Mongabay.co.id

Konflik Manusia dan Buaya Muara Kembali Terjadi di NTT. Bagaimana Pencegahannya?

Buaya muara [Crocodylus porosus] ini berada di PPS Alobi Fooundation Bangka Belitung. Konflik manusia dengan buaya salah satu penyebabnya adalah rusaknya sungai-sungai di wilayah Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pertemuan masyarakat dengan buaya muara (Crocodylus porosus) makin sering terjadi di berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama Pulau Timor. Pertemuan ini mengakibatkan konflik antara manusia dengan buaya sebagai satwa liar yang menempati areal atau menggunakan sumber daya yang sama.

Padahal buaya muara merupakan satwa dilindungi sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Konflik seringkali menimbulkan korban berupa luka gigitan buaya, bahkan ada yang berujung kematian. Keberadaan buaya di habitatnya kerap dianggap mengganggu aktifitas nelayan, mengurangi kenyamanan kegiatan pariwisata dan hilangnya ternak warga.

Untuk menangani konflik itu, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT telah membentuk Unit Penanganan Satwa (UPS) pada 2014. UPS terdiri dari anggota unit yang dibekali dengan kemampuan penanganan satwa liar terutama penanganan buaya dan minimum handling tools dan bekerja sesuai prosedur operasional.

Konflik terakhir manusia dengan buaya terjadi di Pulau Rote, yang dilaporkan masyarakat melalui call center BBKSDA NTT.

Awal kejadian yaitu pada hari Sabtu (13/2/2021) sekitar pukul 02.00 WITA, masyarakat Desa Nggodimeda, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao sedang mencari gurita di Pantai Okakea,” sebut Kepala BBKSDA NTT, Timbul Batubara dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia, Rabu (17/2/2021).

Timbul menyebutkan warga bernama Orias Ballo, Sipro Ballo, Edi Bulan dan Frans Bulan yang sedang mencari gurita menjumpai seekor satwa di dalam laut. Mereka mengarahkan cahaya senter ke obyek yang dilihat dan terlihat cahaya mata kehijauan yang setelah didekati ternyata adalah buaya muara.

Ketiga orang itu kemudian menangkap dan membawanya ke darat. Selanjutnya Orias Ballo melaporkan kepada Kepolisian Sektor Rote Tengah yang ditindaklanjuti oleh Kepolisian Sektor Pantai Baru dengan menghubungi call center BBKSDA NTT.

baca  : Konflik Buaya dan Manusia Terus Terjadi di NTT. Apa Solusinya?

 

Penangkapan buaya muara oleh petugas BBKSDA NTT di perairan Desa Nggodimeda, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, NTT, Minggu (14/2/2021). Foto : BBKSDA NTT

 

Timbul kemudian memerintahkan Koordinator Tim UPS berkoordinasi dengan Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II dan Resor Kesatuan Wilayah (RKW) Rote, Polsek Rote Tengah, Polsek Pantai Baru, dan Administrasi Pelabuhan Baa untuk mengklarifikasi informasi tersebut dan menanganinya.

“Saya memerintahkan koordinator UPS untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak guna membahas rencana evakuasi buaya muara tersebut,” ungkapnya.

Timbul mengatakan dengan memperhatikan kondisi cuaca yang tidak menentu dan mempengaruhi jadwal pelayaran, serta pandemi COVID-19 maka diputuskan bahwa BBKSDA NTT akan memfasilitasi pengantaran satwa tersebut menuju Kupang.

 Setelah serah terima dari Polsek Pantai Baru kepada BBKSDA NTT melalui RKW Rote, buaya muara diangkut menuju Kupang menggunakan KMP Ile Labalekan tujuan Pelabuhan Bolok, Kota Kupang dengan pengawalan oleh satu personil RKW Rote pada Hari Minggu (14/2/2021).

Penjemputan di Pelabuhan Bolok dilakukan oleh Koordinator dan anggota UPS dan Kepala SKW II, disaksikan Kepala Pos KP3 Laut Bolok beserta jajarannya.

UPS BBKSDA NTT melakukan pemeriksaan kondisi satwa yang menyatakan bahwa buaya muara itu berjenis kelamin betina, berukuran 1,50 meter, dan dalam keadaan sehat,” terang Timbul.

Selanjutnya buaya muara tersebut dibawa ke penampungan sementara di kantor BBKSDA NTT. Dia sebutkan, seluruh rangkaian kegiatan penanganan satwa liar buaya muara ini menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19.

baca juga : Sering Terjadi, Konflik Manusia dengan Buaya di Bangka Belitung

 

Petugas BBKSDA NTT mengamankan seekor buaya muara di Kabupaten Rote Ndao untuk dievakuasi ke tempat penampungan milik BBKSDA NTT di Kota Kupang. Foto : BBKSDA NTT

 

Timbul menjelaskan buaya muara memang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pesisir NTT. Legenda menuturkan bagaimana manusia  kepulauan ini berkorelasi dengan buaya.

“Dari sisi ekologis, NTT menjadi area persebaran buaya muara. Penggunaan ruang yang sama oleh satwa liar dan manusia kerap menimbulkan konflik,” ucapnya.

Timbul menegaskan untuk meminimalkan konflik inilah BBKSDA NTT berupaya untuk hadir merespon setiap laporan satwa liar dari masyarakat, sehingga tidak terjadi korban jiwa baik dari pihak manusia maupun satwa liar.

Sebelumnya, saat terjadi konflik buaya dan manusia pada Kamis (22/10/2020), dia menghimbau kepada masyarakat, khususnya yang beraktifitas di pantai Teluk Kupang agar lebih meningkatkan kewaspadaan dan berhati-hati.

Selain itu, agar menghindarkan ternak peliharaan agar tidak berkeliaran di tepi pantai Teluk Kupang. Yang tidak kalah penting juga adalah jangan membuang bangkai, sisa makanan, daging atau ikan ke pesisir pantai karena aroma amis akan mengundang buaya muara datang ke lokasi tersebut.

“Kepada masyarakat umum, apabila menjumpai adanya kemunculan buaya muara di sekitar pantai, khususnya di Teluk Kupang, segera menghubungi Call Center BBKSDA NTT,” tegasnya.

perlu dibaca : Buaya Muara Bermunculan dan Tewaskan Warga di Maluku, Ada Apa?

 

Petugas BBKSDA NTT bersama aparat terkait memasang papan peringatan buaya di pesisir pantai di Kota Kupang, NTT. Foto : BBKSDA NTT

 

Data Konflik

Data BBKSDA NTT menunjukkan tercatat ada 42 kasus konflik buaya dengan manusia dari 2011 hingga 2016, dimana ada dua kasus pada 2011, tiga kasus (2012), delapan kasus (2014), delapan kasus (2015), 11 kasus (2016), tiga kasus (2017) dan enam kasus (2018), dengan total ada 34 orang korban tewas. Rata-rata ada 6 orang tewas per tahun.

Pada 2019, seekor buaya muara berukuran besar ditangkap Petugas BKSDA NTT di Desa Soliu, Kecamatan Amfoang Barat, Kabupaten Kupang. Buaya muara berkelamin jantan ini berukuran panjang 4,58 meter serta lebar 80 sentimeter.

Di Kabupaten Malaka, selama tahun 2019 terdapat empat orang diterkam buaya dan meninggal dengan kondisi mengenaskan. Dua lelaki dan dua perempuan ini ditemukan bulan Januari dan  Maret. Semua korban diterkam buaya saat beraktifitas mencari ikan, kerang atau udang di laut.

Pada Kamis (4/4/2019), seorang warga Desa Tanah Putih, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang diterkam buaya di perairan Haram Naibeti, Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur. Korban bisa menyelamatkan diri meski terluka parah.

Tahun 2020, seorang warga Kabupaten Lembata meninggal diterkam buaya di pesisir Pantai Natu, Desa Mahal Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Kamis (30/1/2020) dini hari.

Seorang warga Desa Pakubaun, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang diterkam buaya saat mengambil air di Muara Noehaen desa tersebut, Minggu (31/5/2020). Korban selamat dan mengalami luka parah.

Kemudian pada Kamis (23/10/2020) seorang warga Kelurahan Lasiana, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang diterkam buaya saat menyelam dan menangkap ikan di perairan Kelurahan Fatubesi, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang. Korban selamat meski menderita luka parah.

baca juga : Kematian Merry, Buaya Pemangsa Manusia, Pelajaran untuk Tidak Pelihara Satwa Liar

 

Petugas BBKSDA NTT mengevakuasi buaya muara (Crocodylus porosus) dari Tabun, Desa Soliu, Kecamatan Amfoang Barat Laut, Kabupaten Kupang, NTT, pada Juni 2020. Foto : BBKSDA NTT

 

Penyebab Konflik

Deputi WALHI NTT, Yuvensius Stefanus Nonga kepada Mongabay Indonesia, Selasa (19/1/2021) di Kantor WALHI NTT mengaku resah dengan banyaknya konflik manusia dan buaya muara.

Yuven menyebutkan privatisasi pantai dan pesisir membuat habitat buaya muara rusak sehingga buaya akan mencari habitat lainnya. Selain itu, aktivitas manusia yang merusak muara, termasuk kawasan mangrove ikut mempengaruhi ruang hidup dan pakan alami buaya terganggu.

“Seringkali terjadi privatisasi pantai bahkan muara tanpa memperhitungkan habitat buaya dan satwa lainnya yang hidup disana sehingga terganggu dan kehilangan ruang untuk hidup,” ucapnya.

Yuven mempersoalkan penataan ruang di pesisir pantai terutama di Kabupaten Kupang dan beberapa wilayah di pulau-pulau tanpa memperhitungkan ancaman hilangnya satwa di wilayah tersebut.

Ia menyesalkan setiap terjadi pembangunan di pesisir pantai dan muara tidak dilengkapi dengan kajian dan penelitian terkait satwa yang ada di wilayah tersebut.

Selai itu tambahnya,perlu juga diperhitungkan dengan akses manusia termasuk nelayan dalam melaut apakah terganggu atau tidak.

“Perlu dibuat pemetaan wilayah mana yang akan menjadi pemukiman dan wilayah mana merupakan habitat buaya.Dengan begitu bisa diambil langkah penanganan termasuk memasang rambu-rambu peringatan,” ucapnya.

baca juga : Pembunuhan Ratusan Buaya di Sorong Lanjut ke Proses Hukum, Berikut Foto-foto dan Videonya

 

Buaya yang ditangkap warga di wilayah Manikin, Kelurahan Tarus, Kupang, NTT, Sabtu (5/1/2013). Foto : Salomo Haba/Pos Kupang

 

Sedangkan Suryana (2014), yang dikutip dari website Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Forestry Research and Development Agency/FORDA) Kupang menjelaskan, menurut konflik manusia dan buaya di provinsi NTT diduga disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, adanya dugaan ledakan populasi buaya dimana jumlah populasi buaya di NTT naik secara tajam.  Di sisi lain, habitat buaya yang menyediakan sumber makanan tidak dapat mencukupi sehingga buaya memperluas areal pencarian makanan.

Kedua, rusaknya habitat buaya di alam yang memicu keluarnya buaya dari habitat aslinya.  Salah satu tempat yang dijadikan sebagai tempat mencari makan adalah daerah pemukiman manusia.

Ketiga, adanya kegiatan-kegiatan ekonomi yang memancing buaya keluar dari habitat alaminya. Salah satu wilayah yang mengalami perkembangan pesat adalah wilayah pesisir dan pantai di Kota Kupang.

Beberapa hotel dan restoran berkembang di wilayah ini.  Dampak negatif dari perkembangan ini adalah adanya sumber makanan bagi buaya yang dapat memicu kedatangan buaya pada tempat – tempat tersebut.

Keempat, adanya invasi masyarakat pada areal – areal jelajah dan habitat buaya.  Perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan akan ruang bagi manusia.  Hal ini dapat dipenuhi dengan perluasan wilayah, namun perluasan tersebut diduga juga terjadi di daerah jelajah atau habitat buaya.

 

***

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Buaya muara [Crocodylus porosus] ini berada di PPS Alobi Fooundation Bangka Belitung. Konflik manusia dengan buaya salah satu penyebabnya adalah rusaknya sungai-sungai di wilayah Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version