Mongabay.co.id

Bersiaga di Laut untuk Antisipasi Perubahan Iklim

 

Perubahan pola penangkapan ikan yang dilakukan para nelayan dan para pencari ikan lainnya diyakini akan membantu Indonesia dalam proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan. Proses tersebut, akan membantu Indonesia keluar dari dampak buruk perubahan iklim.

Cara di atas menjadi bagian dari rencana dan strategi yang akan dijalankan Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada di wilayah lautan Nusantara. Cara tersebut menjadi bagian dari upaya efisiensi penggunaan energi fosil yang biasa digunakan untuk beraktivitas di laut.

Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP KKP) Sjarief Widjaja mengatakan, dengan mengubah pola penangkapan ikan yang dilakukan nelayan, maka itu juga akan mendorong terciptanya efisien dalam segala hal.

“Tidak saja BBM (bahan bakar minyak) akan berkurang, namun juga waktu dan tenaga akan tersimpan lebih banyak. Jadi itu akan terjadi efisiensi yang banyak,” ucap dia menyebut BBM yang merupakan energi fosil yang harus dikurangi sebanyak mungkin.

Namun demikian, Sjarief yang berbicara pada webinar tentang Status Perubahan Iklim Lautan Global dan Pembangunan Perikanan Nasional, pekan lalu di Jakarta, menyatakan bahwa untuk menjalankan rencana dan strategis di kalangan nelayan bukanlah menjadi langkah yang mudah. Hal itu, karena kelompok nelayan kemungkinan besar tidak memahami apa dan dampak dari perubahan iklim.

Untuk itu, perlu kerja sama semua pihak dan pemangku kepentingan agar bisa melaksanakan efisiensi di lingkup nelayan. Bukan karena untuk membatasi gerak langkah, namun justru itu bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan sendiri saat efisien diterapkan oleh mereka.

“Biaya menjadi lebih murah, waktu lebih sedikit, namun hasil tangkapan masih tetap seperti biasa, dan bahkan bisa lebih banyak,” ucap dia.

baca : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

 

Kepala BRSDM KP KKP Sjarief Widjaja mengungkapkan kondisi perikanan dan kelautan Indonesia menghadapi dampak perubahan iklim dalam sebuah webinar online, Kamis (11/2/2021). Foto : KKP

 

Agar efisien bisa menjadi bagian dari kebiasaan dan kebudayaan nelayan saat melaksanakan penangkapan ikan, KKP berencana untuk mencabut subsidi BBM untuk nelayan. Rencana tersebut akan dilakukan, untuk mendorong nelayan bisa lebih hati-hati dalam memanfaatkan BBM.

“Karena BBM itu energi fosil. Kita harus bisa mendorong penggunaan energi fosil terus berkurang,” tambah Sjarief.

Dengan mendorong nelayan untuk melakukan efisien dalam beraktivitas di atas laut, maka itu akan memicu proses pemulihan ekosistem laut dan juga pesisir bisa cepat berjalan. Karenanya, ada korelasi yang kuat antara efisiensi penggunaan energi fosil oleh nelayan dan restorasi laut dan pesisir.

Melalui cara tersebut, akan didapat beberapa keuntungan sekaligus. Selain bisa mengurangi penggunaan energi fosil, ekosistem laut bisa tetap terjaga, stok ikan meningkat, upaya menurun, dan nelayan bisa menjadi sejahtera.

“Kita juga harus menjaga ekosistem, dalam arti rantai makanan harus dipenuhi. Kalau satu titik (dalam rantai makanan) itu punah, maka akan punah ekosistem rantai makanan,” jelas Sjarief.

baca juga : Isu Laut dalam Konvensi Perubahan Iklim dan Kesiapan Indonesia

 

Seorang nelayan di Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Cilacap, Jateng sedang memasang gas untuk bahan bakar mesin kapal. Di wilayah setempat baru 88 nelayan dari 500 lebih nelayan yang mendapatkan bantuan converter kit pada tahun 2017. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kemandirian Nelayan

Di sisi lain, melalui kebijakan tersebut, nelayan juga akan didorong untuk bisa menciptakan ketahanan pangan secara mandiri. Tujuannya, agar mereka bisa tetap bertahan saat cuaca buruk sedang terjadi di laut yang mengakibatkan mereka tidak bisa melaksanakan aktivitas penangkapan ikan seperti biasa.

Untuk itu, saat terjadi kondisi seperti itu, nelayan akan ditantang untuk bisa menghasilkan sumber daya baru yang tak kalah menguntungkan. Salah satunya, adalah memanfaatkan peluang usaha pada subsektor perikanan budi daya yang tidak tergantung kepada cuaca.

Selain nelayan, upaya untuk melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim juga akan dilakukan dengan pola pemanfaatan ruang secara maksimal. Cara ini dilakukan dengan mendorong pemanfaatan fasilitas perikanan di seluruh Indonesia bisa lebih efisien.

Contohnya adalah bagaimana pemanfaatan fasilitas gudang beku (cold storage) yang ada di sejumlah pelabuhan perikanan di semua pulau, didorong untuk beroperasi secara terbatas. Jika itu terjadi, maka produksi karbondioksida (CO2) akan bisa dikendalikan dengan efisien.

“Jangan membiarkan cold storage menyala penuh, karena itu akan menimbulkan C02 yang tinggi,” ucap Sjarief.

baca juga : Indonesia Harus Belajar Riset untuk Adaptasi Perubahan Iklim

 

Ikan beku di sebuah cold storage. KKP memastikan cold storage yang berada di pelabuhan perikanan UPT Ditjen Perikanan Tangkap mampu menampung ikan hasil tangkapan ikan nelayan di tengah pandemi COVID-19. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Dia menjabarkan, pentingnya untuk melaksanakan mitigasi dan adaptasi, karena ancaman perubahan iklim sudah semakin nyata dirasakan pada sektor KP. Peningkatan suhu yang menjadi indikator penting, juga sudah mulai terjadi di wilayah perairan lau yang memicu menghangatnya air laut.

Kondisi itu kemudian memicu meningkatnya keasaman perairan laut, dan stok ikan yang akan bergerak menuju habitat yang lebih nyaman. Sayangnya, sebagai negara yang berada di khatulistiwa, Indonesia diperkirakan akan menghadapi dampak yang lebih parah dibandingkan dengan kawasan lainnya di dunia.

Menurut dia, dampak perubahan iklim bagi Indonesia akan sangat berat karena itu bisa memengaruhi ketahanan pangan, keselamatan nelayan, konservasi dan keanekaragaman hayati, serta perekonomian nasional dari sektor KP.

Dengan tingkat tekanan penangkapan ikan dan pemanasan laut seperti saat sekarang, maka kemungkinan besar hasil perikanan diprediksi akan mengalami penurunan. Selain itu, jika kegiatan ekonomi berlanjut seperti biasa, sebanyak 80 persen stok ikan dunia juga akan mengalami anjlok.

“Stok dunia jatuh ke status penangkapan ikan berlebih pada pertengahan dekade berikutnya,” jelas dia.

perlu dibaca : Nelayan dan Masyarakat Pesisir Terdampak Perubahan Iklim?

 

Penjual ikan melakukan transaksi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Dampak yang ditimbulkan dari wabah virus COVID-19 ini yaitu harga ikan turun drastis. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Antisipasi Bencana

Semua ancaman yang sedang dihadapi Indonesia sekarang, harus bisa diantisipasi dengan cepat. Dalam hitungan data The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dirilis pada 2018, kesempatan untuk mencegah bencana ekstrem, hanya tersedia waktu hingga sepuluh tahun saja.

Bagi Indonesia, agar kenaikan suhu bisa dicegah hingga batas maksimum 1,5 derajat celsius, maka satu-satunya cara adalah dengan menekan dampak perubahan iklim maksimal hingga 2030. Jika itu tidak bisa dilakukan, maka dampak perubahan iklim tidak bisa lagi dicegah untuk memicu bencana mengerikan.

Dampaknya seperti meningkatnya risiko bencana alam ekstrim seperti cuaca panas ekstrim, kekeringan parah, banjir yang disebabkan curah hujan ekstrim, dan mencairnya daratan es di kutub utara yang berdampak pada ratusan juta orang di seluruh dunia.

Bagi Sjarief, data dan fakta yang dirilis IPCC tersebut menjelaskan bahwa untuk bisa membatasi pemanasan suhu maksimal hingga 1,5 derajat celsius saja, itu akan memerlukan komitmen yang kuat dari seluruh negara di dunia.

“Itu untuk perubahan yang cepat, luas dan belum pernah dilakukan sebelumnya di semua aspek kehidupan masyarakat dunia. Sekaligus memastikan kehidupan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan adil,” tutur dia.

Oleh itu, dalam upaya menekan perubahan iklim pada sektor KP, adalah dengan memberlakukan sistem pengumpulan dan monitoring data yang efektif, proses pengelolaan berbasis sains adaptif, tata aturan melaksanakan penangkapan ikan yang selaras dengan biomassa stok, dan pertimbangan komponen sosial-ekonomi dan ekosistem yang lebih luas.

Upaya mitigasi yang dilakukan pada sektor KP, juga dilakukan melalui pemanfaatan teknologi seperti aplikasi seluler berbasis Android, Laut Nusantara. Dengan memanfaatkan teknologi, diharapkan itu bisa membantu proses reduksi emisi gas kaca.

baca juga : Isu Laut dalam Konvensi Perubahan Iklim dan Kesiapan Indonesia

 

Seorang nelayan menunjukkan aplikasi ponsel android Laut Nusantara. Foto : RRI/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Madya Bidang Sumber daya dan Lingkungan Pusat Riset Perikanan KKP Reny Puspasari mengatakan, penerapan kebijakan dalam lingkup nelayan akan memerlukan panduan secara teknis lebih cepat. Salah satunya, melalui aplikasi seluler yang bisa menginformasikan tentang kondisi cuaca dan lokasi penangkapan ikan yang tepat.

Meski saat ini sudah ada aplikasi bernama Laut Nusantara yang berjalan pada sistem operasi Android, namun Pemerintah harus bekerja keras untuk terus memperbaiki dan menyempurnakan layanan berbasis seluler tersebut.

Diketahui, dalam layanan Laut Nusantara, ada informasi yang lengkap dan terkini yang disertai dengan sumber data yang bisa dijadikan panduan. Semua informasi tersebut akan mendukung kebutuhan data untuk aktivitas menangkap ikan di laut.

Perlunya terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan aplikasi, karena menurut Reny saat ini wilayah perairan laut di Nusantara memiliki spesifikasi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Karenanya, jika mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bisa berjalan baik, maka penyesuaian lapangan perlu dilakukan dengan akurat.

 

Sejumlah perahu bersandar di TPI Kranji, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jatim, pada awal Desember 2020, saat cuaca buruk nelayan tidak berani melaut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version