Mongabay.co.id

Sungai Masih jadi Tempat Buang Sampah Plastik, Belajar dari Pengelolaan di Australia

Bersama komunitas pemuda peduli lingkungan, Ecoton melakukan brand audit timbulan sampah yang terjadi di Pantura Lamongan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sungai-sungai di Indonesia, banyak jadi tong sampah plastik seperti Sungai Brantas dan Bengawan Solo, masuk dalam kategori 20 sungai penyumbang sampah plastik ke laut dunia. Sejumlah pesisir di utara Jawa Timur tertutup sampah plastik.

“Sumber plastik dari sungai, terbawa sampai ke hilir,” kata Daru Setyorini, Program Leader Zero Waste Cities dalam diskusi daring, berjudul “Berbagi Cerita Penggelolaan Sampah di Negeri Kanguru dan Penerapan Zero Waste Cities. Acara diselenggarakan Kajian ekologi dan konservasi lahan basah atau Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Kamis, (18/2/21).

Dia mengatakan, Kelompok Perempuan Pejuang Sampah Surabaya menemukan ada 320 titik buangan sampah ilegal di bantaran Kali Surabaya, mulai Mojokerjo sampai Surabaya.

Plastik, katanya, menjadi masalah hampir di seluruh dunia. Produksi sampah plastik terus meroket, sementara daur ulang kecil. Investasi perusahaan plastik US$400 miliar, sedang investasi daur ulang plastik hanya US$2 miliar.

“Tak sebanding. Maka proses daur ulang tak akan mampu menyelesaikan masalah. Terus berkejaran,” katanya.

Penyebab pembuangan sampah ilegal di badan sungai, katanya, antara lain karena 61% sampah tak terlayanani jasa pengumpulan yang disediakan pemerintah. Sejauh ini, hanya 32% mendapat layanan. Dampaknya, masyarakat mengelola sendiri 47% dengan dibakar terbuka. Sampah bocor ke laut dan danau 9% dan sampah buang ke tanah kosong 5% per tahun.

Daur ulang begitu minim. Daur ulang plastik, katanya, hanya 14%. Proses daur ulang plastik, katanya, rumit, mahal dan melepaskan zat adiktif beracun. “Toxic chemicals dalam plastik menyebabkan kanker. Plastik harus dihindari,” katanya.

Sampah plastik terbanyak merupakan plastik fleksibel atau kemasan tipis 76%, seperti bungkus makanan dan minuman.

 

Baca juga:Ini Cara Indonesia Bersihkan Sampah Plastik di Laut

Pengolahan sampah organik menjadi kompos. Foto : Daru Setyorini

 

Timbulan sampah yang dikelola pemerintah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebanyak 64%, diolah di bank sampah 1,3% dan 34% tak bisa dikelola. Untuk itu, sistem harus ditingkatkan dengan fasilitas Tempat Pengolahan Sampah Sementara Reuse Reduce Recycle (TPS3R) hingga hanya residu yang diangkut ke TPA.

“Aliansi Zero Waste Internassional mencegah terbentuknya sampah plastik, bukan menangani setelah sampah terbentuk,” katanya.

Untuk itu, katanya, harus diubah konsumsi plastik yang selama ini dianggap murah dan aman.

Pencemaran plastik pun, katanya, pada tingkat mengkhawatirkan, laut terkontaminasi mikroplastik. Beragam biota laut, katanya, tercemar mikroplastik. Kondisi yang dihadapi, katanya, TPA terbatas, mengembangan dan menyediakan lahan baru sulit.

Untuk itu, katanya, perlu peran aktif masyarakat. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, hanya 28% masyarakat sadar mengelola sampah. Jadi perlu edukasi, agar masyarakat terlibat aktif mengolah sampah. Edukasi, katanya, perlu waktu panjang dan mulai dari pemilahan sampah dari rumah.

Selain itu, perlu peran aktif produsen. Seperti produksi popok sekali pakai terus meningkat, sementara tak ada kewajiban dan tanggungjawab produsen. Produsen harus mengurangi volume sampah yang diproduksi dalam kemasannya. “Selama ini produsen tak dilibatkan tangani,” kata Daru.

Selain itu, perlu peran pemerintah melayani pengambilan sampah. Juga mendorong pemerintahan desa juga menjangkau layanan sampah rumah tangga melalui dana desa. Sampah diiolah dengan cara aman dan skala kawasan. Jadi akan tercipta sistem pengelolaan sampah dan lapangan kerja baru. “Bahkan mampu mengurangi volume sampah hingga 80%.”

Ecoton menerapkan TPS3R di Desa Ringin Anom, Gresik, dengan 69% berupa sampah organik. Sampah bisa daur ulang 12%, spesial residu 10%, residu 8%, dan sampah beracun 1%. “Akhirnya, hanya 19% yang diangkut ke TPA,” kata Daru.

Berdiri sejak dua tahun lalu, pengelolaan sampah ini lebih hemat biaya dan mempekerjakan 782 orang. Pemerintah Kabupaten Gresik, katanya, memberi subsidi honor senam bulan. Cara ini, kata Daru, bisa direplikasi di daerah lain.

Agus Purnama Romadoni kecewa dengan pengelolaan sampah di Indonesia. Agus pernah tinggal di Australia selama enam tahun. Proses pemilahan sampah sejak dari rumah. Tempat sampah dibagi tiga tempat untuk organik, daur ulang dan dedaunan.

”Saya buang oli atau minyak goreng di TPS yang tertata rapi. Di Indonesia, meski sebagian keranjang dipisahkan ternyata oleh petugas sampah dikumpulkan jadi satu tempat. Percuma memilah dari rumah,” tulis Agus.

 

Baca juga: Bahaya Mikroplastik! Bukan Hanya Ikan, Manusia Juga Terpapar

Sampah di Pesisir Tuban, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Belajar dari Australia

Tak hanya di Indonesia, Australia juga alami masalah sampah. Berbagai aksi dilakukan, seperti terjadi di Sungai Yarra, Melbourne. Kualitas air menurun, polusi, sampah yang mengancam utama terhadap kesehatan lingkungan sungai.

Sophie Dawson dari Daikin University Australia mengulas laporan ‘State of the Yarra and its Parklands’ pada 2018 yang menyebutkan, Sungai Yarra dalam kondisi buruk tetapi stabil.

Penilaian dengan 36 indikator meliputi polusi, saluran air limbah, aliran sungai, perubahan iklim.dan lain-lain. Kondisi sungai yang buruk dipengaruhi peningkatan jumlah penduduk di Melbourne, air hujan, saluran pembuangan dan penurunan curah hujan karena perubahan iklim.

Sampah paling umum ditemukan di badan Sungai Yarra, sekitar 50% non-organik antara lain, polistiren dan 30% botol plastik. Polistiren di Sungai Yarra, katanya, terbukti lebih berbahaya dari plastik lain karena terbuat dari bahan kimia berbahaya.

Kalau polistiren rusak, juga merusak lingkungan. Polistiren umum ditemukan dalam kemasan pelindung barang elektronik, bola polistiren, dan kemasan makanan dan minuman.

“Asosiasi Penjaga Sungai Yarra menunjukkan kebocoran polistiren berasal dari toko eceran, pusat daur ulang, dan pemindahan limbah,” katanya.

Lantas ada juga inisiatif memperbaiki pengelolaan sampah di Melbourne melalui Clean Up Australia Day, sebuah acara lingkungan terbesar berbasis komunitas. Organisasi berdiri sejak 30 tahun lalu. Organisasi ini bekerjasama dengan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah untuk memberikan solusi praktis mengenai sampah. Juga membantu semua orang untuk hidup berdampingan dengan alam.

Kini, sebanyak 18.3 juta orang Australia terlibat aksi itu. Relawan bisa mendaftar individu, kelompok sekolah atau ikut kelompok umum maupun mendonasikan dana dengan mengumpulkan uang untuk organisasi. Gerakan sosial lain adalah ‘Take 3 For The Sea’ yang memanfaatkan media sosial untuk mendorong setiap orang membawa tiga buah sampah setiap mereka meninggalkan pantai, sungai, atau lingkungan. Juga mendorong individu untuk membagikan tindakan mereka di media sosial.

 

Dengan berbagai aksi peduli sampah dan kebersihan, Sungai Yarra jadi bersih dari sampah. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pengelolaan sampah rumah tangga

Di Kota Macedon Ranges, satu jam barat laut Melbourne menerapkan sistem pengelolaan sampah mulai 3 Februari 2020. Setiap rumah memiliki empat tempat sampah terpisah, disesuaikan jenis sampah. Aksi ini dalam usaha transisi menuju layanan pengumpulan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. “Kuning untuk sampah daur ulang, ungu untuk kaca, merah untuk sampah umum, dan hijau untuk sampah organik,” ujar Sophie.

Tempat sampah lebih kecil food organicsg garden organics (FOGO) didistribusikan ke setiap rumah. Petugas sampah tak akan mengambil kalau tidak dimasukkan di tempat yang benar. Sampah organik dikumpulkan setiap pekan, sedangkan sampah lain bulanan.

Dengan sistem ini setiap rumah dibebani biaya $449 Australia. Sejauh ini, sistem dianggap sukses. Sejak Februari-Desember 2020, sebanyak 7.868 ton sampah organik tak lagi berakhir di TPA, tetapi diolah menjadi kompos.

Kompos yang diproduksi untuk pertanian, taman dan kebun di seluruh negara bagian Victoria. Selain itu, 1.776 ton kaca dipisahkan dari TPA dan didaur ulang menjadi konstruksi jalan Victoria.

Sejak 2019, diterapkan larangan menggunakan tas belanja plastik. Perusahaan yang tak mematuhi dijatuhi denda $50 ribu Australia. Masyarakat bawa tas sendiri berbahan kain yang bisa dipakai berulang kali. Ada restoran yang memberikan diskon $50 sen, bagi pelanggan yang membawa wadah sendiri.

Mulai Desember 2020, Pemerintah Australia menghentikan ekspor plastik, kertas, dan kaca secara bertahap. Pemerintah Federal Australia mengalokasikan anggaran $190 juta Australia untuk daur ulang, serta diharapkan menciptakan 10.000 pekerjaan baru bindang ini.

Dia bilang, ekspor sampah ke negara lain, lebih murah dibanding mengolah sendiri. Alasannya, biaya pekerja untuk daur ulang sampah, mahal. Banyak perusahaan memilih membeli produk baru daripada mendaur ulang dengan harga mahal.

 

Truk angkut sampah khusus membawa sampah sesuai jenis sampah. Foto : Sophie Dawson

 

Tata kelola

Studi Blue Environment menyebutkan selama 13 tahun terakhir mengumpulkan data dan mencatat total limbah Australia meningkat 11,3 juta ton, atau naik 18%. Pada periode 2018/2019, Australia menghasilkan 74,1 juta ton sampah. Produksi sampah terus melonjak bandingkan periode 2016/2017 sebanyak 69 juta ton. Dalam empat tahun terakhir tingkat daur ulang meningkat dari 58% naik jadi 60%.

Tiongkok menjadi negara penerima limbah terbesar. Pada 2016, Australia mengekspor 56,6% sampah atau limbah ke Tiongkok. Selama itu, Tiongkok menerima hampir separuh impor limbah plastik non-industri dunia. Australia menjadi negara pembuang sampah terbesar ke-8 di dunia. Pada 2017, Tiongkok menghentikan impor limbah plastik non-industri karena kerusakan lingkungan.

Sejak pembatasan itu, ekspor limbah Australia berkurang 41% dan mengalihkan ekspor sampah ke Indonesia, Vietnam, India dan Malaysia. Pada 2017-2018, Australia ekspor sampah turun 12% dari total daur ulang limbah. Pada Mei 2020, Indonesia menjadi importir limbah tertinggi ketiga Australia, setelah Vietnam dan Bangladesh. Sebanyak 35.000 ton dengan nilai $9,3 juta Australia. Jumlah sampah yang diekspor ke Indonesia menurun signifikan dari semula rata-rata 60.000 ton senilai $23,7 juta Australia per bulan.

Sampah di Australia, sekitar 40% yang tidak didaur ulang atau tak ekspor, berakhir di ratusan TPA. TPA Woodlawn terletak 240 kilometer barat daya Sydney tercatat memiliki jumlah limbah tertinggi dibandingkan lokasi lain di Australia.

Ekspor sampah juga menyisakan masalah, kata So[hie. Pada 2019 The Sydney Morning Herald menerbitkan artikel berjudul “Visy Recycling Behind ‘Toxic’ Plastic Waste Container in Indonesia.” Berita ini mengenai salah satu perusahaan daur ulang terbesar dunia ditemukan mengirim kontainer seberat 13,7 ton berisi sisa-sisa plastik campuran ke Indonesia yang dianggap limbah beracun.

 

 

***

Foto utama: Sampah plastik di pesisir Lamongan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version