Mongabay.co.id

Rekam Nusantara dan PSP IPB Inisiasi Digitalisasi Perikanan Berkelanjutan

 

Sebagai negeri bahari, potensi Indonesia tak perlu diragukan lagi sebagai salah satu produsen perikanan terbesar di dunia. Meski begitu, perikanan dalam negeri masih memiliki berbagai pekerjaan rumah seperti tata kelola perikanan nasional. Saat ini tata kelola perikanan, ditinjau perspektif ekologi-ekonomi cenderung kurang sehat antara pemangku kepentingan perikanan, baik dalam perspektif pemerintah maupun pelaku usaha, dan masyarakat sipil.

Seharusnya akselerasi pemulihan dan pengembangan sektor perikanan yang terdampak COVID-19 memerlukan inovasi dan kolaborasi hulu hilir. Digitalisasi perikanan menjadi jembatan untuk mendorong inovasi. Digitalisasi usaha perikanan juga dinilai menjadi instrumen percepatan pemulihan ekonomi perikanan. Apalagi tantangan pembangunan perikanan pada 2021 adalah menciptakan iklim usaha yang berbasis keterukuran dan keterlacakan dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan keadilan melalui inovasi teknologi.

Merujuk proyeksi McKinsey Global Institute dalam publikasinya tahun 2012, “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential” memproyeksikan Indonesia bisa menjadi perekonomian terbesar ketujuh dunia pada 2030 setelah China, AS, India, Jepang, Brasil, dan Rusia.

Ditengah komitmen negara untuk memperkuat kelembagaan dan pembiayaan di sektor perikanan terus membesar. Yayasan Rekam Nusantara  berinisiatif melakukan terobosan melalui Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI) atau Lembaga Riset Perikanan Terpadu. Mengusung konsep pentahelik yang melibatkan stakeholder, diharapkan mampu memanfaatkan “peluang emas” perikanan Indonesia.

Direktur Utama Yayasan Rekam Nusantara, Een Irawan Putra mengatakan latarbelakang meluncurkan unit ini sebagai bentuk kontribusi perikanan yang terintegrasi, berkelanjutan serta berkeadilan. “Agaknya, saat ini pengelolaan perikanan di Indonesia sudah semestinya berbasis data saintifik,” Kata Een dalam diskusi daring acara peluncuran FRCI pada Kamis (11/2/2021).

baca : Teknologi Digital Mulai Digunakan untuk Perikanan Budidaya Nasional

 

Direktur Yayasan Rekam Nusantara Een Irawan Putra (tengah) dan Ketua Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan (PSP) IPB University Sugeng Hari Wisudo (kiri), ketika membuka kerjasama digitalisasi perikanana pada acara Launching Event Fisheries Resource Center of Indonesia pada Kamis (11/2/2021). Foto :Yayasan Rekam Nusantara

 

Menurut Een, ketiadaan data acapkali menjadi faktor penghambat. Padahal, digitalisasi pembenahan tata kelola perikanan adalah salah satu kunci agar Indonesia berdaya saing. Sayang sekali, jika tidak dilakukan ditengah tren produksi perikanan di Tanah Air, dalam kurun 20 tahun terakhir selalu tumbuh.

Demi mewujudkan itu, Rekam Nusantara menggandeng Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan (PSP) IPB University untuk turut terlibat. Contoh inovasi sedang akan disediakan seperti pemanfaatan mahadata (big data) untuk menemukan ikan. Dengan demikian, nelayan tidak lagi mencari ikan, tetapi menangkap ikan. Lalu, mengandalkan transaksi digital, seperti melalui, untuk industri pengolahan agar mempercepat perdagangan dalam negeri dan ekspor.

Percepatan digitalisasi yang didukung penguatan dan optimalisasi penggunaan infrastruktur telekomunikasi dan informasi untuk perikanan sebelumnya juga sudah direncanakan dalam proyek Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 yang memprioritaskan pengembangan industri 4.0. Dan 2025, Indonesia menargetkan masuk peringkat ke-5 besar negara perikanan.

Di acara yang sama, Ketua PSP IPB University, Sugeng Hari Wisuda, menyebutkan perihal tantangan perikanan masih berkutat menyoal perizinan, hasil tangkapan yang tak terlaporkan, dan pengaturan penangkapan yang belum optimal. Selain itu, ancaman degradasi habitat dan ekosistem di kawasan pesisir laut serta penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing).

Sementara itu, persyaratan pasar ekspor semakin ketat, mencakup jaminan keamanan pangan, ketelusuran, dan keberlanjutan produk perikanan yang dipasok. Untuk bisa menerapkan itu, diperlukan integrasi informasi secara nasional dengan memanfaatkan teknologi digital.

“Dengan adanya data yang terintegrasi dapat dilakukan pemantauan kesehatan stok ikan dan penyusunan dokumen strategi pemanenan. Sehingga peluang pengembangan perikanan menjadi terukur,” ujar Sugeng.

Komitmen bersama ini juga bakal membangun ruang partisipatif mulai dari masyarakat, akademisi, aktivis hingga pemerintah. Pemberdayaan sumber daya manusia, katanya, bisa menguatkan kerja sama antar kalangan.

baca juga : Digitalisasi Industri Akuakultur Mulai Diterapkan di Indonesia. Begini Ceritanya..

 

Aktivitas nelayan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mengedepankan Konservasi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rekam Nusantara dan FRCI mulai April 2019 – Desember 2020 di Jawa Tengah, teridentifikasi perikanan jenis hiu dan pari dengan jumlah peredaran kapal mencapai 1.384 trip. Total ikan yang berhasil didata sebanyak 7.158 individu terdiri dari spesies pari kikir hidung skop (Glaucostegus thouin), pari kikir raksasa (Glaucostegus typus), pari kekeh (Rhina ancylostoma), hiu pari (Rhynchobatus australiae), pari bejan (Rhynchobatus laevis), dan pari hidung lebar (Rhynchobatus springeri) dengan jumlah penangkapannya mencapai 457 ton per tahun.

Mengingat, pari kikir dan kekeh sudah masuk kategori terancam punah oleh Union for the Conservation of Nature (IUCN) pada 2019. Dan kedua spesies juga berstatus CITES Appendix II atau mesti dibatasi perdagangannya. FRCI berupaya mengendalikan penangkapan ikan tersebut melalui program Inisiatif Kolaborasi Pendataan Perikanan (IKAN). Program ini merupakan sebuah wadah multipihak sekaligus memberikan kontribusi pengumpulan data dan informasi perikanan di Indonesia.

Ketua FRCI, Dwi Putra Yuwandana, menuturkan, apabila penangkapan dibiarkan tanpa ada data yang valid, maka Indonesia, sebagai anggota CITES, ada kemungkinan tak akan lagi bisa mengekspor komoditas itu. Sementara untuk jangka panjang, jika sumber daya ikan tak terkelola dengan baik, spesies tersebut terancam punah.

Lewat inisiatif ini, Dwi ingin pihaknya dapat membuktikan secara ilmiah. Sebab peran start-up digital perikanan, katanya, juga dibutuhkan demi tetap konsisten mengedepankan konservasi.

menarik dibaca : Ikan Pari Manta, Sang Raksasa Tak Berbahaya

 

Pari kikir dan pari kekeh yang diperjualbelikan di tempat pelelangan ikan di Kota Rembang, Jawa Tengah. Pari kikir dan pari kekeh sudah masuk kategori terancam punah oleh IUCN pada 2019. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di akhir acara, FRCI unjuk gigi dengan penelitian tentang kerapu (Epinephelinae). Ikan ini merupakan jenis ikan karang yang memiliki nilai jual tinggi, khususnya di Asia Timur. Salah satu produsen ikan kerapu dunia adalah Indonesia, dengan pertumbuhan produksi 14,7 persen per tahun. Namun, sayangnya ikan kerapu yang diperjualbelikan itu ditangkap dari alam dengan cara merusak, yaitu menggunakan bom dan racun.

Tenaga Ahli FRCI, Dr. Irfan Yulianto, menegaskan bahwa komitmen FRCI selain menggali potensi ikan tetapi juga melindungi konservasi laut. Itu dibuktikan dengan membukukan 77 jenis kerapu selama tiga tahun. Buku ini, katanya, luar biasa karena pertama di Indonesia sebagai rujukan ilmiah yang berhasil mengidentifikasi ragam jenis kerapu.

Dikemas dengan desain masa kini, Irfan berharap, buku tersebut memberikan stimulus bagi masyarakat luas mengenali potensi bahari. Sebab, perairan Indonesia yang terpengaruh oleh dua musim sangat subur bagi perkembangbiakan ikan-ikan laut. Hanya saja potensi itu belum diperhatikan sepenuhnya.

 

Exit mobile version