih tinggi dari lantai rumah. Tak ada lagi parit atau selokan. Kalau hujan air sungai akan meluber kemana-mana.

Rumah panggung tempat kami istirahat dan meneguk kopi, sudah tidak ada lagi. Rata dengan tanah. “Saya susah sekarang berkomentar. Lihat sendiri keadaannya. Apakah ada perubahaan berarti atau tidak.”

 

***

Akhir Desember 2020, Gubernur Sulawesi Selatan meresmikan pembangunan 50 hunian tetap di Masamba. Beberapa media mengutip acara seremonial itu sebagai sebuah langkah cepat pemerintah dalam menangani masalah bencana.

Pembangunan 50 rumah itu, hanya berlangsung 68 hari kerja. Hunian itu memiliki dua kamar, ruang tamu, toilet dan space untuk dapur. Ketika banjir itu melanda Luwu Utara, terdapat 39 desa dan kelurahan terdampak. Secara total perlu 1.295 rumah tinggal.

Gubernur bilang, pembangunan hunian akan jalan sesuai kemampuan dan ketersediaan lahan.

 

Bilik pengungsian di kebun sawit di Radda. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Di kawasan pengungsi Meli di antara lahan sawit, Paidi. Di tengah terik matahari dia mengerjakan antena parabola miliknya. Dia menghuni bilik kamar hunian sementara (huntara) yang dibangun pemerintah daerah. Hunian itu pakai dinding asbes dan atap seng.

Tak ada sekat kamar pada hunian itu. “Kalau siang begini, dalam rumah itu nda bisa tahan. Panas sekali, maka lebih suka di luar,” katanya. “Kalau ketemu orang buka baju, itu karena panas.”

Huntara itu tetap jauh lebih baik dibanding ratusan pengungsi yang masih bertahan di bawah tenda. Tak jauh dari tempat Paidi, beberapa jemaah Kristen dari Radda membagi beberapa sekat tenda untuk tinggal bersama. Salah satu sekat ditempati Hasnah Runo bersama 12 keluarga lain.

Hasnah seorang janda. Suaminya meninggal beberapa tahun lalu kaena sakit. Anaknya bermukim di tempat lain. Dia bertahan di pengungsian dan tak ikut anaknya, karena merasa rumahnya bersama warga dan jemaah kampung ini. “Anak saya ada keluarga juga. Kalau untuk berkunjung mungkin iya, tapi untuk menetap belum tentu. Sekarang pemerintah dan gereja, bekerja sama membangun hunian. Kami menunggu,” katanya.

Kerjasama gereja dan pemerintah inilah yang pernah dikunjungi Gubernur Sulsel dan peletakan batu pertama pada September 2020. Saat ini, huntap masih tahap pembangunan, baru terealisasi 10 unit.

Bagi Indah Putri, prioritas pembangunan rumah menjadi yang pertama. Untuk itu, pemerintah daerah membuat skema lain, karena peruntukan lahan yang disiapkan dianggap tidak layak.

Di Kamiri, pemerintah menyiapkan 14 hektar lahan untuk pembangunan hunian, namun Kementerian PUPR menyatakan wilayah itu tak direkomendasikan untuk pemukiman.

“Padahal itu di ketinggian. Atau mereka pikir akses. Padahal kami siap membangun. Atau ada pertimbangan khusus?” kata Indah.

Kalau asumsi pebangunan rumah ukuran 6×6 atau tipe bangunan 36 dan luas lahan 8 x 13 meter, maka perlu 20 hektar. Dengan perbandingan 60 rumah dalam luasan setiap hektar.

Kan kalau saya mau cepat misal, dari 1.008 rumah dan dari KPUPR 170. Mau saya tahun ini. Yang kemarin itu 50 rumah, hanya 68 hari, itu hanya satu mitra. Sementara kan banyak rekanan yang mau ambil bagian membantu. Ini tergantung tanah lagi,” kata Indah.

Skema lain terbentuk, bila setiap warga yang memiliki tanah pribadi, selama masih dalam wilayah Luwu Utara, dan terjangkau, serta di luar zona bencana, pemerintah akan membantu pembangunan rumah sebagai stimulan.

 

Pemukiman di tepian Sungai Masamba. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Perubahan bentang alam

Di bantaran Sungai Radda, Akbar, siswa kelas 2 SMA bersama bapaknya, membersihkan rumah. Rumah yang entah berapa kali sudah dibersihkan namun masih tetap tertimbun lumpur dan air.  Mereka sendiri masih tinggi di pengungsian di Meli.

Dia tidak tahu kalau kawasan pemukiman yang ditempati masuk zona merah. “Beberapa orang meminta izin menempati kembali rumahnya. Kami tidak beri izin. Itu sangat berisiko,” kata Indah.

“Saya menunggu hasil kajian –yang sementara dirampungkan. Kelihatannya, bantaran sungai, hampir pasti kami tidak mengizinkan lagi pemukiman. Ini kita tidak bicara jangka pendek. Jangan sampai kami membiarkan, justru sama saja membiarkan masyarakat menjemput bencana di masa datang.”

Akbar tidak tahu mengenai rumahya menjadi zona merah. Dia hanya mengerti, bagaimana rumah kecil itu, kembali bersih dan ditempati buat kembali tidur dengan aman. “Kalau kita gali ini pasir, keluar itu air semua. Jadi memang sulit sekali,” katanya.

Akbar mengajak saya berjalan di sekitaran kampung. Dia menghitung beberapa rumah yang lenyap terseret banjir. Dia juga menunjukkan tempat beberapa koleganya ditemukan tak bernyawa. Ada yang dalam mobil, ada pula di antara tanaman sawit.

Kini, tanggul sungai itu, berdiri seperti tembok besar di belakang rumahnya. Tanggul dengan tumpukan pasir lebar. Ketika, kami menapak naik ke punggungan tanggul itu, Sungai Radda nampak berubah raksasa.

Kalau dulu, sungai ini hanya beberapa meter, kini hampir mencapai 50 meter. Pasir-pasir dari hulu sungai terus menerus terbawa aliran air dan mengendap. “Dulu itu bukit di atas sana, longsoran kecil. Sekarang, bertambah besar terus,” kata Muharram, warga Desa Petambua.

Petambua masih masuk desa sekitar Sungai Radda. Di bagian hulu ada Kampung Meli. Petambua dan Radda, dalam bantaran sungai itu adalah yang menjadi wilayah terdampak paling parah. Tapi menapaki bantaran sungai Radda, dan melihat perubahaan sungainya, membuat hati bergidik.

Batu-batu raksasa berserakan di badan sungai. Aliran sungai bahkan telah berpindah. “Kalau ada aliran air besar, kemungkinan batu itu bisa bergeser dan terguling,” kata Muharram.

Pada malam kejadian banjir, Muharram dan keluarga mendengar suara gemuruh batuan dan air itu seperti karapan ratusan motor trail dengan kenalpot keras. “Kau bisa bayangkan gemuruhnya.”

Di Petambua, saya berdiri melihat badan sungai itu. Tebing-tebing sungai menjadi curam. Beberapa akar sawit menggelantung. Di wilayah ini, bentangan lahan hampir seutuhnya menjadi sawit.

Di sini, sebelum semua lahan diserbu sawit, ada kakao yang menghampar. Di sela tanaman itu, berdiri pohon langsat, rambutan, kelapa, dan pepohonan besar lain. Suasana sejuk. “Sekarang, kalau siang panas sekali. Hampir tak bisa pakai baju,” kata Muharram.

 

Kawasan pengungsian Meli. Nampak cakaran longsoran gunung makin membesar dan mencapai puluhan titik. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Saya membandingkan dengan Desa Tondok Tua di Masamba. Desa ini berada di kaki bukit kecil. Tak jauh dari badan utama Sungai Masamba. Tondok Tua, adalah kampung pemukiman lama oleh masyarakat Masamba.

Di sini tempat ketua kampung bermukim di masa lalu. Di tengah kampung itu ada anak sungai yang mengalir menuju sungai utama Masamba. Sungai itu bersih dan jernih. “Dulu, sebelum orang turun ke Masamba kota sekarang, ini kampung yang aman,” kata Alimuddin.

Alimuddin, berusia 60-an tahun. Dia senang bercerita dan tokoh kampung yang disegani. Ketika kampung itu menjadi administrasi desa, dialah yang menjabat pertama sebagai kepala desa.

Dia menunjukkan, bagaimana masyarakat Tondok Tua memilih tempat bermukim yang aman. Meskipun harus berdekatan dengan sumber air, tetapi pemilihan tempat begitu baik. Sawah, rumah, semua tak pernah terkena banjir atau bencana longsor. “Masamba sekarang itu, dulu adalah rawa. Itu tempat gembala sapi kalau musim kemarau. Satu bentangan dengan bandara saat ini,” katanya.

“Saya mulai tak tahu, kapan orang mulai bermukim di Masamba. Saya kira itu masa Belanda, orang disuruh turun gunung.”

“Sekarang, kita lihat mi apa yang terjadi. Siapa yang harus disalahkan? Tapi membangun daerah itu harusnya melihat sejarah juga. Mana daerah aman, mana daerah yang tidak aman.”

Persoalan tentu tak sesederhana itu. Ketika pembangunan, pemukiman bertumbuh di bantaran sungai, tak ada orang yang protes. Pasar tua Masamba bahkan berada di sekitaran bantaran dan menjadi tempat terparah terdampak banjir. “Tidak ada yang mengingatkan dan melihat itu sejak awal bukan?” kata Idham.

Ramli, Kepala Kelompok Pengelolaan Hutan (KPH) Rongkong, mengatakan, pasca banjir upaya mereka salah satu membuat gullyplut (bronjong). Pemasangan kawat yang diisi batu kali untuk menahan laju air dan sedimen di beberapa bantaran yang sungai yang dianggap rawan.

Sementara itu kawasan hulu belum tersentuh. “Kita lihat kontur dan tipologi batuan, kemudian lereng yang curam, dan sudah terjadi bukaan lahan. Tentu membutuhkan waktu cukup lama untuk menutup bukaan-bukaan itu,” kata Indah Putri.

“Nah, dokumen yang kita susun, saya kira akan sangat membantu kita ke depan. Desember 2020 baru kita sidang [membicarakan ini ] kemarin ya, karena memang di perubahaan baru kita usul.”

 

Jembatan di kawasan Balibo yang dulunya terputus ketika banjir mengahantam Masamba pada Juli 2020. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kisah masa lalu dan sekarang

Pada 13 Juli 2020, ketika banjir bandang menghantam wilayah Luwu Utara, orang terhenyak. Hingga sebulan pasca bencana, bantuan mengalir dari berbagai penjuru. Para relawan numplek, mereka membangun tenda pengungsian. Membuat jaringan air bersih sesaat, hingga menggelar kegiatan hiburan.

Menjelang September, kembali sunyi. Warga penyintas, bersandar pada kebijakan pemerintah dan metode mitigasi pasca bencana yang jauh lebih rumit. Hingga Januari 2021, para penyintas masih kebingungan, apakah kelak mereka akan mendapatkan bantuan rumah, atau mereka hendak bergerak sendiri dan membangun hunian.

Hasnah Runo di Radda, misal, tak bisa lagi beringsut dari tenda pengungsian karena rumah tersapu banjir. “Rumah kenangan, rumah bertumbuh bersama anak-anak telah hilang,” katanya.

Ada ratusan penyintas yang berpikir seperti Hasnah, kenangan menjadi titik terbaik dalam memanggil mereka kembali melihat rumah dan tanah lama mereka. Bagi mereka, bertahan dengan segala macam risiko akhirnya menjadi ladang peruntungan.

Dalam catatan kenangan bencana banjir di Luwu Utara, pemerintah daerah menemukan kalau 1980 dan 1982, terjadi banjir hebat di wilayah ini. Jembatan Radda bahkan terputus. Sementara warga Masamba relokasi ke kampung Ujung Mattajang, kini Kecamatan Mappideceng. “Jadi waktu itu direlokasi, begitu sudah normalisasi, warga balik lagi ke tempat semula,” kata Indah.

Tak hanya itu, 41 tahun lalu Kampung Pontaden dan Lombo di Kecamatan Masamba, sebelum banjir menghantam merupakan aliran sungai. Ketika pemerintah melakukan pelurusan, dua kampung ini menjadi daratan yang rapuh. Namun, program transmigrasi tahun 1980-an membawa warga Lombok ke Bone Tua, dikenallah saat ini sebagai Kampung Lombok.

Bagi Indah, mitigasi kelak akan berbicara pembenahan kawasan sempadan sungai. “Kita tunggu hasil kajian. Apakah nanti tetap 100 meter, dari palung sungai atau dari bantaran,” katanya.

Dia bilang, kalau di Kota Masamba, memang agak rawan karena agak rendah. “Jadi pilihannya akan meninggikan jalan hingga dua meter. Itu termasuk kanal yang akan disiapkan. Asumsinya, membangun tidak untuk lima sampai 10 tahun ke depan. Untuk 50 tahun ke depan.”

 

Bangunan yang terbengkalai pasca banjir bandang dan longsor Masamba. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

****

Foto utama: Hasnah Runo, di depan tenda pengungsian. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version