Mongabay.co.id

Minimnya Pengetahuan Kita Tentang Kerbau

 

Siapa yang tidak tahu kerbau? Hewan bertanduk ini memang dekat dengan budaya masyarakat kita dan dunia. Salah satu bukti adalah kerbau dijadikan shio dalam sistem penanggalan lunar China, sebagaimana tahun 2021 ini.

Ya, kerbau dilambangkan sebagai bentuk semangat kerja keras atau pantang menyerah. Namun, kerbau yang digambarkan tersebut justru lebih mengacu pada jenis hewan yang telah didomestifikasi.

Sementara dalam Bahasa Inggris, tahun kerbau lebih dikenal sebagai tahun lembu atau The Year of Ox. Penekanan simbolisasinya, tidak khusus mengarah ke kerbau sebagai spesies atau genus [Bubalus spp], namun lebih pada binatang pekerja secara umum. Khususnya, dari subfamili Bovinae.

Kerbau, lembu, atau sapi memang biasa digunakan sebagai hewan pekerja, penyubur, sekaligus sumber protein untuk menyokong kehidupan manusia di berbagai belahan dunia.

Baca: Kenapa Anoa Dijuluki Kerbau Kerdil?

 

Kerbau liar yang merupakan populasi feral [Bubalus bubalis] di Taman Nasional Baluran. Foto: Sunarto

 

Tradisi dan ekologi kerbau

Kehidupan tradisional kita di berbagai wilayah Nusantara, memang lekat dengan kerbau. Ada wujudnya dalam beragam artefak, juga di berbagai aktivitas budaya menakjubkan sebagaimana di Minangkabau dan Toraja. Sementara di Jawa dan wilayah lain, kerbau pernah menjadi hewan yang sangat umum digunakan untuk membajak sawah.

Meski begitu, seluk-beluk ekologi dan status konservasi kerabat kerbau di alam, sejauh ini belum banyak kita pahami.

Kerbau, selama ini dianggap bukan termasuk satwa liar yang perlu mendapat perhatian khusus. Kemudahannya di sekitar kita, setidaknya untuk jenis domestik, membuatnya semakin dianggap biasa.

Baca: Melacak Leluhur Anoa di Sulawesi

 

Kerbau air liar di India [Bubalus arnee]. Foto: Sunarto

 

Apakah kerbau merupakan satwa biasa yang tidak perlu kita pedulikan? Tentu saja tidak.

Di alam, kerbau merupakan salah satu ecosystem engineers yang dapat menentukan kondisi habitat bagi banyak spesies lain. Sebagai grazer yang hobi berkubang, kerbau berperan membentuk ekosistem khas. Keberadaan dan populasinya pun menjadi faktor penting penentu kelangsungan hidup beberapa satwa predator.

Saya beruntung, pernah melihat langsung dan memotret kerbau liar maupun yang semi liar di beberapa wilayah. Sebut saja Afrika, India dan tentunya Indonesia.

Baca: Jalan Sunyi Abdul Haris Mustari Meneliti Anoa

 

Kerbau liar afrika [Syncerus caffer]. Foto: Sunarto

 

Kerabat kerbau di Nusantara

Berdasarkan sejumlah literatur, kerbau air yang ada di Indonesia faktanya tidak dianggap sebagai spesies asli, yang sepenuhnya alami.

Ini juga termasuk kerbau liar yang hidup di Taman Nasional Baluran dan juga sebagian wilayah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Meski saya tidak menemukan catatan pasti kapan hewan tersebut mulai ada, namun diduga sebagai populasi feral atau awalnya dipelihara manusia namun kemudian lepas, baik sengaja atau tidak, yang selanjutnya berkembang biak di alam.

Secara ilmiah, kerbau yang hidup liar di berbagai wilayah Indonesia, sampai saat ini tidak dianggap spesies berbeda dengan kerbau domestik [Bubalus bubalis] yang dipelihara masyarakat di kampung/desa.

Jenis yang merupakan hasil penjinakan dan pemeliharaan/domestikasi dari versi spesies liar dan alami [Bubalus arnee], yang sebarannya ada di India, Bhutan, Nepal, Kamboja, serta Thailand.

Namun, kepastian ini layak ditelusuri, terlebih terkait perlindungan dan pengelolaan populasinya. Sejak kapan masyarakat Indonesia memelihara kerbau, dan bagaimana awal mendapatkannya?

Baca: Kerbau Pampangan, Sumber Daya Genetik Menjanjikan di Rawa Gambut

 

Kerbau pampangan atau kerbau rawa yang potensinya menjanjikan di Sumatera Selatan. Rumpun kerbau pampangan berasal dari India yang disilangkan dengan kerbau lokal. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Faktanya, di Sulawesi kita justru memiliki anoa, kerabat kerbau paling unik di dunia, yang tidak ditemukan di tempat lain. Bukan hanya satu, tetapi dua jenis, yakni anoa dataran rendah [Bubalus depressicornis] dan anoa gunung [Bubalus quarlesi].

Bila kita anggap daratan utama Asia sebagai tempat awal asal-usul kerbau, tentunya hewan ini pernah tersebar hingga wilayah lain di Nusantara. Khususnya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang di masa lalu pernah terhubung.

Jika tidak, bagaimana mungkin kerabat kerbau berevolusi dan kemudian mencapai Sulawesi, menjadi anoa seperti yang sekarang kita miliki.

Baca juga: Inilah Nasib Si Belang, Kerbau Seharga Miliaran Rupiah Dalam Ritual Adat Toraja

 

Kerbau yang telah menjadi peliharaan masyarakat dimanfaatkan tenaganya untuk membajak sawah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Temuan fosil

Berdasarkan temuan fosil, ada beberapa jenis satwa kerabat kerbau yang pernah hidup di Jawa dan telah lama punah. Namun, tampaknya terjadi jauh sebelum manusia moderen [Homo sapiens] tiba di Nusantara, sekitar 50 ribu tahun silam. Termasuk di antaranya adalah kerbau purba [Bubalus palaekerabu] yang penampilannya mirip kerbau air saat ini.

Selain memahami kerabat kerbau purba yang pernah hidup di Jawa dan Kalimantan, asal-usul anoa mungkin juga bisa diteliti melalui kerabatnya di Pulau Mindoro, Filipina, yaitu tamaraw [Bubalus mindorensis]. Tentu saja, kerbau air liar yang ada di daratan utama Asia dan kerbau liar di Afrika [Syncerus caffer] juga dipelajari.

 

Anoa dataran rendah. Anoa dijuluki kerbau kerdil. Foto: Dok. Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

 

Penelitian mengenai kerbau, sebaiknya dilakukan ketika populasinya masih banyak sehingga prosesnya relatif mudah. Perhatian kita terhadap kerbau liar dan kerabatnya, anoa, sudah selayaknya ditingkatkan.

Beberapa kasus menunjukkan, spesies yang jumlahnya banyak dan umum tiba-tiba menjadi sulit ditemukan. Ini sebagaimana terjadi pada burung gelatik jawa [Padda oryzivora], cucak rowo [Pycnonotus zeylanicus], dan merpati liar atau Passenger Pigeon [Ectopistes migratorius].

 

* SunartoEkolog Satwa Liar & Lanskap. Artikel ini pendapat pribadi penulis.

 

 

Exit mobile version