Mongabay.co.id

Peristiwa Pandemi dan Saatnya ‘Move On’ lewat Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukanlah segala-galanya, itulah pelajaran penting dari 2020 yang begitu dramatis. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin kualitas dan ketahanan dari ekonomi itu sendiri sehingga ketika terjadi guncangan ancaman resesi bahkan collapse menanti di ujung jalan.

Sebenarnya pada November 2008, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Programe (UNEP) telah meluncurkan konsep Green Economy Inisiatives (GEI) untuk mendorong penerapan ekonomi negara-negara angggota. Hal tersebut dilatarbelakangi pada fenomena semakin menurunnya kualitas lingkungan seiring pertumbuhan ekonomi dalam 50 tahun belakangan.

Premisnya, GEI adalah pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengurangi kesempatan bagi generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (United Nations Division for Sustainable Development 2007).

Ekonomi hijau berkelanjutan pun tidak semata hanya bicara lingkungan dan seluruh sumber daya alam, alih-alih ia juga meliputi bicara ketahanan, kekuatan, dan kualitas pertumbuhan yang tentu memiliki prospek jangka panjang.

Momentum 2021 diartikan sebagai tahun titik balik atau titik move on untuk membangun ekonomi hijau berkelanjutan. Namun, sayangnya sampai saat ini, implementasi ekonomi hijau masih sulit diaplikasikan karena banyak negara belum bisa move on dari ekonomi yang menawarkan kemudahan dalam mengeruk keuntungan tanpa melihat kerusakan yang ditimbulkan.

Benar bahwa ekonomi yang ekspolitatif mungkin akan lebih tampak manis di awal, namun, pahit di ujung jalan. Eksploitasi sumber daya alam dapat dikatakan sudah sangat tidak relevan dan wajib untuk segera ditinggalkan.

Mencari jalan menuju ekonomi yang lebih tangguh dan tahan banting adalah keniscayaan. Kita tentu tidak ingin lagi terpukul dan terpuruk seperti di 2020.

Baca juga: Akankah Ekonomi Hijau Terwujud?

 

Aset dan kekayaan alam yang melimpah bukanlah obyek eksploitasi semata. Ilustrasi gambar hutan hujan yang masih baik di Papua. Dok: Mongabay & Gecko Project

 

Pukulan COVID-19

Tidak dapat dimungkiri bahwa saat COVID-19 menghantam dunia, sisi ekonomi hijau berkelanjutan yang bertumpu pada keadilan, kepedulian, dan perlidungan lingkungan, hutan, dan alam, terbengkalai.

Komitmen banyak negara dalam upaya melawan krisis iklim mulai diragukan (berbekal hasil konferensi tingkat tinggi PBB The 25th session of the Conference of the Parties/COP25 yang diselenggarakan di Madrid Desember 2019 yang berakhir mengecewakan). Di tahun 2020 komitmen iklim malah semakin dikesampingkan. Alasannya tentu adalah pandemi COVID-19 yang dianggap sangat berbahaya dibandingkan isu lainnya.

Benar bahwa memprioritaskan penanganan pandemi adalah hal utama yang harus dilakukan, pasalnya, krisis kesehatan yang semakin menggerogoti begitu mengancam nyawa manusia.

Menyelamatkan nyawa adalah hal utama, tapi bukan berarti pandemi harus mengendorkan semangat melawan dampak perubahan iklim, karena jelas bahwa kerusakan yang akan dihasilkan jauh lebih berbahaya dari pandemi itu sendiri.

Dalam laporan survei yang dirilis Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org Indonesia tentang krisis iklim di mata anak muda, 97 persen responden (anak muda) berpendapat bahwa dampak krisis iklim setidaknya sama atau lebih parah dari dampak pandemi COVID-19.

Kepercayaan bahwa dampak perubahan iklim tersebut sangat berbahaya tentu sangat rasional, pasalnya, ancaman yang lebih besar seperti bencana alam bahkan sampai dengan COVID-19 itu sendiri disebut sebagai bagian dari dampak perubahan iklim yang tak terelakkan.

Fera Ibrahim, seorang pakar viologi dan spesialis mikrobiologi di RS Universitas Indonesia, mengemukakan bahwa beberapa faktor krisis iklim berperan dalam perkembangan dan penyebaran wabah virus salah satunya COVID-19.

Kerusakan ekosistem hewan akibat aktivitas manusia, telah meningkatkan dampak buruk lingkungan sehingga membuat perkembangan virus semakin pesat.

Penyakit yang menular dari hewan ke manusia atau yang dikenal dengan “Zoonosis” meningkat bersamaan dengan semakin tingginya kontak manusia dengan hewan liar akibat kerusakan alam.

Dalam peristiwa penyebaran COVID-19, faktor lingkungan seperti sinar UV dan sebagainya bisa juga mempengaruhi materi genetiknya dan secara spontan bermutasi.

Baca juga:  Pasca Pandemi dan Skenario Era Ramah Lingkungan

 

Hutan hujan di seluruh tropis memainkan peran penting dalam siklus karbon global dan mengatur cuaca bumi. Ilustrasi gambar hutan hujan yang masih baik di Pulau Kalimantan. Foto © Kate Brady/Flickr, di bawah lisensi CC BY-NC-SA 2.0.

 

Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Melindungi ekosistem atau memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak adalah langkah terbaik untuk mengantisipasi terjadi dampak kerusakan yang ujungnya akan membuat perekonomian bahkan kehidupan manusia terpuruk.

Dalam menjalankan agenda ekonomi hijau berkelanjutan, banyak hal mendasar yang wajib diperhatikan.

Pertama, komitmen dan integritas penyelamatan lingkungan. Tanpa komitmen dan integritas, penyelamatan lingkungan itu hanya akan manis di bibir saja. Selama ini merusak lingkungan dianggap sebagai jalan pintas dalam meraup keuntungan yang besar.

Ekspansi bisnis dengan mengabaikan kepentingan lingkungan menjadi sangat masif jika komitmen lingkungan terbengkalai.

Itulah mengapa masifnya ekspansi bisnis sawit bahkan sampai dengan rencana food estate yang pada dasarnya mengalihfungsingkan hutan menjadi lahan produktif transaksional perlu untuk ditanjau lebih matang. Jika diabaikan, kita dapat menyesal di kemudian hari akibat kerusakan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.

Kedua, rancangan model ekonomi dan peta jalan (road map) ekonomi hijau berkelanjutan. Dalam upaya mewujudkan ekonomi hijau berkelanjutan, maka perlu rancangan model ekonomi serta peta jalan ekonomi hijau berkelanjutan yang berorientasi jangka panjang tanpa pengaruh politik praktis transaksional.

Politik praktis yang cenderung transaksional, menjadi salah satu penyebab penerapan ekonomi hijau berkelanjutan selama ini tertahan dipersimpangan jalan. Belum selesai agenda penyelamatan dilakukan, pergantian pemimpin kerap kali ikut merubah agenda sehingga upaya menjalankan roda ekonomi hijau berkelanjutan hanya berjalan ditempat.

Ketiga, pemberlakuan reward and punishment. Penerapan kebijakan reward and punishment dalam konteks ekonomi hijau berkelanjutan sangat penting. Reward diberikan untuk pihak swasta, pemerintahan daerah, bahkan masyarakat yang berinisiatif untuk memanfaatkan, menjaga, dan merawat lingkungan.

Pemerintah dapat memberikan reward berupa insentif fiskal, baik pengurangan pajak, hibah, sampai dengan alokasi dana lainnya seperti sumber dana internasional Green Climate Fund, Norwegia, dan atau pihak lainnya yang mendukung komitmen hijau internasional.

Sementara itu, punishment diberikan kepada pihak yang melanggar atau mengancam kelestarian lingkungan. Penegakan hukum tanpa pandang bulu menjadi tiang berjalannya roda ekonomi hijau berkelanjutan.

Bagi mereka yang merusak lingkungan sampai dengan membakar hutan wajib mendapatkan sangsi tegas, bahkan jika perlu pemerintah menerapkan pungutan untuk berbagai aktivitas yang berdampak pada lingkungan seperti kendaraan beremisi gas buang yang berbahaya sampai dengan cukai untuk penggunaan plastik sekali pakai.

Dengan tingginya angka kerusakan lingkungan dan tidak kuatnya perekonomian, maka penting bagi pemerintah untuk mendorong ekonomi hijau berkelanjutan sehingga bukan hanya mengejar pertumbuhan yang tinggi, tapi juga mengejar kualitas dari pertumbuhan itu sendiri.

Ingat, pertumbuhan yang tinggi tidak menjamin kualitas. Oleh karena itu, pada 2021 ini roda ekonomi hijau berkelanjutan harus mulai diputar karena merupakan pilihan terbaik dan tidak bisa ditawar lagi.

 

* Delly Ferdian, penulis adalah peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan. Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

 

Exit mobile version