Mongabay.co.id

Samsul dan Samsir, Para Penjaga Hutan Mangrove Langkat Malah Terjerat Hukum

Samsul, Ketua Kelompok Tani Nipah, menumpuk plang yang berizi keterangan izin kelola kawasan hutan dari KLHK. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Samsul Bahri dan Samsir, dua warga Langkat, Sumatera Utara, sejak lama bersama Kelompok Tani Nipah, berupaya  menjaga dan merehabilitasi hutan mangrove. Dalam upaya merawat dan merehabilitasi mangrove di kawasan hutan di Sumut itu, mereka harus berhadapan dengan para pemodal yang megubah hutan mangrove jadi kebun sawit. Ujung-ujungnya, mereka malah terjerat hukum. Mengapa bisa begitu?

Pagi itu, pertengahan Desember 2020, seperti hari-hari sebelumnya,  Syamsul Bahri beserta dengan sejumlah masyarakat Desa Kuala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumut, yang tergabung dalam Kelompok Tani Nipah berkumpul di ujung desa. Mereka membawa cangkul dan berbagai alat pertanian. Para petani ini bergegas menuju ke hutan mangrove yang masuk dalam kawasan hutan ini. Sebagian hutan mangrove ini sudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, tambak ikan serta penebangan ilegal untuk arang dapur.

Samsul Bahri jadi ketua kelompok tani. Niat mereka ingin merestorasi hutan mangrove dan mengembalikan seperti masa lalu.

Apa yang mereka lakukan mendapat perhatian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Melalui konsep perhutanan sosial, mereka mendapatkan izin pengelolaan hutan melalui program kemitraan. Hutan mangrove di wilayah itu perlahan mulai rimbun kembali.

Niat Samsul bersama kelompoknya untuk memperbaiki hutan mangrove tidak sepenuhnya mendapat dukungan terutama, orang-orang yang merasa dirugikan.

 

Baca juga: Rehabilitasi Mangrove Kelompok Tani Nipah Terancam Sawit

 

Di wilayah kelola kelompok tani yang mendapatkan izin dari KLHK ini, ada kebun sawit ilegal. Sejak awal, kelompok tani mengalami hambatan, mereka ingin merehabilitasi mangrove tetapi ada yang berlaku sebaliknya.

Pada 18 Desember 2020, ketika dia bersama dengan teman-teman lain menanam mangrove didatangi dua orang pria yang mengaku sebagai pekerja perkebunan sawit di sana.

“Dua pria itu salah satunya bernama H Simbolon. Dia memoto kami yang menanam bibit mangrove. Ketika saya tanya, ada apa? Dia ingin mengajak berkelahi. Saya tidak mau terpancing dan tiba-tiba dia mengangkat telepon dan menyampaikan kepada seseorang di ujung telepon mengaku dianiaya oleh saya dan teman-teman yang lain. Padahal itu semua bohong, “ kata Samsul.

Dalam obrolan antara Samsul dengan teman-temannya itu tidak ada satupun kalimat ancaman atau upaya menganiaya Simbolon. Tetapi pria ini langsung membuat pengaduan ke kantor kepolisian menyebutkan dianiaya Samsul dan Samsir sebagai anggota Kelompok Tani Nipah.

Hari berlalu, Samsul dan dan kelompoknya tetap merestorasi mangrove di desa mereka. Dia tidak mengetahui kalau Simbolon telah membuat pengaduan penganiayaan ke polisi.

Selama restorasi hutan mangrove di desa itu, Samsul tidak jarang mendapat teror ancaman dan upaya-upaya kriminalisasi oleh sejumlah oknum yang mengaku aparat, belum lagi preman yang disuruh orang-orang tertentu.

Samsul cerita, biasa didatangi sejumlah orang yang mengaku aparat agar menghentikan kegiatan restorasi di hutan mangrove yang di dalamnya ada puluhan hektar perkebunan sawit dengan kepemilikan tak jelas itu.

 

Baca juga: Akhirnya Kelompok Tani dan Nelayan Ini Peroleh Hak Kelola Mangrove di Langkat

Rehabilitasi mangrove mulai dilakukan kelompok tani yang diketuai Samsul. Bibit-bibit mangrove kecil itu, perlahan mulai tumbuh besar dan kuat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kelompok tani berupaya melakukan penjarangan tanaman sawit, dan menanam bibit mangrove ini, tampaknya membuat resah pemilik kebun sawit.

Meskipun begitu, niat Samsul bersama kelompok untuk tetap merestorasi hutan mangrove tak pernah surut.

Sudah lebih satu juta bibit mangrove mereka tanam di lokasi sudah hancur karena beralih fungsi itu. Memasuki 2021, Samsul bersama kelompoknya tetap punya asa kuat merawat magrove. Masalah baru datang. Surat polisi tertanggal 8 Februari 2021 datang dan menyebutkan, agar Samsul dan Samsir datang ke Polsek Tanjung Pura untuk diperiksa sebagai tersangka. Mereka dituduh melakukan pengeroyokan dan penganiayaan terhadap Simbolon secara bersama-sama.

Dua hari kemudian, 10 Februari 2021 ketika dia dan Samsir datang ke kantor polisi, petugas langsung menahan usai pemeriksaan yang cukup singkat. Hingga 12 Februari 2021, kedua pria ini masih tahanan Polres Langkat.

Ada rekaman video pernyataan Simbolon bahwa, tak ada penganiyaan oleh Samsul dan Samsir, tetapi diabaikan penyidik kepolisian. Mereka tetap diamankan.

Samsul dan Samsir terkurung dalam jeruji. Hingga Jumat sore (12/2/21) Samsul dan Samsir masih diperiksa intensif di kantor polisi.

“Kami ditangkap atas tuduhan penganiayaan yang tidak pernah kami lakukan.”

AKP Rudy Sahputra, Kapolsek Tanjung Pura dikutip dari Beritanasional.id membenarkan atas penahan dua tersangka dalam kasus penganiayaan pekerja kebun sawit, bernama Harno Simbolon. Dari keterangan polisi berdasarkan penuturan Simbolon mengaku alami penganiyaan.

Samsul dan Samsir mendapat dampingan dari Yayasan Srikandi Lestari dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan.

Sumiati Surbakti, Ketua Pengurus Yayasan Srikandi Lestari, mengatakan, Kelompok Tani Nipah mendapatkan izin perhutanan sosial seluas 242 hektar tetapi di dalam kawasan itu ada 65 hektar perkebunan sawit ilegal yang tidak diketahui siapa pemiliknya.

Dalam upaya melestarikan lingkungan, kelompok ini merehabilitasi mangrove yang rusak. Samsul bersama kelompoknya menanam mangrove di wilayah izin mereka.

Mereka, katanya, kerap mendapatkan intimidasi dari pihak-pihak yang mengatasnamakan pemilik sawit di areal itu.

“Keduanya mendapatkan surat panggilan dari kepolisian tanpa ada pemeriksaan sebelumnya dan status mereka langsung tersangka. Ketika sampai di kantor polisi langsung ditahan,” kata Sumiati.

Penyidik, katanya, menampik semua saksi-saksi yang meringankan Samsul dan Samsir. Penyidik juga tidak memberikan hasil visum bukti Simbolon mengalami penganiayaan.   Keduanya diperiksa hanya beberapa jam dan langsung keluar surat penahanan.

Fakta-fakta hukum, katanya, diabaikan oleh penyidik kepolisian dan tetap bertahan bahwa mereka melakukan penganiayaan bersama-sama.

Dia melihat, upaya menjerat hukum Samsul dan Samsir ini, katanya, jelas ada aktor lain di balik itu.

 

Masyarakat pesisir Langkat bersama Kelompok Tani Nipah unjuk rasa di Polsek Tanjung Pura, mendesak Samsul dan Samsir, dibebaskan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kebun sawit di kawasan hutan

Puji Hartono, Kepala KPH I Stabat, mengatakan, sebelum pemberian kemitraan terhadap Kelompok Tani Nipah ini, ternyata di wilayah kelola yang masuk kawasan hutan itu sudah ada perkebunan sawit. Puji bilang, kebun sawit itu ada sebelum dia menjabat di sana.

“Tapi saya baru tahu. Inilah yang jadi permasalahan sekarang. Jadi ketika SK kemitraan sudah diberikan kepada Kelompok Tani Nipah, terjadilah konflik sekarang karena di dalamnya ada kebun sawit yang sudah ada bertahun lalu dan itu di dalam kawasan hutan konservasi,” kata Puji.

Puji sendiri bingung, mengapa bisa kebun sawit ada di dalam kawasan hutan, terlebih hutan konservasi. “Yang saya bingung kenapa bisa ada sawit di dalam hutan konservasi, mempunyai alas hak lagi,” katanya.

Dia bilang, kuasa hukum dari pemilik perkebunan sawit di kawasan hutan mangrove itu sudah menemuinya dan menunjukkan bukti-bukti mereka mempunyai alas hak atas perkebunan sawit yang berkonflik dengan Kelompok Tani Nipah itu.

Pengusaha sawit itu, katanya, juga sudah menyurati KLHK agar bisa melepaskan   lahan yang mereka tanami menjadi perkebunan sawit. Hingga kini, masih berproses di KLHK.

Dia sendiri tidak pernah mengeluarkan secarik kertas pun untuk memberikan izin kepada pengusaha agar dapat menanami perkebunan sawit di hutan konservasi itu.

Kalau untuk perhutanan sosial, katanya, jelas ada dalam aturan Permenhut Nomor 83/2016, diberikan kepada masyarakat ada di sekitar atau di dalamnya.

Kalau melihat kondisi lapangan saat ini, katanya, penguasaan kawasan hutan cukup luas hingga Permenhut No.83/2016 itu sulit dipakai. Dia bilang, mungkin lebih cocok aturan di Permenhut No.49/2017 tentang kerjasama antara masyarakat dengan KPH. Di situ, katanya, bisa kerjasama dengan perorangan, Bumdes, perusahaan maupun BUMN dengan catatan tak boleh mengubah jadi perkebunan sawit.

Kemitraan kepada kelompok tani atau individu, katanya, dengan catatan bisa menjaga kawasan hutan tak rusak atau dengan konsep silverfishery. Bisa juga, kata Puji, dengan memanfaatkan ohon mangrove jadi bernilai ekonomis.

“Tetapi tidak boleh ada perusakan di dalamnya apalagi beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.”

Onrizal, pakar ekologi dan konservasi hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, mengatakan, kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada sumberdaya mangrove dan laut. Dengan hutan mangrove baik, katanya, jadi tempat berbagai jenis biota laut serta pelindung dari berbagai bencana, termasuk angin badai dan tsunami.

Dia bilang, kerusakan mangrove di pesisir timur Sumut telah mengancam ketahanan masyarakat, termasuk masyarakat pesisir pantai timur Sumatera.

Sebagai gambaran, hasil penelitian yang dia lakukan menunjukkan lebih 60% jenis ikan, udang dan biota perairan timur Sumut sulit didapat dibandingkan tiga dekade sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan, penurunan pendapatan nelayan hampir 50% karena kerusakan mangrove.

Jadi, upaya pemulihan hutan mangrove rusak sejalan dengan bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat, sekaligus menjamin pelestarian.

“Masyarakat sekitar hutan mangrove salah satu kunci untuk keberhasilan kegiatan ini,” kata Onrizal.

 

Kelompok Tani Nipah mendapat izin kelola dari KLHK namun di dalam kawasan hutan itu ada puluhan hektar kebun sawit ilegal. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

****

Foto utama:  Samsul, Ketua Kelompok Tani Nipah, menumpuk plang yang berizi keterangan izin kelola kawasan hutan dari KLHK. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version