Mongabay.co.id

Revisi Perda RTRW Riau, Bagaimana Perkembangannya?

 

 

 

 

Berbagai kalangan dari aktivis lingkungan, tokoh masyarakat maupun advokat, membahas putusan Mahkamah Agung atas gugatan Jikalahari dan Walhi, terhadap Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Riau. Pemerintah Riau menyatakan, sedang menyusun revisi RTRW sesuai putusan Mahkamah Agung. DPRD Riau, siap membahas usulan revisi.

Sebelumnya, Jikalahari dan Walhi menggugat tujuh pasal dalam Peraturan Daerah 10/2018 tentang RTRW Riau 2018-2038. Antara lain, Pasal 1 angka 69, Pasal 23 Ayat 4, Pasal 38 Ayat 1 dan 2, Pasal 46 Ayat 2 huruf c, d dan e, Pasal 71 Ayat 1 dan 2, Pasal 25 Ayat 1 dan 4 serta Pasal 72 Ayat 3.

Pasal-pasal itu menyoal tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), outline, gambut dan perhutanan sosial.

Mahkamah agung menyatakan, lima dari seluruh pasal yang digugat, bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, tak punya kekuatan hukum mengikat dan memerintahkan gubernur dan DPRD Riau mencabut pasal-pasal itu. Adapun pasal-pasal itu adalah Pasal 1 angka 69, Pasal 23 Ayat 4, Pasal 38 Ayat 1 dan 2, Pasal 46 Ayat 2 huruf c, d dan e, Pasal 71 Ayat 1 dan 2.

Elly Wardhani, Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Riau, mengatakan, setelah menerima salinan putusan dari MA, sekitar Desember 2020, pemerintah daerah sudah mengusulkan revisi Perda RTRW Riau dalam program pembentukan perda 2021. Mereka sedang tahap menyusun draf perbaikan sesuai hasil putusan judicial review.

Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau ditunjuk sebagai penanggungjawab.

M Taufiq Oesman Hamid, Kepala Dinas PUPR PKPP, sulit diminta konfirmasi. Tujuh kali panggilan ke ponselnya tak pernah diangkat. Pesan yang dikirim ke WhatsApp nya juga tak dibalas walau aktif. Dia tak ada di ruangan kala hendak ditemui, 3 Februari lalu. Kasi Tata Ruang, Arief Budiman, tak berkenan beri keterangan bila tak ada perintah dari atasannya.

Dia janji menghubungkan Mongabay dengan M Taufiq. Sampai satu minggu menunggu, tak ada jawaban pasti.

 

Baca juga: Kebun Sawit Riau Terluas, Tak Jamin Rakyat Sejahtera dan Berdaulat Pangan

Bejan (48) berdiri diantara lahan perkebunan kelapa yang tergerus abrasi di Desa Teluk Papal, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Riau. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Hardianto, Wakil Ketua DPRD Riau membenarkan perihal usulan revisi Perda RTRW Riau. Dia sudah komunikasi ke Badan Pembentukan Paraturan Daerah (Bapemperda) dan revisi ini menjadi prioritas untuk dibahas.

DPRD Riau, katanya, menunggu draf usulan dari Pemerintah Riau dan akan konsultasi terlebih dahulu ke Menteri Dalam Negeri untuk dapatkan persetujuan substansi dan judul, sebelum dibawa dalam rapat badan musyawarah guna dibentuk panitia khusus.

Sebelumnya, Hardianto juga salah satu tim pansus pembahasan Perda RTRW. Hanya, dia mengaku tidak mengikuti perdebatan dan penolakan sejumlah kalangan aktivis lingkungan terkait pasal yang jadi keberatan.

Seperti, tentang ketentuan outline. Hardianto mengikuti langsung beberapa kali verifikasi lapangan tetapi hanya untuk memastikan ruang kelola, pemukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum bagi masyarakat supaya tak masuk dalam kawasan hutan lagi. Seingatnya, outline tidak untuk mengubah status dan peruntukan kawasan hutan.

Belakangan, Hardianto juga bingung terkait usulan perhutanan sosial harus lewat pembahasan besama DPRD. Seingatnya, selama pembahasan rancangan Perda RTRW Riau tidak pernah mendengar penjelasan pasal itu.

Dia sepakat, itu kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya membantu mendistribusikan, bukan memutuskan di mana dan siapa yang mendapatkan jatah.

Hardianto mengingat-ingat, saat rapat dengan salah satu perwakilan dari pemerintah kabupaten atau kota, mereka menerima usulan yang tumpang tindih dengan izin perkebunan dan berada dalam kawasan hutan. Dia minta usulan itu dikeluarkan dan diperbaharui.

“Kalau ternyata memang ada ditemukan korporasi di dalamnya, saya angkat tangan dan tak berani nuduh siapa pelaku di baliknya. Kalau itu faktanya, saya terimakasih pada kawan-kawan Jikalahari dan Walhi menggugat itu,” kata Hardianto di ruang kerjanya, Senin, (8/2/21).

Hardianto cerita, tidak ikut finalisasi Perda RTRW Riau. Saat rapat paripurna digelar, dia mengendarai mobil dari Jakarta ke Pekanbaru bersama keluarga. Targetnya, hendak mengejar rapat akbar anggota DPRD. Karena kelelahan, dia dan keluarga terpaksa istirahat dan bermalam di Jambi. Sayangnya, saat perda itu digugat, Hardianto tak mendapat informasi maupun surat pemberitahuan.

 

Penampakan udara dari lahan gambut Sumatera yang memiliki bervegetasi hutan. Foto: Rhett A. Butler

 

Hardianto pertama kali tahu, ketika menyambut kedatangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, bersama rombongan, di VIP Lancang Kuning, Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru. Saat itu, MA sudah mengeluarkan putusan. Kurang lebih, Siti Nurbaya menyinggung, Riau harus segera merevisi Perda RTRW Riau.

Setelah itu, Hardianto menyampaikan hal ini ke anggota Bapemperda. Dia minta tolong, ketika ada usulan masuk, semua anggota harus betul-betul jeli dan teliti dalam tahap pembahasan revisi nanti.

“Kalau ada yang perlu dibersihkan, harus dibersihkan. Kalau terus menerus digugat lalu dikabulkan, secara kelembagaan DPRD dan pemerintah daerah menunjukkan hasil kerja yang kurang pas. Bukti masih ada celah dan kekurangan,” ujar Hardianto. Revisi Perda RTRW Riau, katanya, adalah harga mati.

 

Segera revisi, dengan catatan…

Made Ali, Koordinator Jikalahari, mengingatkan, kembali advokasi tata ruang sejak 2006-2018. Penolakan terus menerus karena rancangan perda memang hendak menggerus kawasan hutan tersisa di Riau. Gubernur pada masa pembahasan terkesan memberi ruang pada korporasi dan pemodal, yang telah menduduki kawasan hutan dengan tidak sah.

Cara-cara itu, katanya, justru mengangkangi aturan lebih tinggi dan memangkas kewenangan pemerintah pusat. “Jangan sampai RTRW Riau dibajak oleh korporasi maupun cukong dengan memberikan mereka legalitas. Itu sangat berbahaya,” kata Made.

Pembahasan dan penetapan RTRW dua tahun lalu terbukti abal-abal dan sekarang harus segera revisi. Selanjutnya, kesempatan ini merupakan peluang memasukkan ruang kelola masyarakat adat termasuk reforma agraria.

Paling utama dalam revisi Perda RTRW Riau adalah, Gubernur Riau harus menyusun KLHS) terlebih dahulu. Pasalnya, perda itu disahkan tanpa dokumen KLHS yang disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Syarat ini, katanya, wajib dipenuhi Gubernur Syamsuar yang tidak dipatuhi pemerintah daerah sebelumnya.

Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau, berpendapat, tata ruang merupakan kebijakan dasar dan sangat penting dalam menentukan pembangunan di Riau. Perda RTRW adalah rujukan, tak semata aspek ekonomi, juga keberlanjutan dan keselamatan masyarakat Riau.

Riko mengingatkan, kebijakan pemerintah daerah masa lampau sangat mudah mengkapling-kapling hutan untuk perizinan tertentu tanpa pertimbangan. Kondisi ini terlihat dari hasil temuan pansus monitoring dan evaluasi perizinan DPRD Riau, bahwa 1,2 juta hektar kebun sawit ditanam ilegal.

Selain merugikan secara ekonomi, keterlanjuran itu juga penyebab berbagai bencana ekologis seperti banjir, maupun kebakaran hutan dan lahan yang membahayakan masyarakat serta menambah beban pemerintah.

Satu alasan mereka menggugat Perda RTRW Riau, katanya, karena di dalamnya hendak menghapuskan kesalahan masa lalu. Dia khawatir, itu akan menampilkan kembali wajah korup pemerintah daerah dan para birokrat.

Satu contoh, katanya, korupsi kehutanan yang menjerat dua gubernur: Rusli Zainal dan Annas Maamun juga tiga bupati (Tengku Azmun Jaafar, Arwin AS dan Burhanuddin Husein). Bersama mereka juga turut kena jerat tiga kepala Dinas Kehutanan yang jor-joran menerbitkan izin kehutanan.

Riko bilang, untuk memastikan keselamatan masyarakat dari bencana ekologis, KLHS adalah dokumen penting yang menentukan batas-batasan pembangunan. “Bukan melepaskan sebanyak-banyaknya kawasan hutan demi kepentingan investasi dan ekonomi. Di sini kesempatan Syamsuar memasukkan visi Riau Hijau-nya.”

Boy Jerry Even Sembiring, kuasa hukum dalam gugatan ini mengatakan, Jikalahari dan Walhi berhasil memenangkan tiga hal dalam gugatan Perda RTRW Riau.

Pertama, menang melawan pemutihan kawasan hutan lewat skema outline. Karena dalam temuan mereka, sebagian areal yang dicadangkan dalam outline telah beralih fungsi untuk perkebunan sawit. Skema ini hendak melegalkan keterlanjuran penguasaan hutan secara tidak sah.

“Jauh lebih jahat dari rumusan Pasal 51 Ayat 1 dan 2 PP 104/2015, yang memberi sedikit toleransi pada keterlanjuran penggunaan kawasan hutan dengan sekali daur. Dikabulkan permohonan tentang poin ini ada peluang memulihkan kembali kawasan hutan 400.000 hektar lebih,” kata Boy.

Kedua, gugatan ini sekaligus menghindari masyarakat dari bencana ekologis dengan menyelamatkan ekosistem fungsi lindung gambut di Riau. Pasalnya, Perda RTRW Riau mengurangi luasan gambut yang harus dilindungi dengan alasan demi kepentingan masyarakat.

Karena keberatan itu juga dikabulkan MA, otomatis JIkalahari dan Walhi menyelamatkan dan merestorasi 2,37 juta hektar gambut fungsi lindung sekaligus mencegah karhutla.

Ketiga, Perda RTRW Riau tidak menghambat lagi akses rakyat terhadap pengakuan wilayah kelola melalui perhutanan sosial dan tanah obyek reforma agraria.

Sebelumnya, untuk mengusulkan hak kelola hutan harus melalui pembahasan DPRD Riau dan rekomendasi gubernur terlebih dahulu. Padahal, dalam aturan tentang perhutanan sosial, bisa langsung ke menteri bersangkutan.

Gara-gara ini, kata Boy, selama dua tahun perda berjalan, capaian perhutanan sosial di Riau tidak sampai 10% karena memperpanjang birokrasi. Bahkan, beberapa usulan yang dibahas DPRD dan keluar rekomendasi dari gubernur, terindikasi disusupi korporasi dan pemodal.

Kenyataan itu dapat berkaca pada ribut-ribut masyarakat Desa Pulau Padang, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, yang menolak rencana penebangan hutan alam lewat izin Hutan Kemasyarakatan. Selain tanpa melibatkan masyarakat setempat, penerbitan HKm itu juga dibantu oknum-oknum perusahaan yang bersembunyi di balik Koperasi Koto Intuok.

“Kalau DPRD dan gubernur hendak memberikan perlindungan maksimal terhadap rakyat, argumentasi model itu adalah kebohongan. Capaian perhutanan sosial di Riau justru jauh dari target,” kata Boy.

Dia senang selama proses penyusunan gugatan ini, tim menyusun dokumen analisis sangat baik. Para peneliti hukum juga sangat membantu kerja-kerja ini walau pemenuhan alat bukti dirasa sedikit rumit. Sayangnya, salinan putusan MA lambat sampai ke tangan pemohon.

Sejak putus pada 12 Agustus 2019, Jikalahari dan Walhi sempat besurat ke MA pada 2 Juli 2020. Baru, 1 Desember 2020 putusan diterima.

“Ini kesempatan Gubernur Syamsuar membuktikan Riau Hijau yang dihembuskannya. Bukan cuma mengejar target pertumbuhan ekonomi tapi alpa terhadap kepentingan sosial dan lingkungan. Kalau Riau ingin benar-benar hijau, patuhi putusan MA. Draf revisi Perda RTRW Riau harus menghijaukan seluruh aspek dalam satu lingkaran yang sama dengan ekonomi,” kata Boy.

Al Azhar, Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, cerita, meski tidak berada dalam lingkaran Jikalahari dan Walhi, saat menggugat Perda RTRW Riau ke MA, dia pernah berada pada posisi sebelum Perda RTRW terbit.

Pada masa dua gubernur sebelumnya, dia bersama sejumlah tokoh masyarakat pernah diajak Pemerintah Riau meyakinkan Menteri Kehutanan kala itu, segera menyetujui Perda RTRW Riau. Saat itu, langsung mereka jawab tidak.

 

Satgas Karhutla berjibaku memadamkan api di lahan gambut di Riau. Foto: BNPB

 

Sebaliknya, sekitar tiga minggu kemudian pasca pertemuan itu, Menteri Kehutanan diberi panggung untuk pidato dalam kesempatan peringatan hari jadi Riau. Al Azhar tersentak, ketika mendengar menteri memberi waktu dan kesempatan pada pemerintah daerah, untuk mengkoreksi dan mengakomodir usulan yang hendak masuk dalam Perda RTRW sebelum disetujui. Pasalnya, seingat Al Azhar, pernyataan itu berbanding terbalik dengan yang dia dengar dalam pertemuan di Jakarta.

Beberapa bulan kemudian, pasca ulang tahun Riau, Gubernur Annas Maamun bersama tangan kanan dan seorang pengusaha kebun sawit, dicokok KPK dalam transaksi alih fungsi hutan dan lahan.

Pengembangan dari kasus ini, juga menjerat PT Palma Satu, Surya Darmadi dan Suheri Terta. PT Palma Satu sekarang berstatus tersangka, Surya Darmadi melarikan diri pasca jadi tersangka. Adapun Suheri Terta dikasasi KPK setelah dibebaskan majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru.

Al Azhar mengemukakan, ada dua persoalan selama penyusunan Perda RTRW yang berlangsung tiga dekade lebih. Pertama, rumitnya punya Perda RTRW mulai penyusunan sampai pada persetujuan yang sudah melewati beberapa Kepala Bappeda.

Kedua, membuat RTRW yang menyenangkan semua pihak amat susah hingga menimbulkan polarisasi antara yang mendukung dan menolak.

“Sejak orde baru, Riau jadi kawasan eksploitasi penyumbang sebesar-besarnya devisa negara. Seharusnya, era eformasi dilakukan tindakan korektif atas bencana alam masa lalu.”

Sayangnya, kata Azhar, diskusi soal masih sama antara 1995 dengan sekarang. “Riau ini mau dikonstruksi sebagai kawasan apa? Perspektifnya masih seperti yang lama, Riau sebagai ladang perburuan.”

Bicara masyarakat adat di Riau, sekitar 400.000 jiwa berada di kawasan pertambangan, kebun sawit dan konsesi perkebunan kayu.

Mereka pemilik sah secara kultural dan turun-temurun atas kawasan yang kaya sumberdaya alam ini. Kenyataannya, mereka berada dalam angka kemiskinan. Sekarang, para pemangku adat mulai sadar dan berubah melihat keadaan ini.

 

Exit mobile version