Mongabay.co.id

Saat Khaleb dan Josua Setop Kuliah, Demi Bela Hutan Leluhur Negeri Sabuai

 

Khaleb Yamarua (21) sejatinya seorang pemuda biasa. Di usianya sekarang dia mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Pattimura, Ambon. Dia memiliki saudara kembar Josua, yang juga berkuliah di universitas yang sama namun beda jurusan. Josua kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintahan.

Karena pertimbangan agar dekat dengan kerabat dan hemat biaya, si kembar ini memilih kuliah di Ambon. Memang, Ambon adalah kota yang paling dekat dengan kampung halaman mereka di Desa Sabuai, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT).

Namun guratan nasib jugalah yang membawa Khaleb dan Josua terikut dalam peristiwa yang terjadi di desanya.

Pada tanggal 14 Februari 2020 Khaleb pulang ke kampung. Namun tidak seperti kunjungan biasanya, putra pasangan Melkisedek Yamarua (Almarhum) dan Agustina Ahwalam ini kembali ke desa, karena ada panggilan kerabat dekatnya, Stefanus Ahwalam.

Dia diberitahu beberapa hari ke depan, pemuda Sabuai akan melakukan aksi demonstrasi. Targetnya CV Sumber Berkat Makmur (SBM), sebuah perusahaan perkebunan yang selama ini beroperasi di Desa Sabuai.

Selama ini, bagi warga keberadaan CV SBM adalah pembuat masalah. Warga resah dengan lahan hutan adat yang di buka perusahaan. Padahal mengacu adat setempat, lahan tersebut sudah diikat sasi, atau lahan terlarang untuk dibuka.

“Ada beberapa bentuk larangan yang telah kami sampaikan ke perusahaan, yaitu pemalangan [jalan masuk ke hutan] sebanyak tiga kali. Bahkan hutan tersebut juga telah kami sasi lewat prosesi adat tanggal 7 Juni 2019,” urai Khaleb, saat dijumpai beberapa waktu lalu.

 

Masyarakat Adat Sabuai saat melakukan aksi di Lokasi Camp CV SBM. Dok: Istimewa

 

Rusaknya Hutan di Negeri Sabuai

Perusahaan CV SBM adalah perusahaan perkebunan yang beroperasi di Desa Sabuai. Izinnya didasarkan pada SK Bupati SBT Abdul Mukti Keliobas, Nomor 151 tanggal 8 Maret 2018.  Operasi yang diberikan adalah Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) seluas 1.183 hektar untuk usaha perkebunan tanaman pala. Dalam rencana, perusahaan telah menyiapkan 5.000 bibit tanaman.

Beberapa bulan kemudian, -karena ada kayu di areal kerjanya, perusahaan mengajukan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang disetujui oleh Dishut Kehutanan Maluku berdasarkan SK Nomor 52.11/SK/DISHUT-MAL/459 tanggal 25 April 2018 tentang persetujuan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) Tahap I, untuk area seluas 371 hektar.

“Izin dikeluarkan karena kebetulan lokasi yang diberikan untuk izin perkebunan berada pada Area Penggunaan Lain (APL), -non kawasan hutan, yang di dalamnya ditumbuhi pohon secara alami, sehingga dapat diberikan IPK,” sebut Sadli Lie Kadis Kehutanan Maluku, pada saat dijumpai bulan Januari 2021 lalu.

Lie menyebut IPK yang dikeluarkan secara administratif didasarkan karena perusahaan telah mengantongi izin perkebunan yang dikeluarkan oleh Pemkab SBT.

Dari awal, sebenarnya sudah terendus motif CV SBM tak semata melakukan budidaya pala, tapi juga mengincar kayu tegakan yang berharga. Izin IUP-B Tanaman Pala yang dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten SBT digunakan sebagai rujukan ke Dinas Kehutanan Provinsi Maluku untuk menyetujui Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Dalam tahap pertama, -di area seluas 371 hektar, target volume tebangan adalah 24.700 meter kubik, dan pada tahap kedua dengan luas sekitar 415 hektar adalah 35 ribu meter kubik. Sehingga total IPK 60 ribu meter kubik.

Merujuk pada data di Dinas Kehutanan tentang realisasi produksi, Lie menyebut selama 18 bulan melakuka aktifitas, kayu IPK terkumpul oleh CV SBM adalah 17 ribu meter kubik. Hasil pantauan Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan selama periode itu di Kabupaten SBT terjadi deforestasi seluas 870 hektar, yang disumbangkan dari izin perkebunan seluas 1.183 hektar di area panggunaan lain (APL).

Namun, alih-alih beroperasi di areal yang ditentukan, alat berat perusahan juga merangsek hingga masuk ke wilayah hutan adat. Ini yang lalu memicu kemarahan warga. Sebaliknya berdasarkan tuturan warga, janji pemberian bibit tanaman pala tak kunjung tiba.

Gesekan-gesekan pun timbul di lapangan. Permintaan agar penebangan disetop tak diindahkan perusahaan. Tak tinggal diam, warga melayangkan surat aduan ke Dirkrimum Polda Maluku, tanggal 6 Agustus 2020. Sayangnya laporan warga tidak mendapat tanggapan pihak berwajib.

Sementara itu alat berat perusahaan tetap masuk dan merobohkan pohon-pohon yang telah berusia ratusan tahun.

 

Petugas Gakkum KLHK Maluku dan Papua saat meninjau lokasi pembalakan liar yang dilakukan CV SBM. Dok: Gakum LHK

 

***

Sabuai sendiri adalah salah satu negeri atau desa di Kecamatan Siwalalat. Berdasarkan data statistik BPS 2020, Sabuai berpenduduk 314 jiwa (89 KK). Sebagian besar mata pencarian warganya bertani, mengumpulkan hasil hutan, dan nelayan.

Tak heran hidup warga Sabuai sangat dekat dan bergantung dengan alam. Hutan pun dijaga dan dihormati. Apalagi di hutan keramat, juga terdapat sejumlah makam leluhur yang masih tetap dijaga.

Di sisi ekologis, hutan dianggap sebagai pelindung dan peredam amukan air sungai di kala musim penghujan. Apalagi geografis Sabuai dilewati aliran lima anak sungai; Nisdoam, Yamarua, Patotnem, Ahwalam, dan Titasam. Asal kata Sabuai pun berasal dari saf-wai yang berarti ‘dilalui air’.

Dengan letak geografis ini, tak heran jika warga Sabuai amat menjaga kelestarian hutan adatnya.  Jika lokasi hutan keramat rusak, tanah dan pohon yang berada di situ akan ikut longsor terbawa aliran sungai. Demikian juga dengan sumber-sumber ekonomi warga pun turut hancur.

“Tempat keramat dan negeri lama kami ikut hancur karena pembalakan kayu ini,” ungkap Khaleb.

Selain banjir, air yang menjadi sumber kehidupan warga sebagai air minum juga ikut terdampak. Sejumlah mata air ikut tertimbun tanah longsor. Demikian pun air sungai berubah warna menjadi kemerah-merahan, pertanda air membawa lumpur dan tanah.

“Sumber air atau mata air itu berasal dari Hutan Ahwale. Jika hutan rusak sudah tentu akan menutup sumber mata air. Kami jadi kesulitan untuk dapat air bersih,” kata Ibeng Nisdoam, seorang tokoh adat Sabuai.

Lokasi hutan yang dibabat oleh perusahan menjadi sumber bencana. Sabuai yang berlokasi di kaki pegunungan dari lokasi pembalakan kayu mendapat dampak saat banjir menerobos masuk ke permukiman melalui Sungai Waipulu, yang jarak alirannya paling dekat dengan permukiman.

Puncak kegeraman warga memuncak saat kampung diterjang banjir. Warga pun meradang, saat mengetahui peristiwa ini ada hubungannya dengan pembukaan lahan hutan.

Berbekal kejengkelan, tanggal 17 Februari 2020, Khaleb, Stefanus bersama warga Sabuai lainnya berangkat ke camp CV SBM yang berada di Gunung Ahlawe. Saat melakukan aksi, mereka mengikat kain merah adat pada kepalanya. Di lokasi, mereka melempari dan merusak alat berat dan properti milik perusahaan.

“Perusakan yang kami lakukan di lokasi camp itu akibat luapan kemarahan kami sebagai masyarakat Sabuai kepada CV SBM,” ucap Khaleb.

Saat itu tekad mereka sudah bulat, yaitu mengusir perusahaan dari wilayah adat Sabuai.

 

Foto Udara Camp CV SBM dan kayu hasil tebangan perusahaan. Dok: Istimewa

 

 

Mandeknya Kasus Hukum

Atas peristiwa itu, Komisaris CV SBM, Imanuel Quadarusman alias Yongki tak tinggal diam. Dia melapor ke polisi buntut peristiwa penyerangan warga Sabuai ke camp mereka di Gunung Ahlawe.

Merespon laporan Yongki, tanggal 18 Februari 2020, pasukan polisi turun ke Sabuai. Sebanyak 26 pemuda desa dibawa ke Mapolsek Werinama.

Dari hasil pemeriksaan, tiga orang dipulangkan karena masih berstatus siswa dan di bawah umur. Dari yang tersisa, dua orang yaitu Khaleb dan Stefanus lalu ditetapkan jadi tersangka.

Menurut polisi, keduanya terbukti bersalah melakukan tindakan kriminal terhadap barang milik perusahaan. Keduanya dijerat Pasal 170 Ayat 2 dan Pasal 406 Ayat 1 KUHP.

Meski keduanya sempat mengajukan pra-peradilan di Pengadilan Negeri Bula, namun permintaan mereka ditolak Hakim A. Darmawan Akhmad. Alasannya, karena dianggap cacat formil dan material.

Putusan atas gugatan pra-peradilan tersebut dibacakan di ruang sidang Pengadilan Negeri Bula, 12 Maret 2020. Putusan sidang ini berlangsung setelah dilakukan delapan kali persidangan yang menghadirkan kesaksian dari pemohon, maupun saksi-saksi.

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, Khaleb dan Stefanus tidak ditahan di penjara, tetapi ditetapkan sebagai tahanan rumah dan dikenakan wajib lapor.

“Saya berbesar hati meski ditetapkan jadi tersangka dan wajib lapor. Sewaktu-waktu ada kepentingan penyidikan, kami wajib hadir,” lanjut Khaleb.

 

Stefanus Ahwalam dan Khaleb Yamarua, dua warga Sabuai yang ditetapkan sebagai tersangka. Dok: Istimewa

 

Peristiwa kasus hukum Khaleb dan kerabatnya Stefanus pun sampai ke telinga saudara kembarnya, Josua yang berada di Ambon.

“Setelah saya mendapatkan informasi bahwa saudara saya Khaleb dan ke-25 warga Sabuai ditahan, saya langsung berkordinasi dengan teman-teman aktivis mahasiswa. Kami kemudian merencanakan aksi,” jelasnya.

Di kamar kontrakannya yang berukuran 3 x 4 meter di Ambon, Josua menggelar rencana aksi demonstrasi. Gerakan mereka diberi nama Aksi Unjuk Rasa Gabungan Mahasiswa Welihata (Gerakan Save Sabuai).

“Kami lakukan aksi demo di tiga tempat di Ambon; yakni Kantor DPRD Provinsi Maluku, Kantor Gubernur Maluku, dan Markas Polda Maluku,” katanya.  Perjuangan Josua dan kawan-kawan tak kenal lelah, meski harus berjalan kaki dari satu kantor ke kantor lain.

Di gedung wakil rakyat, mereka beraudiensi dengan para anggota dewan. Tuntutannya agar DPRD tidak tinggal diam menyikapi kasus penangkapan warga Sabuai. Mereka menuntut agar wakil rakya juga dapat mengawal isi surat pernyataan yang dibuat Yongki.

Adapun bos CV SBM ini, pada tanggal 4 Maret 2020 di depan pimpinan dan anggota DPRD secara tertulis mengakui perusahaannya, yang telah melakukan penebangan pohon pada petuanan atau tanah ulayat milik masyarakat adat Desa Sabuai.

“Bahwa benar, CV Sumber Berkat Makmur sementara melakukan penebangan pohon pada petuanan hutan Desa Sabuai, Negeri Atiahu, khususnya hutan milik marga-marga yang telah diatur dalam kesepakatan bersama,” sebut Yongki dalam suratnya.

Dalam suratnya Yongki menyebut dalam penebangan pohon kayu telah terjadi kesalahan, penebangan itu dilakukan di sebagian area hutan yang tidak termasuk dalam perjanjian.

“Telah terjadi penebangan pohon kayu sehingga membuat marga yang memiliki hutan adat tersebut melakukan aksi protes berupa pemalangan hutan dan sasi adat.”

 

Imanuel Quadarusman alias Yongki, pimpinan CV SBM saat mengikuti rapat dengar pendapat masalah Sabuai di Ruang Rapat Komisi II DPRD Provinsi Maluku. Dok: Istimewa

 

***

Kasus penahanan 26 warga adat Desa Sabuai ini pun bergaung hingga tingkat nasional. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi yang memiliki fokus advokasi kepada hak-hak masyarakat adat, turut menyurati Polda Maluku untuk membebaskan warga Sabuai.

Hal serupa dilakukan oleh Komnas HAM. Komisi ini berkirim surat kepada Polda Maluku mempertanyakan penahanan 26 warga ini. Di tingkat internasional, Lembaga Amnesty International juga memberikan dukungan.

Di sisi lain, dugaan pelanggaran hukum Yongki ditindaklanjuti oleh Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Wilayah Maluku Papua, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Pada 25 Februari 2020, kami sudah layangkan surat pemanggilan kepada SBM,” ungkap  Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum KLHK seperti dilansir Tabaos.id

Terungkap CV SBM tidak memiliki Izin Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten SBT. Perusahaan  hanya mengantongi izin usaha perkebunan semata.

“Artinya kalau belum punya izin (lingkungan) berarti ilegal, persyaratan berinvestasi itu kan harus lengkap dokumen termasuk izin lingkungan,” lanjutnya.

Yongki pun ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pelaku illegal logging dan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Maluku tanggal 18 Maret 2020 dengan tuntutan Pasal 12, Pasal 87 dan/atau Pasal 19, Pasal 94 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pen­cegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Anca­man pidana penjaranya paling lama 15 tahun dan denda maksimum Rp100 milyar.

Sebagai tambahan, beberapa barang bukti yang  diamankan petugas adalah 1 unit alat berat loader merek Komatsu, 2 unit bulldozer merek Caterpillar, dan tumpukan kayu bulat gelondongan dengan berbagai jenis dan ukuran.  Kayu gelondongan itu diduga hasil pembalakan liar CV SBM di Sabuai.

 

Muhammad Ilham, Kepala Kejaksaan Negeri Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Foto: Chris Belseran

 

 

Sayangnya sejalan dengan waktu, perkembangannya kasus ini tampak semakin buram. Berkas perkara penyidikan hingga sekarang, mengendap di meja Kejari Bula Seram Bagian Timur, meski mulai disidik sejak Maret 2020.

Alasannya, adanya ketidaksesuian data di lapangan yang membuat Kejari Bula, Kabupaten SBT terpaksa memulangkan berkas berita acara penyelidikan tersebut.

“Ketika tim Jaksa dan tim penyidik turun ke TKP, hanya ditemukan 50 batang kayu, sedangkan dalam berita acara penyidikan adalah sebanyak 100 potong. Datanya tidak sinkron, itu masalahnya,” ungkap Muhammad Ilham, Kepala Kejaksaan Negeri SBT ( 11/01/2021) seperti dilansir oleh titastory.

“Kasus ini sudah di kami, namun belum bisa  diterima karena barang bukti tidak sinkron. Sekarang dikembalikan lagi ke penyidik. Saat eksekusi nanti  barang bukti harus sesuai dengan BAP.”

Perihal kasus yang belum dapat naik ke pengadilan dibenarkan Adrianus Mossa, Kepala Seksi Wilayah I Manokwari Balai PPHLHK Wilayah Maluku Papua.

“Tanggal 23 Maret 2020 penyerahan berkas tahap satu telah dilakukan. Selama 14 hari kejaksaan harusnya mengeluarkan P-18 jika berkas dianggap tidak lengkap. Lalu P-19 pengembalian berkas perkara untuk  dilengkapi, tapi ini tidak ada. [Selama ini] kami anggap tidak ada masalah, kami tidak tahu kalau perlu ada petunjuk lagi untuk dilengkapi,” sebut Mossa.

“Kita penyidik  sudah melewati [seluruh] tahapan, sebagai penyidik kita tunduk kepada  hukum acara  terkait dengan masa berlaku dan sebagainya,” jelas PPNS Kementerian LHK ini.

Sementara proses hukum berjalan stagnan. Izin CV SBM telah dicabut oleh pemda.

“Izinnya sudah dicabut. Kami sudah memberikan peringatan pertama hingga peringatan berikutnya, namun tidak dihiraukan perusahan,” kata Hasan Kelian, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten SBT, seperti dilansir oleh berita Siwalimanews.

Pencabutan Izin itu lantaran perusahan tidak melaksanakan perjanjian untuk melakukan penanaman  tanaman pala di area seluas 1.183 hektar yang disetujui. Sejalan, Dishut Provinsi Maluku juga telah mengeluarkan surat bernomor 522.3-Mal/187/2020 tertanggal 24 Februari 2020 kepada CV SBM untuk menghentikan penebangan.

Ironisnya sejalan dengan mandeknya kasus, -setelah sempat ditahan oleh Gakkum KLHK Wilayah Maluku-Papua sebagai tahanan kota di Polda Maluku, pimpinan CV SBM, Yongki konon saat ini tidak diketahui keberadaannya.

Ketidakspastian kasus hukum yang menjerat Yongki, membuat masyarakat dan mahasiswa berulang kali melakukan aksi unjuk rasa lanjutan. Mereka menuntut agar kasus ini tetap dikawal dan tak menguap begitu saja.

 

Josua saat memimpin demo gabungan masyarakat adat dan aliansi mahasiswa di kantor DPRD Maluku, Ambon. Dok: Istimewa

 

 

***

Khaleb duduk sembari menyandarkan kepala. Dia merenungkan berbagai peristiwa setahun terakhir di kampungnya Sabuai. Dia sadar bahwa setiap perjuangan selalu membawa konsekuensi. Hingga saat ini statusnya masih jadi tersangka. Belum ada kejelasan waktu kapan, kasusnya akan dinaikkan di pengadilan.

Ini pun turut mengganggu urusan kuliahnya.

“Terhadap peristiwa saat itu tentunya sangat menyita aktifitas dan waktu kuliah saya di Fakultas Hukum Unpatti Ambon. Saya harus wajib lapor, tentu ini membutuhkan waktu yang cukup lama,” jelasnya.

Akibat peristiwa mempertahankan hutan adat, Khaleb beberapa bulan tidak kuliah.

Semangat perjuangan untuk tanah kelahiran dan juga hutan leluhurnya, juga dirasakan Josua. Kuliahnya sempat terhenti, khususnya saat dia dan kawan-kawannya berkonsentrasi membuat gerakan aksi demontrasi.

“Sekitar dua minggu kami persiapkan gerakan demonstrasi untuk memprotes pembalakan hutan. Itu membuat saya tidak kuliah selama tiga minggu,” sebutnya.

Meski begitu, peristiwa ini mematahkan semangat mereka. Khaleb dan Josua tidak menyesal dengan apa yang mereka lakukan.

“Prinsipnya hutan itu merupakan sumber kehidupan yang harus dijaga oleh kita sebagai pemuda adat. Sampai titik darah penghabisan pun kami akan lawan. Mereka merusak hutan, tak akan kami biarkan,” ucap Khaled.

“[Dari kejadian yang menimpa saya] kami jadi paham bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” pungkas si kembar.

 

* Christ Belseran,  penulis adalah jurnalis titastory.id dan penerima Fellowship Pulitzer Center Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan Untuk Asia Tenggara.

 

 

Exit mobile version