Mongabay.co.id

Soal Proyek Jalan Tol Padang-Pekanbaru, Warga Ngadu ke Komnas HAM dan Ombudsman

 

 

 

 

Warga di Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Terdampak Jalan Tol (Format) melaporkan nasib mereka ke Komnas HAM dan Ombudsman perwakilan Sumatera Barat, 28 Januari lalu. Mereka menyampaikan keresahan dan kekhawatiran jalan tol Padang-Pekanbaru, akan kena lahan pemukiman, maupun kebun dan lahan tani.

Forum ini berisi masyarakat dari lima nagari, yaitu Nagari Koto Baru Simalanggang, Koto Tangah Simalanggang, Taeh Baruh, Lubuk Batingkok dan Gurun.

“Kami merasa resah dan khawatir dengan rencana pembangunan jalan tol pada seksi Payakumbuh hingga Pangkalan. Khawatir tidak saja menghilangkan tempat tinggal dan sumber pendapatan, tapi melahirkan ketidaknyamanan di tengah masyarakat,” kata Ezi Fitriana, warga Nagari Lubuk Batingkok.

Dia bilang, telah menyampaikan keluhan pada pihak-pihak berwenang seperti DPRD Sumbar, namun belum ada respon. “Bahkan pihak pelaksana malah terus berupaya melanggengkan rencana mereka. Padahal, setiap forum pertemuan pihak perencana pembangunan selalu mengatakan ini baru basic design,” katanya.

Bila pihak pelaksana terus memaksakan bisa saja melahirkan konflik. Ezi berharap, Komnas HAM mengambil peran.

Mahdianur Musa, Komnas HAM perwakilan Sumbar menyayangkan proses penentuan dan penetapan lokasi yang tak partisipatif. “Komnas HAM akan mempelajari kasus ini dan akan monitoring dan pengawasan untuk memastikan hak asasi masyarakat tidak terganggu,” katanya.

Di tempat terpisah, warga juga melaporkan dugaan maladministrasi pelaksana proyek pembangunan mulai dari penentuan dan penetapan lokasi ke Ombudsman.

Masyarakat diterima langsung Ketua Ombudsman Perwakilan Sumbar, Yefri Heriani. Dalam pertemuan itu Yefri mengatakan akan memeriksa kelengkapan laporan warga dan menindaklanjuti sesuai kewenangan lembaga ini.

“Kami melihat masyarakat sudah melakukan beberapa upaya agar mendapat kejelasan. Hal itu belum dapat dipenuhi dan masyarakat melihat proses mengakomodir partisipasi masyarakat minim.”

Ombudsman, katanya, akan masuk tahap pemeriksaan ketika verifikasi materiilnya selesai.

Dugaan maladministrasi pada kasus-kasus seperti ini, katanya, biasa terjadi karena dari awal tak memberikan layanan dan penyimpangan prosedur.

“Pelaksana atau penyelenggara pelayanan publik abai akan layanan yang semestinya jadi kewajiban [mereka] dan hak bagi masyarakat.”

Tommy Adam, Manajer Riset dan Database Walhi Sumbar mengatakan, rencana pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru, pada seksi Payakumbuh ke Pangkalan bermasalah. Jalan ini, katanya, dibangun di atas kawasan padat penduduk dan lahan produktif.

“Berdasarkan data terakhir Walhi Sumbar ada catatan lahan masyarakat sekitar 72 hektar di dalamnya terdapat sawah, ladang dan sekitar 539 rumah dari 1.000 keluarga.”

Data itu, katanya, Walhi dapatkan dari tumpang susun rencana pembangunan dengan peta batas di lima nagari terdampak. “Jika pembangunan jalan tol terus dipaksakan pada wilayah itu banyak warga kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan,” katanya.

 

Baca juga: Warga Waswas, Tanah Ulayat Terkena Proyek Tol Padang-Pekanbaru

Pintu Tol Padang-Pekanbaru di perbatasan Kota Padang dan Pariaman. Foto: Walhi Sumbar

 

Kata para pakar

Mengenai persoalan pembangunan jalan tol ini mendapatkan respon dari para pakar. Ahyuni, pakar Geografi Universitas Negeri Padang mempertanyakan soal kajian tapak rencana proyek. “Apakah sudah dilakukan kajian tapak rencana? Kalau dilihat belum tapi sudah patok langsung. Kenapa?” katanya.

Dia mengatakan, sosialisasi itu langkah terakhir, sebelum itu seharusnya duduk dulu bersama membahas soal rencana ini.

“Perlu kajian tingkat tapak dan detail yang bersifat fisik, sumber daya alam dan budaya. Kalau duduk bersama kita bisa mengedepankan pembangunan ekonomi lokal dan budaya lokal,” katanya.

Kalau ingin pembangunan bermanfaat buat bersama, katanya, harus dilakukan musyawarah bersama masyarakat, termasuk dengan mengeluarkan peta. “Kalau perlu trase dipindahkan.”

Harne Julianti, pakar perencanaan wilayah kota Universitas Bung Hatta menyoroti komunikasi pemerintah dengan para stakeholder.

“Yang utama, komunikasi pemerintah, swasta dan masyarakat. Menurut saya komunikasi antar pemerintah sendiri juga tidak sinkron,”katanya. Ketidakjelasan informasi terjadi soal pembangunan tol ini.

Dia juga mempertanyakan desain dari jalan tol itu. “Kenapa harus di atas tanah, mungkin nggak bawah tanah. Kayak di Jakarta,” katanya.

Nur Hamdi, pakar perencanaan wilayah Universitas Bung Hatta mengatakan, ada kerugian fisik dan non fisik bagi masyarakat terdampak. “Kerugian non fisik ini adalah kerugian emosional, kerugian tidak berwujud seperti kesengsaraan yang muncul setelah ada jalan tol,” katanya.

Bicara pelepasan lahan, katanya, seharusnya bukan ganti rugi tetapi ganti untung. Penggantian lahan jalan tol mesti dengan nilai sepadan, terlebih penduduk terdampak tak menikmati manfaat ekonomi dari tol itu.

“Yang ada malah menanggung biaya atau mengalami beban segregasi ruang secara sosial ekonomi dan sosial budaya. Jalan tol juga bukan pure public goods, penduduk sangat layak dapat ganti untung,” katanya.

Dengan begitu, kata Nur, kompensasi mestinya menghitung dampak akses penduduk yangterganggu dan tidak ada manfaat ekonomi bagi mereka. “Mestinya hitungan tidak memakai hitungan pembangunan lahan biasa.”

Indang Dewanta, pakar lingkungan hidup Universitas Negeri Padang mengatakan, harus ada upaya, bisa dengan gunakan teknologi untuk memninimalisir dampak kepada lingkungan hidup dan sosial masyarakat. Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), katanya, seharusnya, sudah memuat syarat ini.

“Kalau aspek sosial tidak masuk, pembangunan ini batalkan. Ada nggak teknologi yang menanggulangi? Kalau ada, ya lanjutkan,” katanya.

Ketika masyarakat mempertanyakan prinsip ini dalam rencana pembangunan suatu proyek bukan berarti anti pembangunan. Menurut dia, harus ada teknologi untuk meminalisir dampak negatif bagi ekosistem dan sosial masyarakat.

“Persoalannya, masalah lingkungan selalu dibenturkan dengan ekonomi,” katanya, padahal kedua hal itu saling mendukung.

Dalam pembangunan proyek, katanya, juga harus memperhatikan soal kebencanaan. Dia bilang, Sumbar merupakan daerah ‘etalase bencana’ di Indonesia, dari banjir, longsor sampai ancaman gempa bumi dan lain-lain. Payukumbuh, katanya, jadi ‘etalase’ bencana Sumbar.

 

Baca juga: Warga Nagari Koto Protes Lahan Kena Proyek Tol Padang-Pekanbaru

 

Jadi, kata Indang, setidaknya minimal ada tiga layak harus ada sebelum pembangunan berjalan, yakni, layak secara teknis, sosial dan layak lingkungan.

“Ketika itu dilakukan alam dan manusia berterimakasih. Jangan sampai itu terjadi dan alam pun menyumpahi,” kata Indang.

Afrizal, guru besar Fakultas Sosial Politik Universitas Andalas menekankan penting ada dialog dan keterbukaan informasi. “Bukan langsung-langsung saja memasang pancang.”

Kalau perusahaan atau pelaksana proyek memasang pancang tanpa persetujuan warga bisa melanggar persetujuan bebeas tanpa paksaan atau free, prior and informed consent (FPIC).

“Agar membangunan ramah lingkungan juga ramah manusia, FPIC harus dikedepankan,” katanya.

Afrizal tidak menginginkan kasus di Gunung Talang, pembangunan pembangkit panas bumi yang mendapat penolakan keras warga, terulang. Dia berharap, ada mengedepankan dialog.

Kalau tak ada dialog, katanya, dia khawatir negara akan melakukan ulur-ulur waktu tanpa kejelasan sampai polisi dan tentara punya justifikasi untuk melakukan tindak kekerasan. “Saya tidak bisa membayangkan itu dan tidak berharap itu terjadi.”

 

 

*****

Foto utama:Para perempuan dan laki-laki berkumpul di Surau Istiqomah Nagari Koto Baru Simalanggang untuk membicarakan rencana penolakan tol yang melewati rumah mereka. Surau ini bakal tergusur jika jalur tol yang mereka tolak jadi dibikin. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version